Akhlak yang mulia pada diri seseorang mempunyai ciri-ciri seperti berikut :
- Keikhlasan hati.
- Kebersihan hati nurani.
- Kesucian jiwa.
- Ketulusan kata-kata.
- Amanah dalam menunaikan tugas.
Untuk menyempunakan akhlak itulah, Rasulullah saw diutuskan agar setiap orang menjadi batu bata bagi pembangunan masyarakat yang baik.
Dalam setiap umat sepanjang zaman, sentiasa wujud :
- Orang-orang yang soleh.
- Hamba-hamba yang zuhud.
- Para pendakwah yang ikhlas.
Bahkan pada bangsa seburuk manapun, tidak mungkin kosong daripada orang-orang yang apabila disebut nama Allah, bergetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.
Namun, perjalanan sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah dilihat hanya semata-mata ke atas kewujudan peribadi-peribadi yang memiliki akhlak seperti itu, betapapun tinggi kesolehan, ketaqwaan, dan kefahaman mereka terhadap berbagai persoalan.
Yang menjadi ukuran justeru adalah wujudnya ‘harakah jama’iyyah’ (gerakan secara jamai’e) dan kesolehan yang bersifat massa sehingga menjadi arus kuat lagi mantap yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan bukannya terpengaruh dengan suasana arus sedia ada.
Ini bukan bermaksud untuk meremehkan makna ‘amal fardi’ (kerja individu) dengan segala sifat terpuji yang dimilikinya.
Namun, sesuai dengan kebenaran yang dianuti, adalah menjadi suatu kerugian jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massa yang dipikul oleh orang-orang soleh seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga menjadi bagaikan satu hati dalam satu jamaah.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS Al Ashr : 1-3)
Adalah jelas sekali bahwa yang dikecualikan dari kerugian adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun tahap kesolehannya.
Jika ada orang yang mengatakan :
“Saya boleh melaksanakan Islam untuk diri saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak terlibat dengan praktik riba, saya mendirikan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajiban yang bersifat individu dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan kemudian saya berlalu.”
Kita katakan :
“Itu bagus. Namun, orang yang melakukan perkara itu persis seperti orang yang memilih batu-bata dengan cekap, kemudian meningkatkan kualitinya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk perkara itu. Adakah kita menyebut dan menganggap tentang batu-bata yang berselerak itu, betapapun masing-masingnya memiliki kualiti yang baik untuk sebuah bangunan sebagai sebuah bangunan bertingkat atau pencakar langit?
Hakikatnya, batu bata tetap tinggal sebagai batu bata dan jika ianya tidak pernah disusun atur dan antara satu sama lain tidak saling menguatkan, maka ia tidak mampu menghasilkan satu bangunan yang kuat dan bermanfaat.”
Begitulah keadaan dakwah pada tahap individu.
Namun :
- Bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan sistern pendidikan?
- Siapa yang menegakkan perundangan dan hukuman?
- Siapa yang menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman?
- Siapa yang menegakkan hukum halal dan haram?
- Siapa yang mengatur urusan, wasilah dan usaha?
- Siapa yang memimpin umat, menyebarkan dakwah dan menghadapi serangan musuh?
Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah khusus semata-mata, maka mereka akan terjerumus ke dalam krisis keyakinan, padahal mereka mendengar firman Allah:
“Apakah kamu mengimani sebahagian kitab dan menolak sebahagian lain? Maka tiada balasan bagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah : 85)
Mereka juga mendengar peringatan Allah dalam Al Qur’an terhadap Rasulullah saw:
“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (QS Al Maaidah : 49)
Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di sana sini yang bekerja untuk Islam dalam keadaan terpancar-pancar. Walaupun tentu sahaja pekerjaan mereka bermanfaat dan menjadi tabungan kebaikan di sisi Allah kerana Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang bekerja samada laki-laki ataupun perempuan dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia lakukan, sesuai dengan niat dan profesyennya.
Firman Allah swt :
“Maka barang siapa melakukan kebaikan meskipun sebesar zarah maka ia akan melihatnya.” (QS Al Zalzalah : 7)
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi meskipun hanya sebesar zarah.” (QS An-Nisaa’ : 40)
Walaubagaimanapun, kerja individu dalam realiti umat kontemporari tidak cukup kuat untuk mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan.
Mesti ada ‘amal jamai’e’ dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus tuntutan realiti.
ISLAM MENYERU KEPADA JAMAAH
Islam menyeru kepada berjamaah dan membenci sikap bersendirian. Mafhum dari hadits-hadits Rasulullah saw menceritakan kepentingan tersebut :
- Pertolongan Allah bersama jamaah.
- Barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri pula di dalam neraka.
- Serigala hanya akan menerkam kambing yang menyendiri.
- Tidak sah solat sendirian di belakang saf atau di depan Imam.
- Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.
- Tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa merupakan salah satu kewajiban dalam Islam.
- Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah salah satu syarat untuk selamat dari kerugian di dunia dan akhirat.
Realiti kehidupan menegaskan bahwa kerja yang produktif adalah yang dilakukan secara berjamaah.
Contohnya :
- Bertepuk sebelah tangan tidak akan berbunyi.
- Seseorang adalah sedikit dengan dirinya sendiri tapi menjadi banyak bersama kawan-kawannya.
- Lemah bila sendirian dan kuat dengan jamaahnya.
- Kerja-kerja besar tidak akan boleh dilakukan kecuali dengan tenaga besar.
- Pertarungan sengit tidak dimenangkan kecuali dengan bergandingan tangan dan saling menyokong kekuatan.
Ini amat bertepatan dengan firman Allah swt:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dengan berbaris bagaikan suatu bangunan yang kukuh.” (QS As-Shaff : 4)
Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan yang memusuhi Islam dan umatnya tidaklah bekerja secara individu dan bukan pula kelompok-kelompok yang terpancar-pancar.
Mereka :
- Bekerja dalam sebuah sistem dengan disiplin yang tinggi.
- Mempunyai struktur organisasi, pemimpin lokal dan pemimpin antarabangsa.
Oleh yang demikian, kita wajib menghadapi mereka dengan cara sepertimana mereka menghadapi kita.
Kita tidak boleh :
- Melawan meriam dengan tongkat.
- Melawan kereta kebal dengan kuda atau keledai.
- Menghadapi amal kolektif musuh dengan kerja individu kita.
- Menghadapi kerja yang sistemik dengan kerja yang bercelaru.
Ini adalah kerana :
- Keadaan kacau bilau tidak mungkin mengalahkan sebuah sistem.
- Individu tidak akan mampu mengalahkan jamaah.
- Batu kerikil tidak akan dapat mengalahkan gunung.
Al Qur’ an mengingatkan kita dengan ayatnya :
“Dan orang-orang kafir sebahagian mereka adalah penolong bagi sebahagian lain. Jika kamu tidak melakukan hal seperti itu (dalam kebersamaan) maka akan berlakulah mala petaka di muka bumi dan kerusakan yang yang dahsyat.” (QS Al Anfaal : 73)
Makna “illaa taf’aluuhu” dalam ayat di atas adalah, jika sebahagian kamu tidak membantu dan menyokong sebahagian yang lain, maka akan terjadi bencana dan kerusakan yang lebih besar dari sekadar berhimpunnya kekuatan kafir dan bercerai berainya kekuatan Islam. Kebatilan akan bermaharajalela dan kebenaran akan hancur lebur dan itulah bahaya besar dan kejahatan yang sedang mengancam.
PENGERTIAN AMAL JAMAI’E
Amal jamai’e adalah bermaksud suatu :
“Amal / perkara yang diputuskan oleh tanzim jamaah yang tersusun berdasarkan manhaj tertentu untuk mencapai ‘hadaf’ (matlamat) tertentu.”
Dari pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa :
- Suatu tanzim itu dipilih dari kalangan mereka yang dipercayai.
- Manhaj yang dipakai mestilah menepati manhaj Rasulullah saw yang mengikuti Al-Quran dan As Sunnah.
- Dalam usaha untuk mencapai matlamat tersebut, setiap amal yang diputuskan mestilah menepati syara’.
Ada suatu perkara yang perlu diingat bahwa matlamat yang hendak dicapai itu tidak boleh menghalalkan sesuatu cara yang diambil di mana dalam membumikan amal, cara dan metod, semuanya mestilah selari dengan Al-Quran dan As Sunnah kerana matlamat yang tidak didukung oleh kedua sumber ini hanya akan menyebabkan berlakunya banyak penyelewengan dalam dakwah dan tarbiah di samping munculnya kesalahfahaman terhadap manhaj yang dibawa.
Kekeliruan ini perlulah dielakkan bagi menjamin masa depan dakwah dan jamaah kerana mengikut sebuah kaidah fiqh :
"Matlamat sama sekali tidak mewajarkan/menghalalkan wasilah/cara."
AMAL JAMAI’E YANG SISTEMIK
“Amal jamai’e” mestilah :
- Sistemik (berasaskan sistem).
- Berpijak di atas qiyadah (kepimpinan) yang bertanggungjawab.
- Berdasarkan asas yang kukuh.
- Mempunyai persepsi yang jelas.
- Mengatur hubungan antara qiyadah (kepimpinan) dengan junud (pengikut) atas dasar syura (musyawarah) yang mengikat.
- Wujud ketaatan yang penuh kesedaran serta kefahaman.
Islam tidak pernah mengenal jamaah tanpa sistem sehingga jamaah kecil dalam solat sahajapun diatur oleh sebuah sistem.
Mari kita perhatikan satu sistem yang kecil yang dilaksanakan dalam solat berjamaah :
Allah tidak akan melihat kepada saf (barisan) yang bengkok; saf mesti rapat, tidak boleh membiarkan ada celah di dalam saf kerana setiap celah akan diisi oleh syaitan; bahu seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama dalam gerakan dan penampilan seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.
Imam mesti meluruskan saf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la mesti menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap saudaranya. Jadi, jamaah memerlukan kadar kelembutan dan keanjalan agar terbentuk keharmonian dalam barisan.
Setelah itu, wajib taat kepada imam. Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kamu. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah kamu. Apabila ia sujud, maka sujudlah kamu dan apabila ia membaca maka dengarkanlah.
Tidak sah bila seseorang melencong dari saf dan mendahului imam. Misalnya dengan ruku’ sebelum imam ruku’ atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian membuat penyimpangan dalam susunan yang terbentuk itu. Siapa yang melakukan perkara itu, maka dikhuatirkan bahwa Allah akan menggantikan kepalanya dengan kepala keledai.
Namun, jika si imam itu salah, maka kewajiban para makmum adalah mengingatkan dan membetulkan kesalahannya samada kerana keliru ataupun kerana lupa. Samada kekeliruan itu berlaku dalam ucapan atau perbuatan; pada bacaan atau pada rukun solat lainnya sehingga kepada kaum wanita yang berada pada saf yang jauh sekalipun dianjurkan untuk bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang keliru itu.
Itulah satu model kecil sistem “Jamaah Islamiyah” dan begitulah semestinya hubungan antara pimpinan dengan pengikut. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari kesalahan, maka ia tidak boleh ditaati secara membabi buta. Begitulah kefahaman kita tentang Islam dan untuk menegakkan kefahaman itu, mesti ada “amal jamai’e” yang sistemik.
Perhatian Islam terhadap seseorang secara individu tidak lain adalah dalam rangka mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualiti tinggi yang akan mampu memikul segala beban dakwah dan berjihad untuk membelanya.
Oleh kerana itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kebersamaan atau paling tidak menyerukan kepada jamaah.
- Solat berjamaah misalnya 27 darjat lebih utama dibandingkan dengan solat sendirian.
- Solat Jumaat tidak sah kecuali bila dilaksanakan secara berjamaah.
- Solat dua Hari Raya juga tidak terlepas dari anjuran berjamaah.
- Solat Tarawikh di bulan Ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.
- Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir sehingga terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta sikap mementingkan diri sendiri dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah.
- Puasa juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin, maka wujudlah persatuan dan saling mencintai.
- Haji pun merupakan kewajiban yang dilaksanakan secara bersama. Semua orang yang sedang melaksanakannya sama dalam hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama meninggalkan perhiasan dunia dan menghadap kepada Allah swt. Lalu hati mereka menjadi berpadu, perasaan mereka menyatu dan ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka menjadi kuatlah ikatan jamaah tersebut.
- Begitu pula jihad mesti dilakukan oleh kaum Muslimin secara bersaf bagaikan bangunan yang kukuh. Maka Allah meridhai mereka dan mereka juga ridha kepada Allah.
Jadi, seluruh ibadah mendukung untuk terwujudnya jamaah dan mengukuhkan ikatan di antara para anggotanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhumya.
KESEMPURNAAN IKHLAS DENGAN JAMAAH
“Amal jamai’e” adalah pesanan Rasulullah saw kepada kaum Muslimin dengan sabdanya :
“Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang menyendiri, menyendiri pula di dalam neraka.” (HR At-Tirmidzi)
Sabdanya lagi :
“Kamu mesti berjamaah kerana serigala hanya akan memakan kambing yang menyendiri.” (HR Ahmad)
“Siapa yang menginginkan naungan syurga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan jamaah.” (HR At-Tirmizi)
Tentang jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud ra mengatakan :
“Ia adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kamu tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari apa yang kamu sukai dalam perpecahan.”
Ali bin Abi Talib ra mengatakan :
“Kekeruhan dalam jamaah lebih baik daripada kejernihan dalam individu.”
Jamaah, seperti yang sudah dijelaskan adalah terdiri dari :
- Pemimpin.
- Anggota.
- Manhaj.
yang mampu membina umat yang akan memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah dan kemenangan jamaah adalah merupakan janji Allah yang pasti berlaku.
“Dan sesungguhnya tentera Kami, mereka itulah yang akan menang.” (QS Ash-Shaffaat : 173)
“Dan siapa yang menjadikan Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok (pendukung) Allah itulah yang akan menang.” (QS Al Maaidah : 56)
Islam adalah agama yang mesti dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ kemudiannya mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang menjadi pelopor dalam memikul tugas dan bertekad untuk bekerja secara ikhlas tanpa henti siang dan malam.
Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Al Khattab kepada Mu’awiyah bin Khadij yang mengunjunginya bagi menyampaikan berita gembira tentang penaklukan Iskandariyah :
“Jika aku tidur di siang hari bererti aku menyia-nyiakan rakyat. Dan jika aku tidur di malam hari bererti aku menyia-nyiakan diriku. Lalu bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu, wahai Mu’awiyah?”
Islam adalah agama yang yang dianut oleh semua usia dan kalangan. Orang dewasa tetap memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus teguh hingga ia menjadi tua. Orang bukan Arab menjadi fasih dengan Islam dan orang Arab berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada kebenaran selain Islam.
Ia bukanlah agama yang hanya dibataskan mengatakan kepada orang yang melakukan kesalahan:
“Jangan kamu lakukan kesalahan."
Lebih dari itu, Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan kesalahan sebuah masyarakat dan jalan untuk membantunya memperbaiki diri dan tolong menolong dalam kebaikan serta ketaqwaan agar :
- Kata-kata menjelma menjadi perbuatan.
- Teori berubah menjadi pelaksanaan.
Adakah perkara itu mampu diwujudkan oleh seseorang (betapapun ia ikhlas dalam ibadah) ataukah ia mesti dengan jamaah yang kukuh dan kuat?
Bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya :
- ‘Ta’aruf ‘(saling mengenal).
- ‘Tafaahum’ (saling memahami).
- ‘Takaaful’ (saling berkongsi bebanan).
yang merealisasikan tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan jamaah yang luhur dengan semangat ukhuwah dan tekad yang waja.
Untuk hikmah yang tinggi itulah Allah swt menjadikan seluruh umat Islam sebagai umat dakwah.
Manakala Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw kepada umat ini dan kepada seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia.
Oleh kerana itu ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir :
"Untuk apa kamu datang ke mari?”
Ia segera menjawab :
“Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan orang yang mahu agar keluar dari penyembahan terhadap sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah semata-mata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Itu disebabkan kerana Rasulullah saw mengatakan kepada kaum Muslimin :
“Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.”
Mereka adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Jadi, keikhlasan yang dimiliki oleh seorang Muslim bukanlah untuk dirinya sendiri meskipun tentu sahaja sebagai individu ia akan mendapatkan pahala.
Kesolehan dan keikhlasan seorang Muslim yang hanya untuk dirinya sahaja adalah bagaikan air yang suci. Zatnya suci tapi tidak dapat menyucikan yang lainnya. Sedangkan Islam menghendaki Muslim itu menjadi ‘thahuur’ dan bukan sekadar ‘thahiir’ supaya, selain dirinya suci, ia juga dapat menyucikan orang lain.
Jadi memang perlu ada “batu-bata” yang soleh yang memiliki akhlak Islam kerana tidak akan ada kesepaduan, ikatan, kecintaan, tolong-menolong, ‘itsar’ (sikap mengutamakan kepentingan orang lain) dan akhlak utama lainnya yang menunjukkan keikhlasan dan tidak akan wujud keharmonian sosial kecuali apabila ada kesatuan akhlak dan kesamaan di antara para anggota dalam hal perilaku, orientasi dan kefahaman.
Kesemua itu tidak akan dapat diwujudkan kecuali dalam bingkai jamaah yang mengarahkan untuk melaksanakannya.
Orang-orang yang memahami Islam sebagai semata-mata ibadah lahiriah yang jika mereka melaksanakan atau melihat orang melaksanakannya sudah merasa puas dan menduga bahwa itu adalah inti Islam, tidak lebih dari itu, bagaimana mungkin ia akan merasakan wajibnya amal secara berjamaah.
Demikian pula dengan orang-orang yang tidak memandang Islam selain sebagai akhlak mulia, kerohanian yang agung, falsafah yang merangsang akal dan ruhani serta menjauhkan keduanya dari debu-debu keduniaan. Mereka ini juga tidak akan mempercayai pentingnya “amal jamai’e”.
Adapun orang-orang yang meyakini bahwa Islam adalah manhaj kehidupan, mereka itulah yang percaya bahwa wajibnya “amal jamai’e”.
Begitulah kita memahami Islam secara sempurna lagi bersepadu sebagai risalah tarbiyah dan manhaj kehidupan yang jauh dari :
- Kebekuan orang-orang yang beku.
- Kelonggaran orang yang menghalalkan segala cara.
- Kerumitan para ahli falsafah.
Tidak ada sikap ekstrim dan tidak ada sikap pengabaian dengan tetap memegang teguh Kitabullah dan Sunah NabiNya serta sirah salafus-soleh.
Dengan hati yang jujur, orang-orang mukmin akan menyerap dari Al Quran dan As Sunnah itu Islam sebagai aqidah, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, akhlak, material, toleransi, kekuatan, ilmu pengetahuan dan perundangan.
“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (QS Al Baqarah : 143)
Dengan hati yang ikhlas, kita juga memahami bahwa Islam adalah agama jamaah, yang mendidik setiap individu untuk menjadi ‘mushleh’ dan bukan sekadar ‘soleh’.
“Dan sekali-kali Rabbmu tidak akan menghancurkan negeri-negeri secara zalim padahal penduduknya melakukan perbaikan.” (QS Hud : 117)
“Dan Allah mengetahui orang yang merosakkan dari orang yang melakukan perbaikan.” (QS Al Baqarah : 220)
Orang yang soleh dalam kefahaman kita terhadap Islam mungkin boleh termasuk dalam kategori penyumbang kepada kemungkaran jika ia diam.
Jadi, manfaat apakah yang boleh dirasakan oleh masyarakat dengan kesolehannya jika ia tidak turut membantu saudaranya untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Sesungguhnya orang yang tidak mengatakan kebenaran adalah umpama ‘syaitan bisu’.
Allah swt mengingatkan:
“Dan takutlah kamu akan sebuah bencana yang akan menimpa bukan hanya orang-orang yang zalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah amat dahsyat siksaanNya.” (QS Al Anfaal : 25)
Oleh kerana itulah, Aisyah ra bertanya kepada Rasulullah saw :
“Adakah kita akan dibinasakan padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang soleh?”
Rasulullah saw menjawab :
“Ya. jika keburukan itu telah bermaharajalela.”
Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda :
“Jika kesalahan tersembunyi, maka ia tidak akan membahayakan selain pelakunya. Tapi, jika kesalahan telah bermaharajalela dan tidak dibenteras, maka itu akan membahayakan orang ramai.” (HR At-Tirmizi)
“Amal jamai’e” yang sistemik bertumpu kepada tiga (3) perkara :
- Pimpinan (qiyadah) yang ikhlas dan bertanggungjawab.
- Pengikut, yakni individu-individu yang satu sama lainnya berpadu secara ikhlas dan terikat dengan jamaah.
- Manhaj dengan kefahaman yang terang dan jelas.
Hubungan di antara ketiganya dibangunkan berlandaskan :
- Syura (musyawarah) yang ‘ mulzim’ (wajib dan mengikat).
- Ketaatan yang disertai dengan kefahaman.
- Ikhlas kepada Allah dalam melaksanakan apa yang difahami dan juga dalam berharakah.
Jika keikhlasan kepada fikrah dan harakah hilang dari mereka, maka mereka tidak ubah seperti kelompok lainnya yang hanya terbentuk di atas asas kepentingan peribadi dan bukan lagi merupakan :
- Jamaah dengan segala tonggak, karakteristik, tujuan-tujuan, dan wasilah-wasilahnya.
- Jamaah yang dapat memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah.
- Jamaah yang dapat mewujudkan keunggulan dalam hidup dan membimbing manusia ke jalan yang benar, sebagaimana yang firman Allah swt :
"Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (QS Al Baqarah : 143)
Kita dapat bayangkan sebuah jamaah yang memiliki ciri-ciri seperti itu dan mewujudkan apa-apa yang disebutkan di atas itu.
Jamaah yang menyedari besarnya risalah yang dipikulnya dan yakin penuh akan pertolongan Allah. Tidak diragukan lagi bahwa para anggota jamaah itu akan dipersatukan hatinya oleh Allah swt.
“Dan Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Anfaal : 63)
serta kemenangan yang Allah janjikan akan mereka raih:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal soleh bahwa Dia akan mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana Dia telah mengangkat orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah dan pasti Dia akan kukuhkan bagi mereka agama mereka yang Dia ridhai dan Dia akan menggantikan untuk mereka rasa takut menjadi rasa aman, mereka beribadah kepadaKu dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun denganKu.” (QS An-Nuur : 55)
Maka oleh sebab itu, kaum Muslimin setelah Rasulullah saw wafat bersepakat untuk mencari siapa yang akan menggantikan beliau bagi :
- Menjaga agama ini.
- Meneruskan dakwah.
- Memelihara keamanan.
- Menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Ali bin Abi Talib ra mengatakan :
“Manusia mesti mempunyai imarah (kepimpinan) yang soleh mahupun yang durhaka.”
Seseorang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, jika pimpinan yang soleh kami mengerti, tapi bagaimana dengan pimpinan yang durhaka?”
Ia menjawab, “Dengan imarah itu, hukum jenayah ditegakkan, jalan diamankan, musuh dilawan dan harta rampasan perang dibahagikan.”
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada seorang pun yang berpandangan berbeza dari itu.
Sedangkan Imam Juwaini mengatakan bahwa pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang kukuh.
Imam As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar As Shiddiq, setelah khutbah di Saqifah Bani Sa’idah, mengatakan :
“Mesti ada orang yang menegakkan agama ini."
Maka orang-orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda benar wahai Abu Bakar."
Perkara seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi :
“Imamah ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”
Benarlah perkataan seorang ulama’ :
“Agama itu pangkal dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa sahaja yang tidak punya pangkal maka akan hancurlah ia dan apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan lenyap.”
Jelas sekali bahwa untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita perlu menentukan tujuan yang mesti dicapai oleh jamaah, iaitu :
- Individu Muslim.
- Keluarga Muslim.
- Masyarakat Islam.
Oleh yang demikian, jamaah yang menyeru kepada kefahaman seperti disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah :
- Memberikan kefahaman (ta’arif).
- Pembentukan keperibadian Islam (takwin).
- Pelaksanaan nyata dalam masyarakat (tanfidz).
Maka, merekalah jamaah yang menjalankan kewajiban kerana berdasarkan sebuah kaedah fiqh :
“Sesuatu yang membuatkan kewajiban menjadi tidak sempurna kecuali dengannnya, maka “sesuatu” itu hukumnya wajib.”
- Tiada Islam tanpa jamaah.
- Tidak ada jamaah tanpa kepimpinan (imarah).
- Tidak ada kepimpinan tanpa ketaatan.
Oleh yang demikian, fahamlah kita bahwa Islam adalah sistem dan ketaatan.
Dalil yang paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jamai’e dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman.”
Bahkan di awal surah Al Baqarah menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah ‘Al muttaqin’ (dalam bentuk jamak : orang-orang yang bertakwa) bukannya ‘Al muttaqi’ (dalam bentuk tunggal : seorang yang bertaqwa).
“Itulah kitab (Al Qur’an), merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Kemudian Allah swt menyebutkan sifat-sifat mereka :
“Iaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan solat dan menginfakkan sebahagian harta yang Kami berikan kepada mereka.”
Semua itu menunjukkan sifat jamai’e seperti yang kita lihat.
Bahkan Allah swt mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan ungkapan yang kita ulangi setiap solat :
“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.”
Di sini digambarkan keadaan beribadah dan mohon pertolongan dalam suasana kebersamaan.
Itu semua adalah sesuatu yang logik kerana ibadah dengan maknanya yang utuh tidak akan wujud melainkan dengan secara bersama-sama beribadah dan memohon pertolongan.
Bahkan, hidayah itu sendiri tidak akan sempurna tanpa jamaah.
Oleh sebab itu kita mengatakan, “Berilah kami petunjuk” dan bukannya “Berilah aku petunjuk” kerana memang hidayah yang sebenar dan sempurna yang diberikan oleh Allah akan hanya dapat diwujudkan dengan jamaah.
Itulah sebabnya, khabar gembira juga berlaku untuk orang-orang mukmin dalam kebersamaannya dan bukan dalam kesendiriannya.
Sebenarnya, ketika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama jamaah, maka kefahaman itu sendiri adalah sebahagian dari agama dan sudah semestinya kefahaman seperti itu menjadi salah satu ‘tsawabit’ (unsur-unsur tetap) jamaah manapun yang menyeru kepada Islam.
Kefahaman bahwa Islam adalah agama jamaah itu sendiri merupakan ‘tsawabit’ (unsur tetap) Islam. Persepsi itu menyeru untuk mempraktikkannya dalam jumlah ruang lingkup yang kecil sekalipun seperti ia berada dalam perjalanan (safar).
Jika ia melakukan perjalanan sendirian maka temannya adalah syaitan dan jika jumlahnya lebih dari seorang, meskipun hanya tiga orang, maka wajib diangkat seorang pemimpin dari kalangan mereka.
“Jika kamu bertiga maka angkatlah salah seorang di antara kamu sebagai amir.” (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud).
Apatah lagi dengan orang yang ingin menghidupkan umat dan membuat sebuah peradaban. Bukankah ini lebih memerlukan pengurusan yang tepat dan amir jamaah yang ditaati?
Tidak diragui lagi bahwa :
- Apabila keimanan para anggota kuat, maka akan kuat pula jamaah itu dan akan mampu mencapai apa yang dicita-citakannya.
Sebaliknya :
- Apabila keimanan para anggotanya lemah, barisan akan tercerai-berai kerana lemahnya iman akan mengakibatkan penyelewengan konsep dan munculnya kecenderungan hati terhadap kepentingan duniawi.
Di antara kecenderungan duniawi yang boleh menghambat perjalanan jamaah adalah :
- Harta.
- Anak.
- Isteri.
- Senang bersantai-santai.
- Putus asa.
- Takut.
- Semangat yang melampau.
- Tidak adanya kesetiaan.
Maka, jelaslah bagi kita bahwa “amal jamai’e” adalah wajib bagi kaum Muslimin. Oleh yang demikian, wasilah yang dapat menghantarkan pada terlaksananya kewajiban itu adalah wajib.
Dari sini kita memahami bahwa propaganda yang menyeru bahwa tidak pentingnya amal jamai’e adalah propaganda untuk melemahkan dan memecahbelahkan kaum Muslimin.
Padahal, zaman sekarang inilah masanya orang membuat perkumpulan atau permuafakatan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka, apatah lagi Islam yang memandang jamaah sebagai keimanan dan perpecahan adalah kekufuran.
Nilai jamaah pada jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali wujudnya lima perkara:
- Merasa bangga dengan penggabungan dan komitmennya pada jamaah itu.
- Merasa tenang dan puas dengan keberadaan dirinya di dalam jamaah itu.
- Merasa bahwa jamaah memenuhi segala impian dan cita-cita keislamannya.
- Merasa bahwa ia sebahagian dari jamaah, ia memberi sumbangan kepada jamaahnya dan jamaah pun membantunya; ia menyokong jamaah tersebut dan jamaah pun mendukungnya.
- Seseorang menjadi bererti dengan jamaah dan bukan dengan yang lainnya sedangkan jamaah itu walaupun tidak ditegakkan oleh dia pasti ditegakkan oleh orang lain.
Firman Allah swt :
“Dan jika kamu berpaling maka niscaya Allah akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.” (QS Muhammad : 38)
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya maka niscaya Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka (pun) mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Itulah kurnia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Maaidah : 54)
Itulah perbezaan antara :
- Perhimpunan atau kelompok yang tiada ikatan, pemimpin dan manhaj.
dengan
- Jamaah yang diikat oleh nurani, perasaan, kecintaan, peraturan, tujuan, wasilah, pemimpin, perajurit yang tujuannya adalah Allah swt.
Maka, untuk itulah, sesebuah Gerakan Islah yang bergerak berasaskan amal-amal secara jamai’e akan berusaha untuk membuat perubahan ke atas:
- Setiap individu agar ia menjadi seorang yang bertaqwa.
- Pembentukan keluarga agar menjadi keluarga Islam sebenar.
- Orientasi masyarakat agar di dalamnya tersebar nilai-nilai, prinsip-prinsip, akhlak dan syi’ar-syi’ar Islam dalam setiap sudut kehidupan.
- Perlaksanaan syariat melalui cara aman dan praktikal dengan berdakwah menerusi nasihat dan bimbingan dengan penuh kebijaksanaan.
Ya Allah, tetapkanlah hati kami untuk kami bergabung di dalam jamaah yang berkat ini kerana sesungguhnya pertolonganMu akan sentiasa bersama dengan jamaah dan keberkatan dan rahmat dariMu akan sentiasa dicurahkan pada perkumpulan yang sehati sejiwa membangunkan keimanan di dalam diri mereka dan dalam masa yang sama melaksanakan syariat dan peraturan yang datang dariMu.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS