Ujian dan cobaan adalah suatu sunnah yang telah
ditetapkan oleh Allah swt kepada manusia untuk menilai sejauh mana kepatuhan
dan ketundukan mereka dalam melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi ini.
Mungkin ramai di antara kita yang tidak menyedari
bagaimanakah caranya kita berinteraksi secara amali dengan Al Qur’an sepanjang
kita menghadapi semua ujian , cobaan dan badai yang sedang berlangsung.
Bahkan ini adalah saat yang paling bagus untuk
mentarbiyah diri kita semua samada secara individu ataupun secara jama’ie
melalui ujian-ujian yang kita hadapi.
Dari pengalaman yang kita perolehi, samada dalam berinteraksi dengan Al Qur’an mahupun melalui inspirasi yang kita perolehi di medan perjuangan, setidak-tidaknya kita akan mendapatkan tiga perkara :
PERTAMA : Semua ujian yang diberikan oleh Allah swt kepada kita itu adalah merupakan cara Allah swt untuk meningkatkan kadar ‘Keikhlasan ubudiyah kita kepada-Nya’ atau disebut “Ikhlaashul ‘ubuudiyah lillaah”.
Dari pengalaman yang kita perolehi, samada dalam berinteraksi dengan Al Qur’an mahupun melalui inspirasi yang kita perolehi di medan perjuangan, setidak-tidaknya kita akan mendapatkan tiga perkara :
PERTAMA : Semua ujian yang diberikan oleh Allah swt kepada kita itu adalah merupakan cara Allah swt untuk meningkatkan kadar ‘Keikhlasan ubudiyah kita kepada-Nya’ atau disebut “Ikhlaashul ‘ubuudiyah lillaah”.
Ujian-ujian yang diberikan kepada kita bertujuan
untuk :
1. Kita
melakukan re-orientasi terhadap amal-amal kita.
2. Meneliti
semula niat kita.
3. Memperbaiki
arah tuju kehidupan kita.
Sesuatu yang pasti wujud dalam minda dan hati kita bahwa
niat asal kita semasa terlibat dalam gerakan dakwah ini adalah semuanya dalam
rangka ibadah dan dakwah. Oleh yang demikian, niat yang suci tersebut perlulah
terus menerus kita pertahankan dalam setiap situasi yang kita hadapi.
Semua ujian-ujian yang diberikan oleh Allah swt kepada kita bertujuan bagi menyedarkan kita tentang ‘Qudratullah’ (Maha Kuasanya Allah swt) dan sekaligus menyerlahkan akan kelemahan kita.
Semua ujian-ujian yang diberikan oleh Allah swt kepada kita bertujuan bagi menyedarkan kita tentang ‘Qudratullah’ (Maha Kuasanya Allah swt) dan sekaligus menyerlahkan akan kelemahan kita.
Oleh kerana itu yang ingin dilihat oleh Allah swt
dari diri kita semuanya sebagai hambaNya dalam situasi seperti ini adalah adalah
suasana perasaan orang yang hina dan lemah di hadapan Allah swt dan merasakan
bahwa pada akhirnya kita ini tidak mempunyai apa-apa di hadapan Allah swt dan
semua daya upaya kita itu adalah semata-mata pemberian dari Allah swt.
Adalah penting untuk perasaan seperti ini kita
hadirkan terus menerus di sepanjang jalan perjuangan kita semua supaya semua keletihan
yang telah kita rasakan dalam perjuangan ini di samping semua pengorbanan yang
sudah kita keluarkan tidak akan hilang sia-sia kerana dari awal lagi kita sedar
bahwa semuanya adalah untuk Allah swt.
KEDUA : Sepanjang hari, minggu, bulan atau tahun yang kita lalui sehingga sekarang, kita benar-benar merasakan apa ertinya sabar (Ash-shabru wal mushaabarah).
KEDUA : Sepanjang hari, minggu, bulan atau tahun yang kita lalui sehingga sekarang, kita benar-benar merasakan apa ertinya sabar (Ash-shabru wal mushaabarah).
Jika kita belajar dari Al Qur’an bahwa sifat yang
paling banyak diulangi di dalam Al Qur’an itu adalah sabar. Begitu juga apabila
kita membandingkan perkataan sabar dalam Al Qur’an dengan semua akhlak yang
lainnya, maka sabarlah yang paling banyak diulang-ulang sehingga para ulama’
mengatakan bahwa sabar itu adalah ‘Ummul Akhlaq’ (Induk semua akhlak
yang terpuji).
