Pages

Friday, 30 November 2012

Kekuatan Kilauan Ilmu

Tidak sedikit dari para penun­tut ilmu syar’ie yang kita temui sentiasa ber­usaha untuk meng­kaji kitab para ulama’, bahkan mereka sentiasa menghadiri ­majlis dengan para ulama’ dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka.
Ini suatu petanda yang baik yang seharusnya kita syukuri kerana dengan kukuh­nya ilmu dalam diri setiap peribadi mus­lim, niscaya agamanya akan ter­tegak di atas lan­dasan yang kuat.
Seringkali pula kita dengar ucapan yang sangat masyhur dari seorang ahli dalam bidang hadits iaitu Imam Bukhari di dalam Kitab Sahih­nya yang menegaskan :
“Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”
Begitu pula, per­kataan Imam Ahmad bin Hanbal yang sangat ter­kenal :
“Umat manusia sangat mem­erlukan ilmu jauh lebih banyak daripada keperluan mereka ter­hadap makanan dan minuman kerana makanan dan minuman diperlukan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia diperlukan sebanyak hem­busan nafas.”
Seorang penun­tut ilmu, sudah tentu tidak meng­inginkan :
  1. Ilmu yang dipelajari hilang begitu sahaja tanpa apa-apa bekas, lebih-lebih lagi, jika yang hilang itu adalah keber­katan ilmunya.
  2. Ilmu yang dipelajarinya tidak menam­bah dekatnya ia dengan Allah swt, namun jus­teru sebalik­nya ia semakin jauh dari Rabbnya, ‘wal ‘iyadzu billah’.
Hendaklah kita fahami bahwa tat­kala ilmu yang dikaji, didalami dan dihafalkan itu tidak sam­pai meresap serta ter­tan­cap kuat ke dalam lubuk hati, maka jus­teru musibah dan ben­cana yang akan ditemui.
Tidak­kah kita ingat ung­kapan emas salah seorang ulama’ salaf, Sufyan bin ‘Uyainah yang menyatakan :
“Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Nas­rani.”
Apa yang dikatakan itu sebenarnya adalah kenyataan yang sering kita temui dan ia bukanlah sebuah cerita dongeng atau cerita fiksyen.
Jika masih ter­simpan dalam ingatan kita, doa sebanyak 17 kali kita lantunkan di dalam solat kita  sepan­jang hari yang kita pan­jatkan kepada Allah swt :
“Tun­jukilah kami jalan yang lurus, iaitu jalan­ orang-orang yang Eng­kau ber­ikan nik­mat atas mereka, dan bukan jalan­ orang-orang yang dimur­kai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nas­rani).”
Inilah doa yang sangat ring­kas namun penuh dengan erti yang mendalam.
PERTAMA :
Kaum Yahudi dimur­kai kerana mereka ber­ilmu namun tidak ber­amal.
KEDUA :
Kaum Nas­rani ter­sesat kerana ber­amal tanpa lan­dasan ilmu.
KETIGA :
Maka, orang yang ber­ada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.
Dari sinilah, kita meng­etahui, bahwa hakikat keil­muan seseorang tidak diukur dengan :
  1. Banyak­nya hafalan yang dia miliki.
  2. Banyak­nya buku yang telah dia beli.
  3. Banyak­nya kaset ceramah yang telah dia jadikan koleksi.
  4. Ramainya ustaz atau bahkan ulama’ yang telah dia kenali.
  5. Deretan ‘title’ akademik yang dibang­gakan ke sana ke mari.
Masihkah kita ingat ucapan salah seorang sahabat Nabi saw yang mulia, Abdullah bin Mas’ud ra:
“Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyak­nya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah ‘Khashyah’ (rasa takut) kepada Allah.”
Sufyan Ats-Tsauri ber­kata :
“Tidaklah aku menyem­buhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.”
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebahagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebahagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR Muslim)
Shafwan bin ‘Asal al-Muradi berkata :
Aku pernah datang menemui Rasulullah saw, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.”
Baginda pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebahagian mereka (malaikat) menaiki sebahagian yang lain sampai ke langit dunia kerana mencintai apa yang mereka lakukan.”
Rasulullah saw bersabda :
“Sebahagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan bermaharajalela, arak ditonggang dan perzinaan merebak.” (HR Bukhari)
Yang dimaksudkan terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia, namun yang dimaksudkan adalah dengan meninggalnya para ulama’ atau orang-orang yang memikul amanah ilmu tersebut.
Perkara ini telah dijelaskan oleh Nabi saw dalam hadits berikut :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba (dari dada manusia) akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama’ sehingga apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari)
Ibnul Qayyim berkata :
“Keperluan kepada ilmu di atas keperluan kepada makanan, bahkan di atas keperluan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak dapat bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak boleh terlepas darinya walau sekelip mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih buruk daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
Di tempat lain Ibnul Qayyim juga berkata :
“Allah swt menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah / bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.”
Imam al-Auza’i berkata :
“Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad saw. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.”
Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata :
“Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba boleh memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba boleh membezakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan dapat mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.”
Ibnu Mas’ud berkata kepada para sahabatnya :
“Sesungguhnya kamu sekarang ini berada di masa para ulama’nya masih ramai dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa selepas kamu di mana tukang ceramahnya ramai namun ulama’nya amat sedikit.”
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di menjelaskan bahwa :
“Ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka boleh memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya.”
Imam Ibnu A’rabi berkata :
“Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim rabbani sehingga dia menjadi orang yang -benar-benar berilmu, mengajarkan ilmunya dan juga mengamalkannya.”
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang sentiasa merasa takut kepada Allah.
Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS Fathir : 28)
Disebabkan oleh penguasaan ilmu dan rasa takut mereka kepada Allah, maka para ulama’ menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari’at Islam.
Masruq berkata :
“Sekadar dengan kualiti ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkatan kejahilannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.”
Sa’id bin Jubair ra berkata :
“Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun zikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berzikir kepadaNya. Barangsiapa yang tidak taat kepadaNya maka dia bukanlah orang yang benar-benar berzikir kepadaNya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah Al-Qur’an.”
Ibnu Baththal berkata :
“Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akhirat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.”
Waki’ bin Al-Jarrah  :
“Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuatkan pendapatnya semata-mata maka dia adalah pembela bid’ah.”
Sa’ad bin Ibrahim pernah ditanya :
“Siapakah yang paling faqih (faham agama) di antara ulama’ di Madinah? Maka beliau menjawab, “Iaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.”
Sufyan Ath Thauri pernah ditanya :
“Menuntut ilmu yang lebih engkau sukai ataukah beramal?”.
Beliau menjawab,
“Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.”
Abu Abdillah Ar-Rudzabari berkata :
“Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.”
Yusuf bin Al-Husain menceritakan:
Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk / berteman dan belajar?”.           
Beliau menjawab,
“Hendaklah kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya boleh menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mahu bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasihat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasihatimu dengan ucapannya semata-mata.”
Ibnul Qayyim berkata :
“Seandainya ilmu boleh bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendita Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan boleh bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.”
Oleh yang demikian, kita dapati para ulama’ salaf sangat bersungguh-sungguh dalam per­juangan untuk meng­gapai keikh­lasan dan menaklukkan hawa nafsu serta cita-cita duniawi.
Sebenarnya ikh­las, bukanlah :
  1. Ucapan yang ter­lon­tar di lidah.
  2. Huruf yang ter­tulis dalam catatan.
  3. Banyak­nya harta yang telah kita sum­bangkan untuk kebaikan.
  4. Lamanya waktu kita ber­dakwah.
  5. Penam­pilan fizikal yang nam­pak oleh mata.
Tapi, ikh­las adalah ‘per­mata’ yang ter­simpan di dalam hati seorang muk­min yang meren­dahkan hati dan jiwa-raganya kepada ‘Rabb’ penguasa alam semesta.
Inilah kunci keselamatan dan keber­hasilan yang akan men­jadi sebab ter­bukanya ger­bang ketenteraman dan hidayah dari Allah swt.
Firman Allah swt :
“Orang-orang yang ber­iman dan tidak men­cam­puri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mem­perolehi keamanan dan mereka itulah orang-orang yang men­dapatkan hidayah.” (QS Al-An’am : 82)
“Pada hari (kiamat) tidak lagi ber­guna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang meng­hadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS Asy-Syu’ara’ : 88–89)
Rasulullah saw ber­sabda :
“Sesung­guh­nya Allah tidak meman­dang kepada rupa kamu, tidak juga harta kamu. Akan tetapi yang dipan­dang adalah hati dan amal kamu.” (HR Mus­lim)
Semen­tara kita semua meng­etahui, bahwa tanpa keikh­lasan, tidak ada amal yang akan diterima oleh Allah swt.
Kita juga mungkin masih ingat, nasihat seorang ahli hadits kon­tem­porari, Syaikh Al Albani di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak men­jadi orang yang mem­buru kemasyhuran.
Beliau meng­utip ung­kapan para ulama’ yang terdahulu :
“Menyukai ‘keting­gian’ akan mematahkan pung­gung.      
Mak­nanya, gila populariti atau kemasyhuran akan menyebabkan kebinasaan.
Firman Allah swt :
“Ber­ikanlah per­ingatan, sesung­guh­nya per­ingatan itu akan ber­guna bagi orang-orang yang ber­iman.” (QS Az-Zaariyat : 55)
Sesungguhnya ikhlas adalah rahsia kejayaan dakwah nabi dan rasul serta para pen­dahulu kita yang soleh.
Walau sedikit manapun jum­lah orang yang tun­duk meng­ikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai ber­hasil dan telah menunaikan tugas mereka dengan baik.
Mereka tidak dikatakan gagal, mes­kipun :
  1. Ayah­ mereka sen­diri penyembah ber­hala.
  2. Anak­ mereka sen­diri menolak per­in­tah Rabb mereka.
  3. Bapa saudara mereka sen­diri tidak mahu masuk Islam yang diserukan­ oleh mereka.
  4. Tidak ada pengikut­ mereka kecuali seorang dua sahaja, bahkan ada nabi yang tidak mempunyai pengikut sama sekali!
Mereka adalah suatu kaum yang men­dapat pujian dan keutamaan dari Allah kerana :
  1. Keikh­lasan dan ketaatan mereka kepada Rabb mereka.
  2. Ilmu dan amalan yang mereka miliki.
Allah swt ber­firman :
“Barang­siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan ber­sama dengan kaum yang men­dapatkan kenik­matan dari Allah, iaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang soleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS An-Nisaa’ : 69)
Jika kita memang ikh­las, niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita men­dapatkan hidayah, samada itu melalui tangan kita atau melalui tangan orang lain.
Jika kita memang ikh­las, maka amalan sekecil apapun tidak akan per­nah kita abaikan.
Abdullah bin Mubarak meng­ingatkan :
“Betapa banyak amalan kecil yang men­jadi besar kerana niat. Dan betapa banyak amalan besar men­jadi kecil gara-gara niat.”
BERTAQWALAH WAHAI PARA PENUNTUT ILMU!
Allah swt berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kamu ‘furqan’, menghapuskan dosa-dosa kamu dan mengampuninya untuk kamu. Allahlah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS Al-Anfal : 29)
Tatkala seorang hamba menunaikan ketaqwaan kepada Rabbnya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya.
Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah ruah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertaqwa.
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan :
  1. ‘Furqan’, iaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia boleh membezakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka.
b.      Dihapuskannya dosa.
c.       Pengampunan atas dosa.
d.      Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertaqwa kepadaNya dan lebih mengutamakan keridhaanNya di atas hawa nafsu mereka.
Kedua-dua  istilah pada b dan c ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah antara satu sama lain. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksudkan dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksudkan dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar.
Ciri-ciri orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang menghiasi diri mereka dengan aqidah yang sahih dan amal soleh samada amal batin ataupun amal lahiriyah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah swt dalam firmanNya :
“Iaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara ghaib, mendirikan solat, dan menginfakkan dari sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan kepada nabi-nabi sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS Al-Baqarah : 3-4)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama orang yang bertaqwa adalah mengimani perkara yang ghaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka.
Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh pancaindera kerana hal itu tidaklah membezakan antara seorang muslim dengan seorang yang kafir.
Sesungguhnya yang menjadi karakteristik ketaqwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara yang ghaib iaitu sesuatu yang tidak dapat kita lihat dan saksikan secara langsung.
KEBAHAGIAAN ILMU
Ibnul Qayyim mengatakan :
“Adapun kebahagiaan ilmu, maka perkara itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar dan niat yang benar.”
Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal ini :          
“Katakanlah kepada orang yang mendambakan,                                         
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia,
Tanpa mengerahkan kesungguhan,
Bererti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada.”
Beliau juga mengatakan :
“Berbagai kemuliaan berkait erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu). Sedangkan kebahagiaan tidak akan dapat dilalui kecuali dengan meniti jambatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan.”
Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu agar ianya mampu menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agamaNya dari serangan musuh-musuhNya.
Sesungguhnya pada zaman yang penuh dengan pelbagai fitnah ini, kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nantikan.
Mereka adalah para penuntut ilmu yang :
  1. Berhias diri dengan adab-adab Islami.
  2. Tidak tergoda oleh gemerlapan dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana.
  3. Mampu merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan.
  4. Sentiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya.
  5. Bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas.
  6. Mencintai Allah dan RasulNya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu.
Ya Allah, jadikanlah kami penuntut ilmu yang ikhlas dan bertaqwa kepadaMu. Berikanlah kekuatan kepada kami dengan ilmu yang engkau ajarkan kepada kami serta jadikanlah ilmu yang kami pelajari itu sebagai hujjah untuk membela kami dan bukannya hujjah yang menjatuhkan kami.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS


Thursday, 29 November 2012

Sifat Bolak Balik Hati

Manusia dari masa ke semasa akan mengalami perubahan dan pergantian. Bermula dari seorang bayi, kemudian berkembang menjadi seorang anak dan dari seorang anak berubah menjadi remaja. Dari remaja berubah menjadi dewasa dan akhirnya menjadi tua renta hingga ajal menjemput nyawa.

Ini bererti manusia adalah makhluk yang sentiasa mengalami perubahan. Perubahan sangat dekat dengan fitrahnya serta sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti :
  1. Pengetahuan.
  2. Keyakinan.
  3. Pergaulan.
  4. Pengalaman.
dan sebagainya.      
                                                      
Sangat jarang kita menjumpai manusia yang tetap tanpa perubahan kerana perubahan pada diri manusia merupakan suatu kelaziman.

Pada asasnya, manusia memerlukan perubahan dan kehidupan akan terasa jemu tanpa adanya perubahan.

Seorang karyawan merasa jemu melakukan pekerjaan yang tidak berubah. Setiap orang mengalami kejemuan dengan sesuatu yang bersifat ‘monotonous’.

Begitu juga dengan hati kita, ia akan sentiasa berubah-ubah dan tidak tetap.
  1. Kadang-kadang hati ini lembut, namun kadang-kadang, sebaliknya ianya mengeras.
  2. Kadang-kadang hati ini bercahaya dan kadang-kadang ianya gelap.
  3. Kadang-kadang hati begitu tawadhu’ manakala di masa lain ia berubah menjadi angkuh.
  4. Suatu ketika, hati ini boleh sabar, manakala di waktu yang lain ia cepat marah dan langsung menjadi tidak sabar.
  5. Suatu waktu, hati ini terasa tenang, namun di waktu yang lain ianya terasa kosong dan   bingung.
  6. Hati boleh taat kepada Allah dan boleh pula durhaka kepadaNya.
  7. Dalam beribadah, hati mampu mencapai darjat khusyu’ dan boleh pula dengan mudah menjadi lalai.
Firman Allah swt :

“Dan Kami bolak-balikkan hati mereka dan penglihatan mereka.”(QS Al-An’am: 110)

Iman yang ada di dalam hati pun boleh berubah-ubah.
  1. Pagi hari beriman, petang hari ingkar.
  2. Petang hari beriman, pagi hari kufur.
Begitulah sifat hati manusia. Perubahan hati sangat cepat dan kadang-kadang tidak mampu dikendalikan dengan baik.

Boleh jadi,
  1. Hati dihiasi oleh sifat-sifat yang luhur, namun dalam masa yang sama, ia boleh dililit dengan sifat-sifat yang tercela.
  2. Hati dapat merasakan ketenangan ketika bersama Allah namun, ia juga boleh merasa resah ketika menghadap Allah kerana ia merasa banyak dosa saat menghadapNya.
Hati dalam bahasa Arab disebut dengan qalb’ yang ertinya bolak-balik kerana memang sifatnya yang cepat berbolak-balik (berubah).

Hati bagaikan bulu ayam yang tergantung di atas pokok yang dibolak-balikkan oleh angin sehingga bahagian atas terbalik ke bawah dan bahagian bawah terbalik ke atas. Demikianlah yang di sabdakan oleh Rasulullah saw :

 “Hati dinamakan ‘qalb’ kerana sifatnya yang cepat berubah. Hati itu bagaikan bulu (ayam) yang tergantung di atas sebuah pokok, yang dibolak-balikkan oleh angin sehingga bahagian atas terbalik ke bawah dan bahagian bawah terbalik ke atas.” (HR Ahmad)  

Bahkan dalam hadits lain hati berubah sangat cepat melebihi perubahan air yang sedang mendidih.

Rasulullah saw pernah bersabda :

 “Sesungguhnya hati anak cucu Adam lebih cepat perubahannya dari periuk yang berisi air mendidih.” (HR Ahmad)

Perubahan hati terserlah pada tutur kata dan kewujudan perbuatan yang dilakukannya. Oleh yang demikian, kita tidak perlu hairan, jika kita menjumpai orang yang sering bersilat lidah atau orang yang tidak memberi sepenuh komitmen dengan janji yang ia ucapkan.

Namun, walaupun keberadaan hati sentiasa berubah terus, bagi seorang mukmin, hendaknya ia berusaha menjaga dan merawat kebersihan hati dari penyakit yang hendak merusakkannya.

Hati boleh berubah-ubah selama mana perubahan itu tidak menjurus kepada maksiat atau durhaka kepada Allah.

Tidak ada seorang pun yang dapat menjamin hatinya tetap dalam sesuatu keadaan di mana hati akan berubah mengikut perkara yang sedang di hadapi.

Perbezaan perkara yang dihadapi boleh menyebabkan berlakunya perubahan hati.

Misalnya dalam bekerja, jika pekerjaannya banyak membawa keuntungan, hati akan tenang dan  terasa mudah untuk bekerja namun, apabila pekerjaannya muflis, maka hati akan mula resah dan  berpaling darinya.

Hati akan condong kepada perkara yang disukai dan berpaling dari perkara yang tidak disenangi. Dari sinilah, dapat diketahui bahwa perbezaan niat atau motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan ditentukan oleh sudut pandang yang berbeza-beza.

CONTOH 1 :

Orang yang solat, di saat ‘takbiratul ihram' ia niat ikhlas kerana Allah, tetapi ketika berada di tengah-tengah semasa melakukan solat, hati boleh berubah sewaktu-waktu, kerana ia mengingati sesuatu atau kerana ia terlena dengan pujuk rayu syaitan.

CONTOH 2 :

Orang yang bersedekah, di permulaan niatnya adalah kerana Allah, tetapi setelah mendapat sanjungan dan pujian, niatnya berubah menjadi bangga serta ingin mendapat pujian.

Perubahan-perubahan ini yang semestinya dijauhi dan ditinggalkan oleh orang yang rindu akan rahmat Allah.

Rahmat dan ridha Allah akan diberikan kepada orang yang beramal kerana Allah semata-mata mulai dari awal hingga akhir amalnya serta ia tidak dapat menjaga niat ini kecuali ia menyerahkan urusannya kepada Allah sebelum beramal.

Kita mestilah mengetahui bahwa hati berada dalam genggaman Allah.

Firman Allah swt :

Sesungguhnya Allahlah yang membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS Al-Anfal : 24)

Dengan kata lain hanya Allah yang menguasai hati manusia.

Allah swt tidak akan menerima amal kecuali orang yang hatinya bersih (ikhlas).

Firman Allah swt :

Kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’araa’ : 89)

Hati juga boleh mengeras disebabkan :
  1. Banyak melakukan larangan Allah dan sering meninggalkan perintahNya.
  2. Menjauhkan diri dari ulama’.
  3. Sering ketawa.
  4. Mengambil makanan yang haram.
Melakukan dosa besar misalnya boleh menyebabkan hati menjadi beku. Hati yang beku akan sukar untuk menerima sentuhan hidayah Ilahi dan jauh dari rahmat Allah swt.

Allah swt berfirman :

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingati Allah.” (QS Az-Zumar : 22)

Sebaliknya Allah swt bakal mengampuni dosa orang yang takut pada azabNya dan ia datang dengan hati yang bertaubat di mana Allah menggolongkan mereka di kalangan hamba-hambaNya yang beruntung dan terus terpaut denganNya.

Allah swt :

“Bagi orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan ia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS Qaaf : 33)

Seorang mukmin mesti mengetahui :
  1. Keadaan hatinya yang sentiasa berubah-ubah.
  2. Penyebab hati yang menjadi rusak.
  3. Usaha-usaha pencegahan hati dari kerusakan.
  4. Jalan-jalan penyelesaian untuk menyelamatkan hati.
Jika kita mengetahui hati mulai terasa sakit, ia mestilah cepat-cepat mengubati hatinya sebelum ia tertutup yang pada akhirnya akan membuat dirinya akan hancur.

Masalah ini sangat penting kerana Allah swt telah mengingatkan kita akan bahaya hati yang keras, lalai, sakit, buta, tertutup, terbalik dan terkunci mati.

Tanpa menyedari bahwa hati itu sentiasa berubah-ubah, seringkali ia tidak bersedia menerima masalah yang di hadapi.

Dengan menyedari bahwa hati yang sentiasa berubah-ubah, seseorang akan lebih bersedia menjalani kehidupan di bawah ketetapan Allah swt.

Perhatikan anjuran Rasulullah saw di kala kita menyukai sesuatu.

Rasulullah saw pernah bersabda :

“Cintailah apa yang kamu cintai sekadarnya sahaja, boleh jadi apa yang kamu cintai itu menjadi sesuatu yang paling kamu benci pada suatu hari nanti. Bencilah sesuatu yang kamu benci sekadarnya sahaja, boleh jadi ia akan menjadi sesuatu yang paling kamu sukai pada suatu hari nanti.” (HR Tirmizi)

Hadits ini menganjurkan kepada kita sikap bersederhana dalam menghadapi permasalahan hidup serta melarang kita dari berlebih-lebihan dalam setiap perkara kerana Rasulullah saw sangat mengetahui bahwa hati manusia sentiasa berbolak-balik.

Sekarang mungkin ia cinta, besok sudah lupa, kelmarin sangat benci, sekarang begitu rindu ingin bertemu.

Maka, hendaklah kita jangan berlebih-lebihan dalam sesuatu perkara kerana ianya termasuk perbuatan yang dilarang dan merupakan perbuatan syaitan.

Mengapa hati sentiasa berubah-ubah?

Ini adalah kerana ia merupakan muara dari segala tujuan.

Misalnya, jika sesuatu ‘A’ menyentuh hati dan berpengaruh kepadanya, maka dari arah lain ada pula sesuatu ‘B’ yang meresap ke dalam hati yang berlawan dengan sesuatu ‘A’, hinggakan hatinya menjadi berubah.

Demikianlah yang berlaku ketika syaitan turun ke hati dan mengajaknya untuk memperturutkan keinginan nafsu, maka malaikat akan turun ke hati untuk menghalau syaitan dari hati.

Jika syaitan menarik hati untuk berbuat keburukan, maka malaikat menarik hati untuk berbuat kebaikan.

Dengan yang demikian, dalam suatu waktu, akan berlaku perebutan antara syaitan dan malaikat untuk menguasai hati.

Hati akan penuh dengan sifat-sifat keburukan jika ia mengikuti bisikan syaitan dan memperturutkan bisikan itu  manakala hati akan penuh dengan sifat-sifat yang baik, jika ia mengikuti bimbingan malaikat dan merealisasikan dalam perbuatannya kerana sifat hati itu sentiasa berubah-ubah.

Meskipun hati sentiasa berubah, ada perkara yang tidak boleh berubah, iaitu :
  1. Keimanan kepada Allah.
  2. Ketaatan kepadaNya.
Janganlah sampai iman dan taqwa kita berubah-ubah kerana kedua-duanya adalah tiang kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat kelak.

Baik dan buruk, bahagia dan susah, pahala atau siksa, syurga atau neraka bergantung pada kedua-duanya.

Begitu pentingnya perkara di atas sehingga keduanya menjadi kayu ukur diterima atau ditolaknya amal perbuatan oleh Allah swt.

Oleh kerana itu, Rasulullah saw sentiasa berdoa agar diberikan ketetapan hati untuk mentaati Allah swt.

 “Wahai Zat Yang Memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan kepadaMu!”(HR Muslim)

Keikhlasan mesti tetap terjaga kualitinya pada saat kita beramal. Jika ia rusak, maka cederalah amalnya.

Ikhlas beramal kerana Allah tidak boleh berubah, kerana ia adalah ruh ibadah. Tanpanya, amal akan menjadi sia-sia.

Begitu juga dalam kita tetap berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ianya tidak boleh berubah atau berpindah kepada pedoman-pedoman yang lain. Kedua-duanya adalah pelita hidup dan penuntun menuju syurga Allah swt. Orang yang berpijak pada keduanya akan selamat di dunia dan di akhirat.

Akhirnya kita hanya mampu berusaha dan berharap semoga Allah swt berkenan memberikan kemantapan iman, ketaqwaan, keikhlasan dan ketetapan untuk berpedoman dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kerana dengan ketetapan hati pada perkara-perkara tersebut merupakan modal awal untuk kita sentiasa dapat bersama Allah swt.

Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang membolak-balikkan hati-hati, maka tetpkanlah hati kami di atas agamaMu dan lindungilah hati kami dari sifat lalai, lupa dan buta sehingga kami mampu menangkap keagungan dan kebesaranMu.

Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS