Ramadhan Mentarbiyah Umat

Syukur kepada Allah kerana kita masih dipertemukan dengan bulan Ramadhan yang sangat mulia dan berharga untuk meraih pahala yang tiada batas. Kita semua sangat memerlukan datangnya bulan penyucian diri ini.

Allah swt telah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai ‘madrasah ruhiyah’ (sekolah kerohanian) untuk mentarbiyah atau mendidik hamba-hambaNya.

“Telah datang kepada kamu bulan Ramadhan. Bulan keberkatan yang Allah wajibkan puasa di dalamnya. Dalam bulan ini pintu-pintu syurga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syaitan-syaitan dibelenggu. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikan di dalamnya, maka ia telah luput dari banyak kebaikan.” (HR Ahmad)

Ramadhan datang dengan membawa kebaikan dan keberkatan. Ia datang membawa berita gembira untuk seluruh alam.

Ramadhan datang untuk :

1.      Menyuci hati hamba-hamba yang berdosa.

2.      Mengangkat darjat para hamba yang berbakti semakin tinggi dari sebelumnya.

Ramadhan adalah bulan yang Allah pilih untuk menjadi saat turunnya kitab dan risalahNya.

Ia adalah :

a.       Bulan penghubung antara langit dan bumi.

b.      Saat rahmat tercurah dengan lebat.

c.       Saat ‘maghfirah’ (keampunan) meluncur bagai air bah.

d.      Saat cahaya terpancar memenuhi segala penjuru.

e.       Saat kebaikan memancar di setiap minit dan detiknya.

Dalam bulan ini, disyariatkan ibadah puasa yang mempunyai banyak sekali keutamaannya.

Puasa mempunyai pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota tubuh zahir dan kekuatan batin di dalamnya.

Puasa juga menjaga perkara-perkara yang buruk yang boleh mempengaruhi dan merosakkan jiwa.

Puasa dapat meningkatkan :

a.       Jiwa menuju ketinggian akhlak.

b.      Kehalusan budi.

c.       Keindahan pekerti.

d.      Kematangan peribadi.

e.       Kepekaan rasa.

f.       Penghambaan yang seutuhnya kepada Yang Maha Pencipta.

Puasa dapat membebaskan diri dari belitan nafsu yang mengajak kepada perkara-perkara yang rendah nilainya. Ia juga menjadikan jiwanya merdeka dari lilitan nafsu syahwat dan kebinatangan yang berdiri kuat dalam dirinya.

Dengan berpuasa, seorang hamba dapat :

1.      Mempersempitkan laluan syaitan dalam aliran darahnya.

2.      Mengubah rasa ego menjadi cinta dan kasih sayang.

3.      Mengubah sikap rakus menjadi ridha dan qana'ah.

4.      Menukar sikap liar menjadi sabar, tenang dan terarah.

Maka jadilah kebahagiaan dirinya :

1.      Tidak lagi terbatas pada pemuasan syahwat semata-mata.

2.      Tidak sekadar memuaskan keperluan jasmaninya yang tidak pernah ada penghujungnya.

Namun lebih dari itu, dengan berpuasa :

a.       Ia merasai kenikmatan jiwa yang tiada tara dalam dirinya.

b.      Ia akan merasai ketenangan dan kedamaian jiwa yang luar biasa dan sentiasa
bersamanya di manapun ia berada.

c.       Itulah kelazatan iman yang dapat membawanya kepada kebahagiaan abadi sepanjang
masa.

Ibnu Abdil Barr berkata :

“Cukuplah pernyataan Allah `Ash-Shaumu Li' –`Puasa adalah untukKu' menjadikan puasa suatu keutamaan dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.”

Ibnul Jauzi pernah berkata:

"Puasa itu ada tiga jenis :

1.      Puasa rohani iaitu dengan tidak banyak berangan-angan.

2.      Puasa akal iaitu dengan menentang hawa nafsu.

3.      Puasa anggota tubuh dengan menahan diri dari makan, minum dan hubungan badan"

Ketika Allah swt :

1.      Menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta.

2.      Menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik.

3.      Menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin dunia ini.

4.      Menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh umat manusia.

Maka ketika itulah Allah swt mempersiapkan umat Islam sedemikian rupa agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik.

Di antara wasilahnya adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia sehingga ukuran kemajuan atau ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan kayu pengukur material.

Kita lupa bahwa manusia itu bukan hanya terdiri dari unsur material semata-semata, tetapi manusia juga mempunyai nurani yang mesti diperhatikan serta  perlu dibina sehingga layak untuk menjadi manusia yang terbaik.

Oleh kerana itu, Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini.

Di dalam bulan Ramadhan ini, banyak sekali kebajikan Ilahi yang perlu kita dapatkan sehingga apabila kita keluar dari bulan Ramadhan ini, kita benar-benar menjadi :

a.       Manusia terbaik.

b.      Manusia yang berkualiti.

c.       Manusia yang berprestasi.

Oleh kerana itu, marilah kita benar-benar berusaha memahami puasa itu sebagaimana yang diharapkan oleh Allah swt.

PERTAMA : Puasa dapat membentuk manusia yang mampu mengawal kehendak diri sendiri.

Mengapa?

Ini adalah kerana puasa sangat berkait dengan keimanan seseorang. Seseorang boleh sahaja mengatakan bahwa dirinya sedang berpuasa, sekalipun sebenarnya tidak.

Oleh kerana itu puasa disebut sebagai ‘ibaadah sirriyyah’ (ibadah yang bersifat rahsia). Ia adalah rahsia antara seorang hamba dengan ‘Al-Khaliq’ (Pencipta) sehingga Allah swt mengatakan dalam sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar :

“Setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya”.

Persoalannya adalah, apakah amal selain puasa tidak dibalas oleh Allah?

Ya, semuanya dibalas oleh Allah.

Tapi kenapa dalam masalah puasa Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang lain itu bukan Allah yang membalasnya?

Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa amal manusia yang bernama ‘Ash-Shiyam’ benar-benar insyaAllah akan dijamin diterima oleh Allah swt.

Apakah yang lain tidak dijamin?

Ini adalah kerana puasa itu adalah ‘ibadah sirriiyyah’, di mana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika kita berpuasa kerana ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu.

Maka ibadah yang ‘sirriyyah’ itu adalah sangat dekat dengan keikhlasan dan syarat agar suatu amal itu diterima oleh Allah, selain ia benar dan sesuai dengan ajaran Rasulullah saw, amal itu juga hendaklah ikhlas.

Oleh yang demikian, jika ingin menjadi orang yang popular, tidak boleh melalui pintu puasa. Kita boleh menjadi terkenal sebagai seorang pendakwah bebas, qari dan qari’ah, ahli politik dan lain-lain dan itu semuanya sangat rapat kaitannya dengan riya’ dan riya’ itu menjadikan amal tidak diterima oleh Allah swt.

Itulah  sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah swt menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya.

Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan melatih kita untuk mempunyai tingkatan pengawalan yang tinggi, baik ketika kita menjadi seorang pemimpin atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya.

Kita tidak merasa dikawal oleh orang lain, namun yang terpenting adalah kita sedar bahwa kita diawasi oleh Allah swt.

KEDUA : Puasa mendorong kita agar obsesi kita tentang kehidupan akhirat itu lebih dominan daripada obsesi dunia.

Jadi obsesi ‘ukhrawi’ kita agar kita menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan kenikmatan abadi itu mestilah lebih dominan daripada kesenangan yang sifatnya sementara.

Ini adalah kerana seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini walauapapun namanya, harta, pangkat dan sebagainya semuanya itu bersifat sementara.

Oleh yang demikian, dalam bahasa Al Qur’an, kenikmatan dunia itu tidak disebut sebagai nikmat tetapi disebut sebagai “mata’”.

“Mata’” itu ertinya adalah :

“Sesuatu yang disukai oleh manusia, namun sedikit demi sedikit akan hilang.”

Jika kita ditakdirkan oleh Allah mempunyai isteri yang sangat cantik, namun ketika sudah berusia 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga mungkin kita berfikir untuk mencari yang lebih muda lagi.

Kenapa?

Ini adalah kerana kenikmatan dunia itu pasti ada batasnya.

Puasa itu melatih kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang berkait dengan kehidupan yang abadi di akhirat.

Oleh yang demikian, makanan, minuman, isteri dan semua yang halal itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.

Di berbagai negara, kita lihat bahwa masyarakatnya sedang menghadapi krisis multi dimensional ini dan dipenuhi dengan rusuhan, ketidakstabilan dan lain-lain disebabkan kerana ramai manusia di negara tersebut yang obsesinya bukan obsesi ukhrawi.

Ada orang yang ingin menjatuhkan orang lain dan ada pula yang khuatir kalau-kalau ia dijatuhkan. Jika obsesi duniawi ini dominan, boleh jadi kita akan kehilangan kehidupan ukhrawi kita.

Ketika kita memasuki bulan Ramadhan, maka kita akan ditarbiyah oleh Allah swt agar obsesi kita adalah obsesi ukhrawi. Namun ini bukan bererti kehidupan duniawi dilarang, tetapi duniawi itu bukan menjadi dominan dalam kehidupan kita.

Oleh sebab itu kita diajarkan untuk berdoa dengan doa berikut :

“Jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan kami.”

KETIGA : Puasa ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benar mempunyai mempunyai kepekaan sosial yang tinggi.

Dari mana dapat kita ketahui?

Ketika kita berpuasa sunat hari Isnin dan Khamis atau puasa ‘Ayyamul Bidh’ (Hari-hari putih 13,14 & 15 bulan hijriyah), kita merasakan berpuasa sendirian namun apabila kita berpuasa di bulan Ramadhan, kita akan merasakan kebersamaan berpuasa dengan semua saudara-saudara muslim kita yang lain.

Namun, sayang sekali apabila kita perhatikan sebahagian besar masyarakat kita sudah mula hilang akan kepekaan sosial.

Ini terbukti apabila berlaku tindakan kemungkaran di tempat awam, sangat sedikit kita temui orang yang mengambil peduli dengan membantu untuk melawan pelaku kemungkaran tersebut.

Ini menjadi bukti akan lesunya sikap kepedulian dalam kehidupan sosial sehingga  kemaksiatan sudah menjadi sebuah institusi dan orang ramai hanya diam ketika menyaksikannya.

Padahal di zaman Rasulullah saw, orang tidak akan tinggal diam ketika melihat suatu kemungkaran. Bahkan jauh selepas kehidupan Rasulullah saw, samada di zaman ‘tabi’in’ ataupun ‘tabi’it tabi’in’, di mana mereka masih kuat beriltizam dengan ajaran Allah sehingga  sensitiviti sosial mereka itu sangat tinggi.

Misalnya, di zaman dahulu, jika kita solat jamaah di masjid, kemudian kita melihat ada jiran tetangga atau saudara kita tidak datang, maka selepas selesai solat, semua ahli jamaah terus mendatangi orang yang tidak solat berjamaah tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak solat jamaah itu adalah orang yang mati sehingga perlu diberi ‘ta’ziyah’.

Jika seandainya kita tidak solat jamaah dan kemudiannya kita diberi ‘ta’ziyah’, maka kita akan termotivasi untuk sentiasa solat jamaah dan solat jamaah adalah ibadah yang sangat berkait dengan sensitiviti sosial.

Pada zaman Rasulullah saw, kemaksiatan juga berlaku di mana ada juga sahabat yang berbuat maksiat kerana mereka bukanlah malaikat. Sekalipun sebaik-baik generasi adalah generasi di zaman Rasulullah saw, tetapi ada juga yang terjerumus ke dalam maksiat.

Misalnya ada yang pernah mencuri, ada yang pernah berbuat zina dan lainnya. Namun, perbuatan tersebut amat kecil sekali sehingga jarang ditemui malah ianya hanya bersifat peribadi dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

Ironiknya, sekarang maksiat itu dilakukan beramai-ramai dan secara terang-terangan tanpa rasa malu sehingga yang benar itu tertutup dan akhirnya keamanan tidak terzahir. Yang zahir adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan kadang-kadang hingga di tempat yang suci seperti masjidpun, orang tidak dapat khusyu’ solatnya kerana takut kasut atau seliparnya hilang.

Jika di masjid sahaja orang masih tidak khusyu’ beribadah kerana khuatir menjadi korban kejahatan, maka bagaimanalah di tempat yang lain?

Ini semua adalah kerana ramai manusia yang telah kehilangan kepedulian sosialnya.

Inilah bezanya antara zaman kita dengan zaman Rasulullah saw. Bahkan di zaman Rasulullah saw, ketika ada seorang wanita melakukan zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudiannya bertaubat dan malah dia sendirilah yang melaporkan perbuatannya itu kepada Rasulullah saw kerana ketika dia berzina, itu berlaku kerana kelemahan imannya.

Dalam hadits dijelaskan bahwa :

“Tidaklah seseorang berani berbuat zina, sementara dia dalam keadaan beriman.”

Ketika seorang wanita berzina dan selepas itu ia sedar bahwa ia telah berbuat dosa, ia terus datang kepada Rasulullah saw meminta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam.

Jadi, memang benar bahwa pada zaman Rasulullah saw pun ada orang yang berbuat salah. Namun, ketika ada di antara mereka yang berbuat salah, dia langsung mengaku dan minta dihukum, padahal orang lain tidak tahu.

Sekarang bagaimanakah keadaannya?

Adakah jika kita bersalah, kita datang untuk minta dihukum?

Sesungguhnya, seorang mukmin yang benar-benar beriman, ia benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih.

Jadi, seandainya semua orang sama dengan wanita yang bertaubat ini, maka mahkamah kehakiman mungkin tidak lagi menjadi suatu keperluan.

‘Ash-shiyam’ secara bahasa ertinya adalah ‘Al-Habsu’ (menahan diri), iaitu menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan.

Jika setiap dari kita menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang harus pun akan kita tinggalkan.

Makanan, minuman dan hubungan dengan isteri itu adalah sesuatu yang harus dan dibolehkan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semuanya mampu kita tahan.

Jika yang halal sahaja pun dapat kita tahan, apalagi yang haram?

Oleh kerana itu dalam berpuasa, jangan kita lakukan secara terbalik, iaitu yang harus ditinggalkan tetapi yang haram dilakukan.

Makanan, minuman ditinggalkan tetapi mengumpat dilakukan dan rasuah berjalan terus dengan alasan untuk persiapan menyambut hari raya.

Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-benar mengalir dalam setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah swt.

Begitu juga jangan sampai ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah saw dan para sahabat serta para tabi’in, ramai di kalangan mereka yang melalui Ramadhan dalam keadaan berjihad di jalan Allah swt.

Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Aiin Jaalut’ yang berlaku pada abad ke-7 Hijriyah, di mana tentera-tentera Islam di bawah pimpinan kerajaan ‘Mamluk’ dapat mengalahkan tentera-tentera salib yang berlaku di bulan Ramadhan.

Begitu hebatnya kemenangan yang dicapai oleh umat Islam pada bulan Ramadhan sehingga Allah swt mengabadikannya dalam Al Qur’an di mana perang Badar disebut sebagai ‘Yaumal Furqan’ :

“Ketahuilah, sesungguhnya apa sahaja yang dapat kamu perolehi sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, iaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu” (QS Al-Anfal : 41)

Pasukan kebenaran yang jumlahnya sedikit, namun dimenangkan oleh Allah swt dalam melawan pasukan batil yang mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentera yang sangat banyak.

Oleh kerana itu, semoga Ramadhan yang kita lalui ini dapat menghantarkan kita kepada kemenangan iaitu kemenangan umat Islam dalam :

1.      Melawan hawa nafsu.

2.      Melalui pelbagai krisis.

3.      Menghadapi perselisihan.

4.      Pertikaian politik antara sesama mereka.

5.      Menghadapi konspirasi dunia antarabangsa yang digerakkan oleh golongan Zionis Yahudi.

Marilah kita jadikan Ramadhan ini sebagai sebuah momentum untuk mentarbiyah kembali umat ini agar ia sentiasa kembali kepada Allah sehingga kita mencapai kemenangan yang hakiki.

Ya Allah, jadikanlah Ramadhan yang kami lalui ini sebagai madrasah untuk kami mentarbiyah jasad, akal dan ruh kami sehingga semuanya tunduk dan pasrah di bawah pengawasanMu. Permudahkanlah untuk kami mengutip bahan-bahan yang cukup bernilai dan berharga di dalamnya sehingga kami dapat menghasilkan produk yang benar-benar berkualiti dan diterima di sisiMu.

Ameen Ya Rabbal Alameen

WAS