Di dalam Al Qur’an, sabar itu adalah berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bertahan dan meneruskan kehidupan.
Di dalam Al Qur’an, sabar itu adalah berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk bertahan dan meneruskan kehidupan.
Misalnya Allah swt mengatakan :
“Demi sesungguhnya! Kami akan menguji kamu dengan sedikit
perasaan takut (kepada musuh) dan (dengan merasai) kelaparan, dan (dengan
berlakunya) kekurangan dari harta benda dan jiwa serta hasil tanaman. Dan
berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah : 155)
Jika kita perhatikan bahwa sebelum sampai kepada ayat 156, iaitu “(Iaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka berkata: "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali." Allah swt menggunakan perkataan nakirah, ‘Bi syai-in minal khauf’ iaitu dengan sedikit rasa takut (tidak banyak)
Situasi seperti ini juga berlaku kepada Nabi Musa as sepertimana dalam ayat berikut :
“Semenjak itu, tinggallah ia di bandar (Mesir) dalam keadaan cemas sambil memerhatikan (berita mengenai dirinya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kepadanya semalam, memanggil meminta pertolongannya lagi. Musa berkata kepadanya: "Sesungguhnya engkau ini orang yang nyata sesatnya!" (QS Al Qashash :18)
Situasi ini berlaku setelah peristiwa baginda membunuh seseorang, maka Nabi Musa as berada dalam kota itu dalam keadaan takut dan berwaspada. Bahkan ketika baginda mendapatkan berita bahwa baginda akan dibunuh, kalimatnya diulangi kembali oleh Al Qur’an :
“Musa pun keluarlah dari negeri itu dalam keadaan cemas sambil memerhatikan (berita mengenai dirinya) serta berdoa dengan berkata: "Wahai Tuhanku, selamatkanlah daku dari kaum yang zalim ". (QS Al Qashash : 21)
Jadi nasib yang dihadapi oleh umat Islam di banyak tempat kini juga mirip dengan situasi ini di mana mereka berada dalam suasana tekanan, ketakutan dan penderitaan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan ianya tidak selesai sehingga sekarang dan mungkin tidak akan selesai dalam masa yang terdekat.
Jika kita perhatikan bahwa sebelum sampai kepada ayat 156, iaitu “(Iaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh sesuatu kesusahan, mereka berkata: "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali." Allah swt menggunakan perkataan nakirah, ‘Bi syai-in minal khauf’ iaitu dengan sedikit rasa takut (tidak banyak)
Situasi seperti ini juga berlaku kepada Nabi Musa as sepertimana dalam ayat berikut :
“Semenjak itu, tinggallah ia di bandar (Mesir) dalam keadaan cemas sambil memerhatikan (berita mengenai dirinya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kepadanya semalam, memanggil meminta pertolongannya lagi. Musa berkata kepadanya: "Sesungguhnya engkau ini orang yang nyata sesatnya!" (QS Al Qashash :18)
Situasi ini berlaku setelah peristiwa baginda membunuh seseorang, maka Nabi Musa as berada dalam kota itu dalam keadaan takut dan berwaspada. Bahkan ketika baginda mendapatkan berita bahwa baginda akan dibunuh, kalimatnya diulangi kembali oleh Al Qur’an :
“Musa pun keluarlah dari negeri itu dalam keadaan cemas sambil memerhatikan (berita mengenai dirinya) serta berdoa dengan berkata: "Wahai Tuhanku, selamatkanlah daku dari kaum yang zalim ". (QS Al Qashash : 21)
Jadi nasib yang dihadapi oleh umat Islam di banyak tempat kini juga mirip dengan situasi ini di mana mereka berada dalam suasana tekanan, ketakutan dan penderitaan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan ianya tidak selesai sehingga sekarang dan mungkin tidak akan selesai dalam masa yang terdekat.
Namun, kita sebagai individu juga merasakan bahwa
kita dalam keadaan jiwa yang sama seperti itu dan inilah yang dimaksudkan dalam
Al Qur’an.. wanabluwakum bi syai-in
minal khaufi wal juu’iy.
Kita juga merasakan keterbatasan sumber tenaga namun
kita usahakan untuk menyelesaikannya dengan cara kita sendiri, dengan keupayaan
kita sendiri, dengan duit poket kita sendiri. Yang paling penting untuk kita
tunjukkan dalam situasi seperti ini adalah menjawab pertanyaan asasi iaitu sejauh
mana kita mampu bertahan dalam keadaan di mana kita hanya benar-benar menyandarkan
kepada kemampuan kita sendiri tanpa bantuan orang lain dan inilah yang membuktikan
kepada diri kita dan juga kepada orang lain bahwa kita ini serius dalam menolong
agama kita sendiri serta serius dalam menyokong nilai-nilai perjuangan dan
cita-cita kita semuanya.
Berbagai situasi yang kita hadapi bukan hanya dalam landskap politik negara bahkan dalam kehidupan dakwah secara umum di mana wujud situasi seperti yang dihadapi oleh Nabi Yunus iaitu terjebak dalam situasi di mana tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh manusia.
Berbagai situasi yang kita hadapi bukan hanya dalam landskap politik negara bahkan dalam kehidupan dakwah secara umum di mana wujud situasi seperti yang dihadapi oleh Nabi Yunus iaitu terjebak dalam situasi di mana tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh manusia.
Cuba kita bayangkan seandainya kita berada dalam
perut ikan seperti itu dan tidak ada lagi yang boleh kita lakukan namun kita
tidak juga mati, cuma kita ada dalam situasi seperti itu.
Yang membuatkan seseorang boleh bertahan dalam
situasi seperti itu adalah sabar dan tetap berharap. Oleh kerana itu, jika kita
lihat, doa Nabi Yunus itu adalah doa yang sangat sederhana.
“Laa ilaaha ilaa anta subhanaka inni kuntu minazhzhaalimiin”.
Hakikatnya itu bukanlah doa secara rasminya namun ia sebagai suatu pengakuan terhadap dosa yang telah kita lakukan. Jadi dalam situasi seperti itu, sabarlah yang membuatkan seseorang itu mampu bertahan untuk hidup dan terselamat dalam situasi yang paling sukar.
“Laa ilaaha ilaa anta subhanaka inni kuntu minazhzhaalimiin”.
Hakikatnya itu bukanlah doa secara rasminya namun ia sebagai suatu pengakuan terhadap dosa yang telah kita lakukan. Jadi dalam situasi seperti itu, sabarlah yang membuatkan seseorang itu mampu bertahan untuk hidup dan terselamat dalam situasi yang paling sukar.
Yang menariknya juga bahwa di dalam Al Qur’an, sabar
dihubungkan dengan kepemimpinan sebagaimana firman Allah swt :
“Dan Kami jadikan dari kalangan mereka beberapa pemimpin, yang membimbing kaum masing-masing kepada hukum agama Kami, selama mereka bersikap sabar (dalam menjalankan tugas itu) serta mereka tetap yakin akan ayat-ayat keterangan Kami.” (QS As Sajdah : 24)
“Dan Kami jadikan dari kalangan mereka beberapa pemimpin, yang membimbing kaum masing-masing kepada hukum agama Kami, selama mereka bersikap sabar (dalam menjalankan tugas itu) serta mereka tetap yakin akan ayat-ayat keterangan Kami.” (QS As Sajdah : 24)
Kenapa demikian?
Sebagai contoh, apa yang paling berat dalam suasana politik
negara kini adalah sewaktu kita berada dalam satu situasi di mana satu-satunya perkara
yang paling bijak yang kita lakukan pada saat itu adalah diam. Itu adalah situasi
yang sangat berat.
Kita mahu bergerak tapi memang situasi semasa menuntut
kita untuk diam. Mungkin ini juga yang membuatkan ramai orang melakukan
kesalahan dalam senario politik di mana apabila sepatutnya dia diam, namun dia tetap
bergerak.
Dalam satu hadith Rasulullah saw mengatakan :
“Akan
datang satu fitnah kepada manusia…..Yang duduk pada waktu itu lebih baik
daripada yang berjalan manakala yang berjalan pada waktu lebih baik daripada
yang berdiri.”
Jadi, itulah yang membuatkan seseorang boleh menjadi pemimpin kerana dia mampu mengendalikan diri dalam situasi yang paling sukar dan serba kekurangan seperti itu.
Jadi, itulah yang membuatkan seseorang boleh menjadi pemimpin kerana dia mampu mengendalikan diri dalam situasi yang paling sukar dan serba kekurangan seperti itu.
Di antara salah satu pengalaman menarik secara kerohanian
itu adalah pada waktu Rasulullah saw menghadapi sekatan ekonomi selama tiga
tahun. Setelah sekatan ekonomi itu selesai, surah yang turun itu adalah surah ‘Adh-Dhuha’
dan surah ‘Al Insyirah’. Dua surah itu semuanya memperkuatkan nilai-nilai
keyakinan Rasulullah saw tentang hal ini.
Menjadi suatu yang amat penting untuk mengungkap kembali perkara ini kerana kita akan memasuki tahap-tahap perjuangan yang lebih mencabar dan ini memerlukan tenaga dan kesabaran yang jauh lebih besar. Di sinilah dapat dibuktikan apakah kita mampu memimpin atau benar-benar tidak dapat memimpin.
KETIGA : Kita juga merasakan bahwa salah satu sudut penting dari tarbiyah qur’aniyah itu adalah menyedari apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an dengan istilah ‘Kembali kepada taufik Ilahi’ (Raja’-ut taufiiq ilaahiy).
Yang dimaksudkan dengan taufik itu adalah :
“Bertemunya kehendak Allah dan harapan manusia pada zaman yang tepat dan waktu yang tepat dan tempat yang tepat.”
Menjadi suatu yang amat penting untuk mengungkap kembali perkara ini kerana kita akan memasuki tahap-tahap perjuangan yang lebih mencabar dan ini memerlukan tenaga dan kesabaran yang jauh lebih besar. Di sinilah dapat dibuktikan apakah kita mampu memimpin atau benar-benar tidak dapat memimpin.
KETIGA : Kita juga merasakan bahwa salah satu sudut penting dari tarbiyah qur’aniyah itu adalah menyedari apa yang dimaksudkan oleh Al Qur’an dengan istilah ‘Kembali kepada taufik Ilahi’ (Raja’-ut taufiiq ilaahiy).
Yang dimaksudkan dengan taufik itu adalah :
“Bertemunya kehendak Allah dan harapan manusia pada zaman yang tepat dan waktu yang tepat dan tempat yang tepat.”
Kita semua adalah orang yang percaya kepada takdir
namun kita tidak pernah tahu apa yang ditakdirkan kepada kita sehingga kita
adalah orang yang terus menerus berusaha meraba-raba, menyelongkar dan mencari-cari
apa sesungguhnya yang ditakdirkan kepada kita itu.
Pelajaran yang paling penting sepanjang masa-masa
yang kita lalui dan rasakan setidak-tidaknya secara peribadi adalah bahwa
ternyata tingkatan ketepatan kita itu tidak pernah benar-benar dapat kita rancangkan.
Jadi apa yang kita maksudkan dengan keadaan terburu-buru
atau terlambat itu tidak pernah kita benar-benar dapat tahu dan itu hakikat
sebenarnya adalah takdir Allah swt kerana kita bergerak dalam situasi di mana
sebahagian besar komponen-komponen perubahan itu tidak ada dalam kendalian kita
dan satu-satunya cara untuk menghadirkan semua komponen-komponen seperti yang
kita inginkan itu adalah menyelesaikan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai
hamba dan bakinya kita menyerahkannya kepada Allah swt. Biarlah Dia yang
mengaturnya dengan caranya sendiri.
Adalah amat penting untuk menghadirkan kembali makna ini supaya dalam proses pengambilan sesebuah keputusan kita serta dalam cara kita melangkah, kita menghadirkan tiga makna ini dalam satu rangkaian sekaligus.
Oleh yang demikian, nilai sesebuah keputusan ini boleh dianggap tepat pada hari ini dalam pandangan mata kasar kita namun belum tentu tepat secara hakikinya bagi kita. Ianya sama seperti ketika orang lain mungkin merancang sesuatu yang tidak baik terhadap kita, dari situlah datangnya perancangan Allah kepada mereka.
Adalah amat penting untuk menghadirkan kembali makna ini supaya dalam proses pengambilan sesebuah keputusan kita serta dalam cara kita melangkah, kita menghadirkan tiga makna ini dalam satu rangkaian sekaligus.
Oleh yang demikian, nilai sesebuah keputusan ini boleh dianggap tepat pada hari ini dalam pandangan mata kasar kita namun belum tentu tepat secara hakikinya bagi kita. Ianya sama seperti ketika orang lain mungkin merancang sesuatu yang tidak baik terhadap kita, dari situlah datangnya perancangan Allah kepada mereka.
Jadi makna-makna ini semuanya adalah ‘Ma’aani
ruhiyyah’ (makna-makna secara kerohanian) yang perlu kita hadirkan
kembali kerana dengan makna-makna kerohanian inilah, kita memberikan sentuhan kerohanian
yang kuat dalam setiap kerja dan amal dakwah kita.
Salah satu manfaat dari musibah-musibah yang menimpa kita adalah ianya membuka mata kita kepada kelemahan-kelemahan kita namun pada waktu yang sama, ia juga membuka mata kita kepada kelebihan-kelebihan dan kekuatan-kekuatan kita yang mungkin selama ini tidak kita sedari.
Salah satu manfaat dari musibah-musibah yang menimpa kita adalah ianya membuka mata kita kepada kelemahan-kelemahan kita namun pada waktu yang sama, ia juga membuka mata kita kepada kelebihan-kelebihan dan kekuatan-kekuatan kita yang mungkin selama ini tidak kita sedari.
Pengalaman adalah sesuatu yang terbuka untuk
dipelajari dan jangan sekali-kali mengharamkan diri kita untuk gagal pada suatu
waktu kerana kegagalan itu sendiri adalah unsur pembelajaran.
Jika ada perkara yang lebih penting dalam proses
pencapaian yang kita harapkan, semuanya ini adalah dengan sebab tumbuhnya
kemampuan berfikir secara empirikal yang ada dalam diri kita sekarang ini di
mana kita mulai mampu menerapkan ilmu pengetahuan dalam hampir semua aspek cara
kita bekerja.
Mudah-mudahan dengan cara seperti ini, kita akan mentransformasi
diri kita secara perlahan-lahan menjadi salah satu model dari apa yang sekarang
biasa disebut sebagai ‘Knowledge Society’ (Masyarakat berpengetahuan) iaitu yang
menggunakan pengetahuannya sebagai sebuah fungsi untuk memperbaiki gerakerja
dari masa ke semasa.
Pencapaian-pencapaian seperti ini dalam sebuah organisasi dakwah amat penting untuk terus menerus dicatatkan kerana ianya mempunyai implikasi yang sangat panjang dalam daya tahan organisasi ini melawan waktu yang panjang di masa yang akan datang.
Pencapaian-pencapaian seperti ini dalam sebuah organisasi dakwah amat penting untuk terus menerus dicatatkan kerana ianya mempunyai implikasi yang sangat panjang dalam daya tahan organisasi ini melawan waktu yang panjang di masa yang akan datang.
Inilah yang dimaksudkan dengan peningkatan pada penguasaan
waqi’ dan realiti semasa samada dalam kefahaman, pembentukan, penyempurnaan dan
struktur berfikir hingga kepada kemampuan bekerja sesebuah organisasi tersebut.
Jika semuanya itu sudah jelas, sebenarnya yang kita
perlukan hanya tinggal melangkah sahaja. Cuma jarak antara melangkah, setelah
kita mengambil keputusan itu kadang-kadang masih terbentang jarak yang jauh di
antaranya. Jarak antara sebuah keputusan dengan implementasi seringkali agak
panjang disebabkan oleh jambatan yang sepatutnya menghubungkan keduanya seringkali
tidak ada.
Jambatan tersebut namanya azam atau tekad. Oleh
kerana itu, Allah swt mengatakan :
“Faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallah”
Para ulama’ mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan ‘faidzaa ‘azamta’ (apabila sudah bertekad) adalah ‘faidzaa
tasyaawarta’ (apabila sudah bermesyuarat) iaitu jika kita sudah bermesyuarat,
bertawakallah kepada Allah.
Jadi azam atau tekad disini maksudnya adalah syura
(mesyuarat). Kenapa azam itu disebut sebagai syura?
Ia adalah kerana syura itu melahirkan kekuatan
fikiran dan kekuatan jiwa dan itu semuanya adalah syarat-syarat yang kita
perlukan untuk menemui hakikat tekad. Tekad itu sendiri bagi para ahli
psikologi disebutkan sebagai sebuah tenaga. Jadi yang mempunyai tekad, itulah
yang memiliki tenaga kerana sumber tenaga kita adalah syura yang baru sahaja
kita lakukan itu.
Lalu kemudiannya Allah mengatakan ‘fatawakkal
‘alallah’ (bertawakkallah kepada Allah). Para ulama’ kita mengatakan,
yang dimaksudkan dengan tawakkal di sini adalah azam. Jadi jika yang dimaksudkan
dengan ‘faidzaa ‘azamta’ itu adalah syura, maka yang dimaksudkan
dengan tawakkal di sini adalah azam.
Kenapa ianya disebut sebagai azam?
Ini adalah kerana yang dimaksudkan dengan tawakkal
itu adalah penuhnya hati dengan kepercayaan bahwa atas kehendak dan kemampuan
Allah swt untuk menjalankan segala urusan itu sesuai dengan kehendak-Nya.
Dengan kata lain, itu bererti bahwa kita bergantung
sepenuhnya kepada Allah swt dan tidak takut kepada seluruh makhluk Allah swt
yang lain. Itu yang memberikan kita keberanian dan keberanian itulah yang
menjadi pembangkit bagi tenaga hati yang sudah terbentuk melalui syura.
Dengan syura ini kita meyakinkan diri kita sendiri akan
ayat Allah ‘maa dholla shoohibukum wamaa ghowaa’, (sahabatmu ini tidak
tersesat) maknanya sudah benar jalan yang kita tetapkan dan ingin kita tempuhi
ini serta dengan tawakkal itu pula kita menghilangkan sifat keraguan, perasaan
lemah dan ketakutan di dalam diri kita.
Keraguan, kelemahan dan ketakutan ini adalah tiga
(3) penyakit yang mendera sesiapapun yang tidak mendapatkan tenaga dari syura
dan tenaga dari tawakkal itu.
Oleh yang demikian, buah dari syura dan azam ini,
seterusnya akan turun ke dalam diri kita dalam bentuk ‘sakinah qalbiyah’
(ketenangan hati). Maksudnya kita boleh meraba kemenangan itu dari dalam diri
kita sendiri. Tidak perlu tunggu sesuatu sasaran pada tahun tertentu untuk
mengetahui apakah kita akan menang (mencapai matlamat) atau tidak.
Apa yang perlu adalah kembali ke dalam diri kita
semua sekarang ini, dan cuba meraba-raba hati kita semuanya samada telah wujud ‘sakinah
qalbiyah’ (ketenangan hati) di dalam diri kita itu dan perasaan
seumpama kemantapan hati inilah yang akan memastikan kita akan menang.
Jika kembali membuka lembaran Al Qur’an dan cari perkataan
‘sakinah’
di dalam Al Qur’an, maka kita akan bertemu perkataan ‘sakinah’ ini diulang-ulang
sebanyak enam (6) kali iaitu sekali dalam surah Al Baqarah, dua kali dalam
surah At Taubah, tiga kali dalam surah Al Fath.
Semua perkataan ‘sakinah’ ini diletakkan
oleh Allah swt dalam konteks peperangan dan itulah yang memberi petanda kepada semua
kemenangan itu bahwa kemenangan itu dimulai di sana.
Secara berurut-urut, Allah swt mengatakan dalam 6
ayat ini, bahwasanya kemenangan itu tanda-tandanya adalah ‘sakinah qalbiyah’, kemudian
baru turun ketentuan Ilahi, pembukaan dan kemenangan dan akhirnya kekuasaan.
Maknanya permulaan dari semua itu adalah ‘sakinah
qalbiyah’.
‘Sakinah qalbiyah’ itu ertinya :
b. Hilangnya ketakutan dan
menggantungkan keputusan sepenuhnya kepada Allah.
c. Hilangnya perasaan lemah di dalam
diri kita iaitu percaya pada kemampuan diri sendiri untuk merealisasikan
cita-cita yang ingin kita raih.
Mari kita sama-sama telusuri ayat-ayat tersebut.
Ayat pertama tentang sakinah itu ada dalam surah Al-Baqarah
dalam kisah Thalut : ْ
“Dan Nabi mereka, berkata lagi kepada mereka:
"Sesungguhnya tanda kerajaan Talut itu (yang menunjukkan benarnya dari
Allah) ialah datangnya kepada kamu peti Tabut yang mengandungi (sesuatu yang
memberi) ketenteraman jiwa dari Tuhan kamu, dan (berisi) sebahagian dari apa
yang telah ditinggalkan oleh keluarga Nabi-nabi Musa dan Harun; peti Tabut itu
dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya peristiwa kembalinya Tabut itu mengandungi
satu tanda keterangan bagi kamu jika betul kamu orang-orang yang beriman".
(QS Al Baqarah : 248)
Yang kedua dalam surah At-Taubah, sekali pada ayat
26 dan sekali lagi dalam ayat 40.
Pada ayat 40 ini yang berkait dengan Rasullullah saw
secara peribadi :
“Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telahpun menolongnya, iaitu ketika kaum kafir (di Makkah)
mengeluarkannya (dari negerinya Makkah) sedang ia salah seorang dari dua
(sahabat) semasa mereka berlindung di dalam gua, ketika ia berkata kepada
sahabatnya: "Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama
kita". Maka Allah menurunkan semangat tenang tenteram kepada (Nabi
Muhammad) dan menguatkannya dengan bantuan tentera (malaikat) yang kamu tidak
melihatnya. Dan Allah menjadikan seruan (syirik) orang-orang kafir terkebawah
(kalah dengan sehina-hinanya), dan Kalimah Allah (Islam) ialah yang tertinggi
(selama-lamanya), kerana Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah
: 40)
Cuba kita perhatikan, apakah suasana yang dihadapi
oleh Rasulullah saw ini? Ini suasana genting
hanya berduaan dengan Abu Bakar dalam keadaan dikejar oleh musuh.
Namun, disini Allah swt mengatakan, dalam situasi seperti
itu, ketika Rasulullah saw mengatakan kepada Abu Bakar, "Janganlah
engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama kita". Lalu apa yang dikatakan oleh Allah
swt selepas itu?
Tapi yang anehnya di dalam ayat ini adalah bahwasanya
Allah swt menisbahkan ‘sakinah’ itu kepada diriNya sendiri
iaitu Dialah yang menurunkan ‘sakinah’ itu. Setelah itu barulah
Allah swt menurunkan tentera-tentera yang tidak kamu lihat.
Maknanya yang mula-mula diturunkan itu adalah ‘sakinah’.
Sekarang mari kita lihat pula dalam ayat 26, ini
kisah tentang perang Hunain :
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu mencapai
kemenangan dalam banyak medan-medan perang dan di medan perang Hunain, iaitu
semasa kamu merasa megah dengan sebab bilangan kamu yang ramai; maka bilangan
yang ramai itu tidak mendatangkan faedah kepada kamu sedikitpun; dan (semasa
kamu merasa) bumi yang luas itu menjadi sempit kepada kamu; kemudian kamu
berpaling undur melarikan diri. Kemudian Allah menurunkan semangat tenang
tenteram kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah
menurunkan tentera yang kamu tidak melihatnya, serta Ia menyiksa orang-orang kafir
itu (dengan kekalahan yang membawa kehancuran); dan yang demikian itu ialah
balasan bagi orang-orang yang kafir. (QS At Taubah : 25 -26)
Pada perang Hunain itu, kaum muslimin kucar kacir
pasukannya apabila mereka mendapat serangan mendadak dari musuh dan tidak tahu apa
yang perlu dilakukan.
‘Kemudian kamu berpaling undur melarikan diri.’
Setelah itu Allah menurunkan sakinah-Nya kepada
Rasul-Nya.
Kemudian selepas itu, Allah menurunkan tentera-tentera
yang tidak kamu lihat.
Dalam surah Al-Fath, Allah swt mengatakan : ْ
“(Tuhan yang membuka jalan kemenangan itu) Dia lah yang
menurunkan semangat tenang tenteram ke dalam hati orang-orang yang beriman
(semasa mereka meradang terhadap angkara musuh) supaya mereka bertambah iman
dan yakin beserta dengan iman dan keyakinan mereka yang sedia ada; pada hal
Allah menguasai tentera langit dan bumi (untuk menolong mereka); dan Allah
adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Fath : 4)
Seterusnya Allah swt mengatakan juga dalam surah
Al-Fath ayat 18 :
“Maka (dengan itu) ternyata apa yang sedia diketahuiNya tentang
(kebenaran iman dan taat setia) yang ada dalam hati mereka,..”
“Lalu Ia menurunkan semangat tenang tenteram kepada
mereka,..”
“Dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat masa
datangnya;..”
Diikuti oleh
ayat 19 :
“Dan juga dengan banyak harta rampasan perang, yang
mereka akan dapat mengambilnya. Dan (ingatlah), Allah adalah Maha kuasa, lagi
Maha Bijaksana.”
Jadi ‘ghanimah’ (harta rampasan) itu
datang selepas turunnya ‘sakinah’.
Maknanya kemenangan dalam bentuk kurniaan duniawi
hanya akan datang selepas ‘sakinah’ atau ketenangan dan
kemantapan yang wujud di dalam hati para mujahidin.
Isunya adakah ‘Sakinah’ itu wujud di dalam hati
kita sekarang ini?
Cuba kita perhatikan lagi dan ini sekaligus adalah penutup
di dalam surah Al-Fath:
“Ingatlah dan kenangkanlah ihsan Tuhan kepada kamu)
ketika orang-orang yang kafir itu menimbulkan perasaan sombong angkuh yang ada
dalam hati mereka (terhadap kebenaran Islam) - perasaan sombong angkuh secara
Jahiliyah (yang menyebabkan kamu panas hati dan terharu), lalu Allah menurunkan
semangat tenang tenteram kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman
(sehingga tercapailah perdamaian), serta meminta mereka tetap berpegang kepada
"Kalimah Taqwa", sedang mereka (di sisi Allah) adalah orang-orang
yang sangat berhak dengan "Kalimah Taqwa" itu serta menjadi ahlinya.
Dan (ingatlah), Allah adalah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.” (QS Al
Fath : 26)
Cuba kita perhatikan perkataan ‘sakinah’ itu di mana
sumber perlawanannya adalah ‘hamiyyatul jahiliyyah’ (semangat
jahiliyah) manakala sumber kekuatan untuk menghadapi nya pula adalah ‘sakinah
qalbiyah’ (kemantapan hati).
Dalam kitab ‘Fiqh Sirah’ yang ditulis oleh Dr
Said Ramadhan Al Buthi, beliau mengatakan bahwa ayat ini turun dua tahun
sebelum ‘Fathul Makkah’ dan ini
sudah menjadi suatu pemberitahuan bahwa kaum muslimin pasti akan membebaskan Makkah
itu namun mereka tidak dapat menangkap pesanan itu di dalam ayat sesudahnya :
“Demi sesungguhnya! Allah tetap menyatakan benar RasulNya
dalam perkara mimpi itu dengan kenyataan yang sebenar; iaitu sesungguhnya kamu
tetap akan memasuki Masjid Al-Haram - insya Allah (pada masa yang
ditentukanNya) - dalam keadaan aman (menyempurnakan ibadat umrah kamu) dengan
mencukur kepala kamu, dan kalau (tidak pun) menggunting sedikit rambutnya,
serta kamu tidak merasa takut (akan pengkhianatan musuh sehingga kamu keluar
balik dari situ). (Allah mengangguhkan berlakunya kenyataan itu) kerana Ia
mengetahui (adanya faedah dalam penangguhan itu) yang kamu tidak mengetahuinya;
maka Ia menyediakan sebelum (terlaksananya mimpi) itu, satu kemenangan yang
dekat (masa berlakunnya).” (QS Al Fath : 27)
Ayat 27 ini menceritakan berita bahwa akan berlakunya
‘Fathul
Makkah’ dan dua tahun sebelumnya, yang diturunkan pertama kali adalah ‘sakinah
qalbiyah’. Pembebasannya kemudian diceritakan di belakangnya.
Lalu akhirnya surah Al Fath ini secara keseluruhannya
ditutup oleh Allah swt dengan ayat :
“(Allah yang menyatakan itu) Dia lah yang telah mengutus
RasulNya (Muhammad, saw) dengan membawa hidayah petunjuk dan agama yang benar
(agama Islam), supaya Dia memenangkannya dan meninggikannya atas segala bawaan
agama yang lain; dan cukuplah Allah menjadi Saksi (tentang kebenaran apa yang
dibawa oleh RasulNya itu).” (QS Al Fath : 28)
Kemenangan itu seharusnya kita putuskan sekarang ini dan kita memutuskannya itu bukan di atas kertas perancangan yang kita tulis tetapi di dalam hati kita sendiri iaitu adakah wujudnya kemantapan hati kita dan merasakannya di dalam hati kita untuk menang.
Urusan strategi dan semuanya itu adalah urusan
teknikal. Semua kemenangan-kemenangan besar dalam sejarah manusia diputuskan pertama
kalinya di dalam hati kita dan inilah yang disebut dalam bahasa Sayyid Qutb
sebagai “Al intishoru fil ‘alamid dhomiri awwalan tsumma fil ‘alamil waqi’i
tsaniyan” (Kemenangan di alam batin terlebih dahulu sebelum kemenangan
di alam kenyataan).
Ya Allah, kurniakanlah ketenangan dan kemantapan di
dalam hati kami bahwa Engkau akan sentiasa membantu dan menolong orang-orang
yang beriman dan berjihad di jalanMu sehingga dengan wujudnya ketenangan ini di
dalam hati kami, ianya akan menjadi asbab kepada pengurniaan kemenangan dariMu
secara zahiriahnya.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS