Islam adalah agama yang sempurna yang menekankan konsep keseimbangan. Namun ada dua perkara yang menafikan sesuatu keseimbangan iaitu :
- “Ifrath” (terlalu keras).
- “Tafrith” (sambil lewa).
Antara kekacauan dalam pemikiran yang menyelinap masuk dalam sesetengah aktivis dakwah yang terlibat dalam gerakan dakwah adalah pemikiran menghukum sehingga ada yang sanggup menuduh sesama muslim sebagai munafiq ataupun kafir.
Bahkan, ada sesetengah pihak memberi jaminan kepada sebahagian muslimin yang terlibat dengan kemaksiatan sebagai “tidak akan masuk syurga”, padahal apa yang dilakukan olah ahli maksiat tersebut tidakpun membawa kepada kekufuran yang jelas sehingga membawa jaminan bahawasanya dia tidak akan masuk syurga dan seolah-olah tidak layak mendapat keampunan Allah swt.
Kekacauan pemikiran “menghukum” ini mempunyai pelbagai versi yang tersendiri dan berbeza skala pemusnahnya dalam masyarakat Islam antara satu versi dengan versi yang lain. Namun, pemikiran tersebut sudah ditolak secara jelas oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam fatwanya di mana beliau menjelaskan bahwa bentuk kekacauan pemikiran yang sebegini lahir hasil dari :
- Meletakkan sesuatu dalil bukan pada tempatnya.
- Penyalahgunaan nas-nas syara’.
Ada seorang bertanya kepada ulama’, “Adakah sihir yang dibolehkan?”
Jawab ulama’ itu, “Ada , iaitu senyummu kepada saudaramu.”
Diriwayatkan tentang Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa dia sering menangis di tengah malam dalam sujud panjangnya dan di kegelapan biliknya. Namun ia amat murah senyum di siang harinya ketika berinteraksi dengan manusia.
Diriwayatkan tentang Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa dia sering menangis di tengah malam dalam sujud panjangnya dan di kegelapan biliknya. Namun ia amat murah senyum di siang harinya ketika berinteraksi dengan manusia.
Hatinya lembut kepada manusia sehingga mereka :
- Mencintainya.
- Mendengarkan petuanya.
- Menunggu nasihatnya.
Itulah balasan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan untuknya lantaran sikapnya yang mempesonakan di mata manusia.
Imam Aun menceritakan tentang gurunya, iaitu Imam Muhammad bin Sirin bahwa ia adalah orang yang amat keras dan ketat terhadap dirinya sendiri, namun begitu anjal dan banyak memberikan kemudahan kepada orang lain.
Imam Aun menceritakan tentang gurunya, iaitu Imam Muhammad bin Sirin bahwa ia adalah orang yang amat keras dan ketat terhadap dirinya sendiri, namun begitu anjal dan banyak memberikan kemudahan kepada orang lain.
Begitu pula Imam Muzani (murid Imam Syafi’e), ia disifatkan oleh manusia sebagai, “Seorang yang sangat mempersempitkan dirinya sendiri dalam kewara’an, sedangkan terhadap orang lain ia memberikan kelonggaran yang seluas-luasnya.”
Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata, sebagaimana yang dikutip oleh Imam an Nawawi dalam Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, “Sesungguhnya fiqh itu adalah keringanan yang datang dari orang yang dapat dipercayai, sedangkan berlaku keras dan menyulitkan itu boleh sahaja dengan mudah dilakukan setiap orang.”
Imam Hasan al Bashri berkata, “Sesungguhnya sejelek-jeleknya hamba Allah adalah yang mendatangkan persoalan-persoalan yang buruk, dan dia menyusahkan hamba Allah yang lain dengan perkara itu.”
Imam al Auza’ie berkata, “Jika Allah hendak mencegah hambaNya dari keberkatan ilmu, ia memberikan persoalan-persoalan yang rumit di mulut orang itu.”
Imam Atha’ berkata, “Jika kamu dihadapkan pada dua perkara, bawalah kaum muslimin kepada yang lebih mudah di antara keduanya.”
Imam Asy Sya’bi berkata, “Sesungguhnya seseorang diberi dua pilihan, lalu dia memilih yang paling mudah di antara keduanya, dia akan disenangi Allah.”
Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata, sebagaimana yang dikutip oleh Imam an Nawawi dalam Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, “Sesungguhnya fiqh itu adalah keringanan yang datang dari orang yang dapat dipercayai, sedangkan berlaku keras dan menyulitkan itu boleh sahaja dengan mudah dilakukan setiap orang.”
Imam Hasan al Bashri berkata, “Sesungguhnya sejelek-jeleknya hamba Allah adalah yang mendatangkan persoalan-persoalan yang buruk, dan dia menyusahkan hamba Allah yang lain dengan perkara itu.”
Imam al Auza’ie berkata, “Jika Allah hendak mencegah hambaNya dari keberkatan ilmu, ia memberikan persoalan-persoalan yang rumit di mulut orang itu.”
Imam Atha’ berkata, “Jika kamu dihadapkan pada dua perkara, bawalah kaum muslimin kepada yang lebih mudah di antara keduanya.”
Imam Asy Sya’bi berkata, “Sesungguhnya seseorang diberi dua pilihan, lalu dia memilih yang paling mudah di antara keduanya, dia akan disenangi Allah.”
Demikianlah para salafus soleh, mereka :
- Begitu menghargai sisi kemanusiaan seorang manusia.
- Mengetahui sudut kejiwaan para pengikut (mad’u).
- Amat piawai dalam menerapkan dan menempatkan syariat ini sebagaimana semestinya.
Amat berbeza dengan sebahagian para pendakwah di zaman ini di mana mereka :
- Lebih banyak menyulitkan berbanding memberikan kemudahan.
- Mengancam berbanding memberi khabar gembira.
- Menyempitkan berbanding bersikap toleransi.
- Banyak melarang berbanding memberikan alternatif.
- Banyak menuduh berbanding berbaik sangka.
- Banyak menghukum dan menghakimi berbanding mengajak dengan lembut.
- Memanggilnya dengan panggilan yang mengerikan seperti ‘mubtadi’ kabir’ (pembuat bid’ah yang besar), ‘mudhlil’ (orang yang sesat) dan lain-lain berbanding mendoakannya seperti ‘hadanallahu wa iyyah’ (semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan dia) atau ‘saddaddallahu khuthahu’ (semoga Allah meluruskan langkahnya).
- Banyak mencaci dan memaki kegelapan berbanding menyalakan lilin.
MENGUASAI HATI ORANG LAIN
Objek dakwah, walaupun ia ahli maksiat dan pelaku kesesatan, adalah manusia yang memiliki hati sebagaimana orang lain juga.
Objek dakwah, walaupun ia ahli maksiat dan pelaku kesesatan, adalah manusia yang memiliki hati sebagaimana orang lain juga.
Hati adalah pintu pertama kegoncangan jiwa, sebagaimana ianya menjadi pintu pertama terhadap petunjuk. Ia :
- Boleh memberontak jika ditusuk.
- Melawan jika disakiti.
- Menjauhkan diri jika dikeraskan.
Maka, jagalah perasaan manusia dan rebutlah hati mereka dengan :
- Lembutnya seruan.
- Hikmahnya lisan.
- Santunnya akhlak.
Kita tidak dapat menguasai orang lain kecuali dengan senyuman, tutur kata yang sopan, kedermawanan, dan keteladanan.
Berikan mereka harta yang banyak, namun jika dengan cara melempar, kasar dan diungkit-ungkit, maka ia akan menolak harta tersebut walaupun ia amat memerlukannya. Sekalipun ia menerima, ia amat terpaksa dan menerima dengan air mata dan hati yang pedih.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya kamu tidak mampu menguasai manusia dengan harta kamu, namun mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR Abu Ya’la, Imam Hakim mensahihkannya)
Tidak sedikit ‘mad’u’ yang lari meninggalkan pendakwah lantaran :
Tidak sedikit ‘mad’u’ yang lari meninggalkan pendakwah lantaran :
- Luka dihati.
- Kekecewaan.
- Kesempitan yang ditawarkan kepada mereka.
Sehingga pertemuan dengan pendakwah bukan suatu yang dirindukan, namun bagaikan :
- Pertemuan dengan hakim yang siap memberikannya tuntutan dan hukuman.
- Pegawai penyiasat yang siap menginterogasi dan membawanya ke penjara.
Bukan begitu yang dikehendaki oleh Islam wahai para pendakwah.
Apakah kita mahu dakwah ini justeru menjadi fitnah yang menyeramkan bagi mereka lantaran kegarangan para pendakwah?
MENGIKUTI USLUB (METOD) AL QUR’AN
Al Qur’an hendaknya menjadi pedoman utama para pendakwah. Uslub tarbiyah dan dakwahnya amat indah dan mempesonakan serta memberikan keuntungan yang amat besar bagi dakwah.
MENGIKUTI USLUB (METOD) AL QUR’AN
Al Qur’an hendaknya menjadi pedoman utama para pendakwah. Uslub tarbiyah dan dakwahnya amat indah dan mempesonakan serta memberikan keuntungan yang amat besar bagi dakwah.
Al Qur’an mengajarkan kita kelembutan dan menjauhi kekasaran dalam menghadapi manusia, agar ia mahu mendekat, menerima seruan dan mengikuti ajakan.
Mari kita simak firman Allah swt :
“Oleh kerana rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Jadi, maafkanlah mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.” (QS Ali Imran : 154)
Firman Allah lagi :
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Al Fushilat : 34-35)
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk menggunakan kata-kata yang lembut (Qaulan layyinan) ketika berdakwah kepada manusia yang paling zalim, Fir’aun, sebagaimana yang dikisahkan dalam surah Thaha ayat 44.
Selain itu, Al Qur’an yang ada di tangan kita telah mengajarkan bahwa, jika ia mengharamkan sesuatu pastilah diberikan alternatifnya.
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk menggunakan kata-kata yang lembut (Qaulan layyinan) ketika berdakwah kepada manusia yang paling zalim, Fir’aun, sebagaimana yang dikisahkan dalam surah Thaha ayat 44.
Selain itu, Al Qur’an yang ada di tangan kita telah mengajarkan bahwa, jika ia mengharamkan sesuatu pastilah diberikan alternatifnya.
- Al Qur’an telah mengharamkan riba dengan pasti, tetapi ia menghalalkan jual beli.
- Al Qur’an telah mengharamkan zina dan menilainya sebagai perbuatan yang amat keji, tetapi ia menghalalkan pernikahan.
- Al Qur’an melarang dengan tegas membunuh manusia dengan cara tidak haq, tetapi ia memerintahkan jihad dan mengagungkannya.
Demikianlah Al Qur’an, tidaklah ia melarang sesuatu dan mencelanya melainkan ia juga memberikan alternatif dan jalan penyelesaiannya. Ambillah ini sebagai pelajaran.
Tidak sayugia seorang pendakwah :
Tidak sayugia seorang pendakwah :
- Melarang manusia dari itu dan ini, tetapi ia tidak mendorongnya kepada perkara yang lebih baik dan selamat, yang tentunya tidak bertentangan dengan syariat.
- Melarang anak muda dari terlibat dengan hiburan yang melalaikan tanpa memberikan hiburan alternatif yang dibenarkan oleh syariat.
- Mencaci maki para peminat media jahiliyah tanpa menyodorkan media yang Islamik.
- Menuding jari terhadap filem atau drama murahan dan picisan, tanpa memberikan gantinya yang lebih baik.
MENGIKUTI USLUB RASULULLAH SAW
Petunjuk Rasulullah saw adalah sebaik-baiknya petunjuk. Bahkan jika manusia dalam keadaan ‘futur’ (lemah iman) sekalipun, namun tetap di atas sunnahnya, baginda katakan ‘faqadihtada’ (ia telah di atas petunjuk).
Petunjuk Rasulullah saw adalah sebaik-baiknya petunjuk. Bahkan jika manusia dalam keadaan ‘futur’ (lemah iman) sekalipun, namun tetap di atas sunnahnya, baginda katakan ‘faqadihtada’ (ia telah di atas petunjuk).
Maka wajib bagi para pendakwah mengikuti jejaknya yang mulia dan meneladani uslub dakwahnya yang bersinar.
Terhadap kaum yang menolak dakwahnya, ia berkata, “Allahummaghfirli qaumi fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui).
Dari ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Dari ‘Aisyah pula, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu) kecuali menambah kejelekan.” (HR Muslim)
Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah ra bersabda : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menguasai manusia dengan harta kamu, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR Abu Ya’la, Imam Hakim mensahihkannya).
Terhadap kaum yang menolak dakwahnya, ia berkata, “Allahummaghfirli qaumi fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui).
Dari ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Dari ‘Aisyah pula, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu) kecuali menambah kejelekan.” (HR Muslim)
Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah ra bersabda : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menguasai manusia dengan harta kamu, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR Abu Ya’la, Imam Hakim mensahihkannya).
Rasulullah saw pernah dilempar batu di Taif ketika berdakwah kepada Bani Tsaqif, namun begitu baginda tetap tabah dan mampu menahan diri, tidak emosional untuk membalas.
Bahkan ketika malaikat penjaga gunung berkata kepadanya, “Apakah engkau meminta kepadaku agar membalikkan bumi tempat mereka tinggal ini?”
Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya memohon kepada Allah agar dari tulang sulbi mereka nanti akan lahir generasi yang menyembah Allah semata-mata dan tidak menyengutukanNya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah saw, ada seorang pemuda yang menjadi ‘pelanggan’ hukuman hudud lantaran hobinya meminum arak. Acapkali orang ini diserahkan kepada Nabi, lalu baginda melaksanakan hudud ke atasnya.
Sebahagian sahabat ada yang berkata, “Semoga Allah merendahkannya, selalu sahaja dia dilaporkan kepada Nabi kerana kes minum arak.”
Nabi saw marah seraya berkata, “Jangan berkata demikian, jangan menolong syaitan lebih mudah memperdayakannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui dari orang ini kecuali bahwa dia mencintai Allah dan RasulNya.” (HR Bukhari)
Alangkah indahnya Rasulullah saw mendidik dan menyeru umatnya. Maka janganlah kita membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, walau sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah saw, ada seorang pemuda yang menjadi ‘pelanggan’ hukuman hudud lantaran hobinya meminum arak. Acapkali orang ini diserahkan kepada Nabi, lalu baginda melaksanakan hudud ke atasnya.
Sebahagian sahabat ada yang berkata, “Semoga Allah merendahkannya, selalu sahaja dia dilaporkan kepada Nabi kerana kes minum arak.”
Nabi saw marah seraya berkata, “Jangan berkata demikian, jangan menolong syaitan lebih mudah memperdayakannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui dari orang ini kecuali bahwa dia mencintai Allah dan RasulNya.” (HR Bukhari)
Alangkah indahnya Rasulullah saw mendidik dan menyeru umatnya. Maka janganlah kita membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, walau sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan.
Hendaklah kita tetap menganggap mereka sebagai umat Muhammad saw di mana mereka memiliki potensi untuk berubah dan kembali kepada jalan yang benar.
Bukankah dahulu kita pernah mengalami masa-masa jahiliyah sebagaimana mereka, atau mungkin kejahiliyahan yang melebihi mereka?
Betapa sabar para pembimbing (murabbi) terdahulu terhadap diri kita. Oleh yang demikian, jangan kita buat umat lari dari ampunan Allah swt yang teramat luas.
MENGIKUTI USLUB PARA SAHABAT
Para sahabat adalah bintang-bintang di antara manusia. Kewujudan bintang-bintang membuatkan langit begitu indah di malam hari, begitu pula para sahabat Nabi saw di tengah-tengah umat.
MENGIKUTI USLUB PARA SAHABAT
Para sahabat adalah bintang-bintang di antara manusia. Kewujudan bintang-bintang membuatkan langit begitu indah di malam hari, begitu pula para sahabat Nabi saw di tengah-tengah umat.
Adakah manusia yang membenci bintang?
Petua-petua mereka adalah petunjuk yang lahir dari ‘Madrasah Nabawiyah’.
Ali bin Abi Talib ra berkata, “Orang-orang yang benar-benar faqih itu adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga memberi keringanan kepada mereka untuk melakukan maksiat kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi secara mauquf)
Umar bin Al Khathab ra berkata, “Ada tiga perkara yang boleh membuatkan saudaramu mencintaimu, iaitu: memanggilnya dengan nama yang paling dia sukai, melapangkan tempat duduk baginya dalam suatu majlis dan memulai ucapan salam.”
Tidak sedikit para pendakwah yang memboikot manusia lantaran maksiat kecil yang dibuatnya. Ia tidak menyapanya, apalagi salam, tidak mahu duduk satu majlis dengannya, tidak memanggilnya dengan panggilan kesukaannya.
Ali bin Abi Talib ra berkata, “Orang-orang yang benar-benar faqih itu adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga memberi keringanan kepada mereka untuk melakukan maksiat kepada Allah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi secara mauquf)
Umar bin Al Khathab ra berkata, “Ada tiga perkara yang boleh membuatkan saudaramu mencintaimu, iaitu: memanggilnya dengan nama yang paling dia sukai, melapangkan tempat duduk baginya dalam suatu majlis dan memulai ucapan salam.”
Tidak sedikit para pendakwah yang memboikot manusia lantaran maksiat kecil yang dibuatnya. Ia tidak menyapanya, apalagi salam, tidak mahu duduk satu majlis dengannya, tidak memanggilnya dengan panggilan kesukaannya.
Justeru di belakang ia mengumpatnya dengan mengatakan, ia jahil, ‘ahlul hawa’, ‘ahlul ma’shiyah’, dan lain-lainya. Tentulah ini bertentangan dengan perkataan Umar ra dan akan membuatkan manusia semakin menjauhinya.
MENGIKUTI USLUB PARA ULAMA’ RABBANI
Imam Abdullah bin Mubarak pernah bersyair :
Pada saat engkau bergaul dengan masyarakat yang penuh cinta kasih
Bersikaplah kepada mereka seolah-olah engkau saudara mereka
Jangan mencela setiap kekurangan kaum,
Atau engkau tidak akan pernah memiliki teman
Menjelang wafatnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dihadapkan ke kiblat dan berkata, “Aku bertaubat dari perbuatanku yang mengkafirkan ahli kiblat (muslim).” Dia mengulanginya dua kali.
MENGIKUTI USLUB PARA ULAMA’ RABBANI
Imam Abdullah bin Mubarak pernah bersyair :
Pada saat engkau bergaul dengan masyarakat yang penuh cinta kasih
Bersikaplah kepada mereka seolah-olah engkau saudara mereka
Jangan mencela setiap kekurangan kaum,
Atau engkau tidak akan pernah memiliki teman
Menjelang wafatnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dihadapkan ke kiblat dan berkata, “Aku bertaubat dari perbuatanku yang mengkafirkan ahli kiblat (muslim).” Dia mengulanginya dua kali.
Dr Aidh Al Qarni berkata, “Ibnu Taimiyah adalah ulama’ yang sangat jarang mentakfirkan orang walaupun ia sangat keras terhadap ahli bid’ah. Namun saat ini, orang sangat mudah untuk mentakfirkan kerana dangkalnya ilmu fiqh mereka.”
Takfir memang ada dalam konsep Ahlus Sunnah, namun hanya boleh dilakukan jika syarat-syaratnya (dhawabith) dipenuhi, itu pun hanya dilakukan oleh ulama’ yang mahir dan berkompeten atau sekelompok ulama’ yang melakukan ijtihad secara kolektif.
Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya ‘I’lamul Muwaqi’in’ menyebutkan bahwa Imam Ahmad jika ditanya tentang masalah yang diharamkan dia berkata, “Aku tidak suka ini, aku takut ini diharamkan.”
Takfir memang ada dalam konsep Ahlus Sunnah, namun hanya boleh dilakukan jika syarat-syaratnya (dhawabith) dipenuhi, itu pun hanya dilakukan oleh ulama’ yang mahir dan berkompeten atau sekelompok ulama’ yang melakukan ijtihad secara kolektif.
Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya ‘I’lamul Muwaqi’in’ menyebutkan bahwa Imam Ahmad jika ditanya tentang masalah yang diharamkan dia berkata, “Aku tidak suka ini, aku takut ini diharamkan.”
Begitu pula para ulama’ lainnya di mana mereka lebih suka mengatakan :
- ‘Ghairu masyru’’ (tidak disyariatkan).
- Lebih baik jangan.
- Aku benci ini.
- Mungkin engkau lupa.
berbanding mengatakan :
- Ini haram.
- Ini sesat.
- Kamu jatuh kafir.
- Allah tidak menyelamatkanmu.
- Tempat kembalimu ke neraka.
- Engkau pendusta.
serta berbagai lagi penjatuhan hukum yang menyeramkan.
Namun demikian, mereka juga tidak segan akan mengatakan perkara yang demikian itu jika permasalahannya jelas dan tidak samar keharamannya, kesesatannya dan kekafirannya.
Dari Ibnul Junaid, dia berkata, bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, “Pengharaman air anggur (nabidz) itu adalah sahih. Akan tetapi aku tidak mahu berkomentar dan aku tidak mengharamkannya. Kerana ada orang-orang soleh yang meminumnya dengan dalil hadits-hadits yang sahih. Dan ada orang soleh lainnya yang mengharamkannya, juga dengan hadits-hadits sahih.” (Siyarul A’lam An Nubala’)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang solat sunnah selepas asar, ia menjawab, “Kami tidak melakukannya, namun kami tidak akan mencela orang yang melakukannya.”
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah membuat komentar ucapan Ibnu Umar yang melarang manusia menangisi mayat anggota keluarganya. Katanya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni Ibnu Umar. Aku yakin ia tidak berdusta, tetapi dia lupa atau salah.” (HR Malik dalam Muwatha’ Bab Al Janazah)
Demikianlah, manusia yang ilmunya luas akan mampu menahan lisan kotor dan kasar dalam membuat komentar kesalahan manusia.
Dari Ibnul Junaid, dia berkata, bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, “Pengharaman air anggur (nabidz) itu adalah sahih. Akan tetapi aku tidak mahu berkomentar dan aku tidak mengharamkannya. Kerana ada orang-orang soleh yang meminumnya dengan dalil hadits-hadits yang sahih. Dan ada orang soleh lainnya yang mengharamkannya, juga dengan hadits-hadits sahih.” (Siyarul A’lam An Nubala’)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang solat sunnah selepas asar, ia menjawab, “Kami tidak melakukannya, namun kami tidak akan mencela orang yang melakukannya.”
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah membuat komentar ucapan Ibnu Umar yang melarang manusia menangisi mayat anggota keluarganya. Katanya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni Ibnu Umar. Aku yakin ia tidak berdusta, tetapi dia lupa atau salah.” (HR Malik dalam Muwatha’ Bab Al Janazah)
Demikianlah, manusia yang ilmunya luas akan mampu menahan lisan kotor dan kasar dalam membuat komentar kesalahan manusia.
Ada manusia yang amat keras terhadap saudaranya yang minum sambil berdiri, padahal manusia berselisih faham tentangnya.
Ada yang menyebutnya ‘makruh tahrim’ (makruh yang mendekati haram) seperti Syaikh al Albani dan Imam Ibnu Hazm.
Ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik yang melarang minum sambil berdiri, katanya, “Nabi saw telah melarang manusia minum sambil berdiri.” Qatadah bertanya: “Kalau makan bagaimana?” Dijawab, “Kalau makan berdiri itu lebih busuk dan jahat.” (HR. Muslim)Adapun jika terlanjur minum sambil berdiri hendaklah memuntahkannya. (HR Muslim)
Namun ada pula yang menyebutnya ‘mubah’ (boleh). Ini berdasarkan dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu kita di masa Rasulullah, adakalanya makan sambil berjalan, dan kita minum dengan berdiri.” (HR At Tirmizi, ia mensahihkannya).
Namun ada pula yang menyebutnya ‘mubah’ (boleh). Ini berdasarkan dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu kita di masa Rasulullah, adakalanya makan sambil berjalan, dan kita minum dengan berdiri.” (HR At Tirmizi, ia mensahihkannya).
Amir bin Syu’aib dari ayahnya, dari datuknya, berkata : “Saya telah melihat Rasulullah saw minum sambil berdiri dan juga pernah melihatnya minum sambil duduk.” (HR Tirmizi)
Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar, Utsman dan Ali pernah minum dengan berdiri.
Ada pula yang mengatakan semuanya boleh jadi benar, bergantung kepada keadaannya.
Sedangkan Imam An Nawawi dalam kitabnya yang terkenal ‘Riyadhushshalihin’ menulis bab bolehnya minum sambil berdiri, namun lebih sempurna (akmal) dan utama (afdhal) sambil duduk.
Ada pula manusia yang keras dan memberi komentar yang tajam terhadap saudaranya yang kencing sambil berdiri.
Ada pula manusia yang keras dan memberi komentar yang tajam terhadap saudaranya yang kencing sambil berdiri.
Abu Wail menceritakan bahwa Abu Musa al Asy’ary pernah bersikap keras dalam hal kencing berdiri. Dia berkata, “Sesungguhnya Bani Israel itu, apabila ada kencing yang mengenai baju mereka, maka mereka mengguntingnya.” Maka Huzaifah berkata, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian, kerana Rasulullah saw pernah datang ke sebuah kandang milik suatu kaum, dan beliau kencing sambil berdiri.” (HR Bukhari dan Abu Daud)
Ucapan Huzaifah, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian..”, ketika memberi komentar terhadap ucapan Abu Musa mencerminkan bahwa Abu Musa telah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya salah, dan ternyata justeru Rasulullah pernah melakukannya.
SIKAP IMAM AZ ZAHABI YANG AMAT INDAH DAN BEROBJEKTIF
Imam Az Zahabi rahimahullah adalah salah seorang murid Imam Ibnu Taimiyah. Ia seorang yang amat mahir dalam ilmu hadits dan sirah.
Ucapan Huzaifah, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian..”, ketika memberi komentar terhadap ucapan Abu Musa mencerminkan bahwa Abu Musa telah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya salah, dan ternyata justeru Rasulullah pernah melakukannya.
SIKAP IMAM AZ ZAHABI YANG AMAT INDAH DAN BEROBJEKTIF
Imam Az Zahabi rahimahullah adalah salah seorang murid Imam Ibnu Taimiyah. Ia seorang yang amat mahir dalam ilmu hadits dan sirah.
Hati manusia menjadi tenang, ketika membaca hadits riwayat Imam Hakim lalu setelah itu tercantum ‘Wafaqahu Az Zahabi” (Telah disepakati Az Zahabi) iaitu keshahihannya, lantaran Imam Hakim termasuk yang ‘mutasahil’ (mempermudahknnya) dalam mensahihkan hadits, kerana itulah Imam Az Zahabi merasa perlu untuk meninjau kembali.
Ia memiliki karya yang amat bernilai iaitu ‘Siyar A’lamin Nubala’, yang mengandungi biografi tokoh ulama’, khalifah, sasterawan serta peristiwa-peristiwa yang melingkunginya.
Ia memiliki karya yang amat bernilai iaitu ‘Siyar A’lamin Nubala’, yang mengandungi biografi tokoh ulama’, khalifah, sasterawan serta peristiwa-peristiwa yang melingkunginya.
Berikut adalah kuitpan dari komentar-komentarnya yang objektif, khususnya komentarnya tentang kekeliruan yang dilakukan manusia dan tokoh ternama, kerana di dalamnya terdapat pelajaran yang amat berharga bagi orang yang menghargai ilmu, mencintai ulama, bersikap objektif dan menjunjung akhlak Islam.
KOMENTAR 1
Sikap Imam Az Zahabi terhadap seorang ahli hadits terkenal, Imam Ibnu Hibban, yang pernah mengucapkan ucapan berbahaya, “Kenabian adalah ilmu dan amal.”
Mendengar perkataan itu, ramai manusia menuduhnya zindik, kerana ucapan seperti itu pernah diucapkan oleh seorang ahli falsafah bahwa kenabian itu boleh diusahakan dengan ilmu dan amal, bukan kerana pilihan Allah. Lalu manusia mengadukannya kepada khalifah, maka khalifah membuat keputusan untuk membunuhnya.
Bagaimana komentar Imam Az Zahabi?
Ia berkata dalam ‘Siyar A’lamin Nubala’, “Ibnu Hibban merupakan salah seorang ulama’ besar. Namun demikian, kita tidak menilainya terpelihara dari kesalahan. Apa yang diucapkannya itu boleh sahaja dilakukan oleh seorang muslim atau oleh ahli falsafah zindik. Seorang muslim tentu tidak diperkenankan untuk berbicara demikian.. namun bila terlanjur, maka ia dimaafkan.”
Kemudian Imam Az Zahabi menjelaskan bahwa Ibnu Hibban sebenarnya tidak bermaksud membatasi kenabian sebatas ilmu dan amal sahaja. Beliau hanya ingin menjelaskan bahwa keduanya merupakan sifat paling sempurna bagi seorang Nabi.
Ia berkata dalam ‘Siyar A’lamin Nubala’, “Ibnu Hibban merupakan salah seorang ulama’ besar. Namun demikian, kita tidak menilainya terpelihara dari kesalahan. Apa yang diucapkannya itu boleh sahaja dilakukan oleh seorang muslim atau oleh ahli falsafah zindik. Seorang muslim tentu tidak diperkenankan untuk berbicara demikian.. namun bila terlanjur, maka ia dimaafkan.”
Kemudian Imam Az Zahabi menjelaskan bahwa Ibnu Hibban sebenarnya tidak bermaksud membatasi kenabian sebatas ilmu dan amal sahaja. Beliau hanya ingin menjelaskan bahwa keduanya merupakan sifat paling sempurna bagi seorang Nabi.
Adapun ucapan ahli falsafah, “Kenabian itu boleh diusahakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan dan amal.”
Maka ucapan inilah yang disebut kekafiran, dan ini bukan sama sekali yang dimaksudkan oleh Imam Abu Hatim Ibnu Hibban. Tidak mungkin ia bermaksud seperti itu.”
Lihatlah komentar ini, begitu indah dan santun, tanpa mengurangi nilai kritikannya. Apa akan jadi seandainya bukan Imam Az Zahabi yang memberikan komentar?
Lihatlah komentar ini, begitu indah dan santun, tanpa mengurangi nilai kritikannya. Apa akan jadi seandainya bukan Imam Az Zahabi yang memberikan komentar?
Niscaya Imam Ibnu Hibban akan dituduh sebagai zindik, kafir dan lain-lainnya.
KOMENTAR 2
KOMENTAR 2
Sikap Imam Az Zahabi terhadap Al Aswad bin Yazid yang telah melakukan puasa sepanjang tahun (shaum ad dahr) padahal ‘shaum ad dahr’ itu terlarang dalam syariat Islam.
Imam Az Zahabi membenarkan khabar tersebut. Lalu ia memberi komentar : “Sepertinya, larangan tentang ‘shaum ad dahr’ belum sampai ke telinga Ibnu Yazid, atau ia bertakwil di dalamnya.” (Siyar A’lamin Nubala’).
Begitulah Imam Az Zahabi, ia cuba mencarikan dalih bagi Al Aswad bin Yazid dengan mengatakan bahwa kemungkinan Al Aswad belum mendengar hadits yang melarangnya, atau sudah mendengar tetapi ia tidak memahami adanya keharaman di dalamnya.
KOMENTAR 3
KOMENTAR 3
Sikap Imam Az Zahabi terhadap Ulama hadits, salah seorang Imam ‘Jarh wa Ta’dil’, iaitu Imam Yahya bin Ma’in di mana beliau adalah kawan dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Dikutip dari Al Hushain bin Fahm, bahwa Yahya bin Ma’in pernah berkata: “Dulu aku pernah berada di Mesir, lalu akau lihat seorang budak wanita dijual dengan harga seribu dinar. Aku belum pernah melihat wanita secantik dia, semoga Allah memberinya keselamatan.”
Lalu aku (Al Hushain ) berkata: “Wahai Abu Zakaria, orang sepertimu berbicara seperti itu? Beliau berkata: “Ya, semoga Allah memberinya keselamatan dan juga pada setiap orang yang cantik.”
Apa komentar Imam Az Zahabi?
Apa komentar Imam Az Zahabi?
Ia berkata, “Cerita ini dapat diterima sebagai sebuah gurauan belaka dari Abu Zakaria (Yahya bin Ma’in).”
Demikianlah, menurut Imam Az Zahabi itu hanyalah gurauan Imam Yahya bin Ma’in. ia tidak benar-benar bermaksud mengatakan demikian terhadap wanita dalam keadaan serius. Jika bukan Imam Az Zahabi yang memberi komentar, mungkin Imam Yahya bin Ma’in akan dituduh fasik kerana bagaimana mungkin seorang ulama’ boleh memuji-muji kecantikan wanita.
KOMENTAR 4
KOMENTAR 4
Sikap Imam Az Zahabi terhadap ‘Jarh’ (celaan) Imam Al Qadhi Abu Bakar bin al Arabi al Maliki terhadap Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri dengan celaan yang amat merendahkan.
Di dalam kitabnya, ‘Al Qawashim wal Awashim’, Ibnul ‘Arabi menyebut Ibnu Hazm sebagai orang yang tolol dari ‘Isybiliyah’ (Bandar Seville di Sepanyol sekarang), tidak mengerti mazhab-mazhab, sesat dan ahli bid’ah.
Nah, bagaimana komentar Imam Az Zahabi terhadap celaan Imam Ibnul ‘Arabi ini?
Ia berkata, “Al Qadhi Abu Bakar rahimahullah kurang bersikap adil dalam menilai guru dari ayahnya (maksudnya Ibnu Hazm). Beliau juga tidak adil dalam membicarakannya dan terlalu merendahkannya. Padahal Al Qadhi Abu Bakar, walau kedudukannya tinggi dalam ilmu pengetahuan, ia belum mencapai darjat Abu Muhammad (Ibnu Hazm), dan masih terlalu jauh. Semoga sahaja Allah memberikan ‘maghfirah’ (keampunan) kepada keduanya.”
Imam Izzuddin bin Abdul Salam berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan kitab-kitab Islam mengenai keilmuan yang lebih bagus daripada kitab ‘Al Muhalla’ karya Ibnu Hazm dan ‘Al Mughni’ karya Syaikh Muwafaqqud Din (Ibnu Qudamah).”
Ia berkata, “Al Qadhi Abu Bakar rahimahullah kurang bersikap adil dalam menilai guru dari ayahnya (maksudnya Ibnu Hazm). Beliau juga tidak adil dalam membicarakannya dan terlalu merendahkannya. Padahal Al Qadhi Abu Bakar, walau kedudukannya tinggi dalam ilmu pengetahuan, ia belum mencapai darjat Abu Muhammad (Ibnu Hazm), dan masih terlalu jauh. Semoga sahaja Allah memberikan ‘maghfirah’ (keampunan) kepada keduanya.”
Imam Izzuddin bin Abdul Salam berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan kitab-kitab Islam mengenai keilmuan yang lebih bagus daripada kitab ‘Al Muhalla’ karya Ibnu Hazm dan ‘Al Mughni’ karya Syaikh Muwafaqqud Din (Ibnu Qudamah).”
Imam Az Zahabi berkata, “Syaikh Izzuddin telah berkata benar. Kitab ketiga adalah ‘As Sunan Al Kubra’ karya Al Baihaqi dan kitab keempat adalah ‘At Tamhid’, karya Ibnu Abdil Barr.
Maka siapa sahaja yang memperolehi karya-karya tersebut dan ia seorang yang cerdas dan telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab tersebut, maka dialah ulama’ yang sebenarnya.” (Siyar A’lamin Nubala’)
Sebenarnya masih banyak lagi keindahan akhlak Imam Az Zahabi dalam memberikan penilaian objektif terhadap orang dan tokoh yang keliru, seperti sikapnya yang adil terhadap Imam Al Ghazali antara yang merendahkannya dan mengagungkannya, atau sikapnya yang adil terhadap Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’ie) yang juga melakukan puasa ‘dahr’ dan meminum air anggur.
Demikianlah sikap seorang pendakwah di mana kita seharusnya :
Sebenarnya masih banyak lagi keindahan akhlak Imam Az Zahabi dalam memberikan penilaian objektif terhadap orang dan tokoh yang keliru, seperti sikapnya yang adil terhadap Imam Al Ghazali antara yang merendahkannya dan mengagungkannya, atau sikapnya yang adil terhadap Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’ie) yang juga melakukan puasa ‘dahr’ dan meminum air anggur.
Demikianlah sikap seorang pendakwah di mana kita seharusnya :
- Mengajak manusia yang keliru menuju ke arah kebaikan.
- Memperhatikan kedudukan orang tersebut di mata masyarakat.
- Mampu berhadapan dan menunjukkan sikap secara bijak dan berhikmah.
- Tidak menghukum dan merendahkan kedudukan seseorang di mata manusia.
- Tidak membantu ke arah melahirkan pertentangan yang keras dan penyimpangan yang lebih jauh.
Al-Marhum Hasan Al-Hudhaibi pernah berkata : "Kita adalah pendakwah bukan penghukum.”
Sebagai pendakwah, kita tidak boleh terus meletakkan seorang itu dengan label-label yang tertentu bahkan sebaliknya kita perlu berusaha untuk menarik minatnya kepada ajaran Allah dan Rasul.
Ya Allah, jadikanlah kami pendakwah di jalanMu yang menyeru manusia dengan lemah lembut untuk tunduk dan patuh kepada ketetapan dan ketentuanMu. Kurniakanlah hikmah dalam kami menghadapi dan berinteraksi dengan pelbagai golongan manusia dan hindarkanlah kami dari bersikap keras dan berhati kasar dalam bergaul dengan sesama manusia kerana kami sedar bahwa kami adalah pendakwah di jalanMu dan bukan penghukum.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS