Doa dan harapan kita kepada Allah swt semoga kita sentiasa dikurniakan curahan rahmat dan inayahNya serta kesabaran dalam menjejaki jalan dakwah yang begitu panjang dan penuh dengan berbagai rintangan dan halangan.
Hanya ridhaNya yang sentiasa kita harapkan selama mana kita juga :
- Ridha dengan kewajiban dakwah ini.
- Tulus ikhlas dalam melaksanakannya.
- Merasa ringan terhadap tugas-tugas yang kita pikul.
Kita sentiasa berkeinginan untuk tetap berada di jalan dakwah ini iaitu :
- Jalan keimanan yang telah menawarkan kepada kita begitu banyak kelazatan.
- Jalan terang yang telah menuntun kita dari gelap gulitanya kehidupan.
- Jalan yang mempertemukan kita dalam lingkaran kebersamaan.
Meskipun kita berbeza keturunan, karakter dan kebiasaan namun ternyata kita mampu melebur dan menyatukan diri di mana jika berbeza sekalipun kita justeru menciptakan suasana yang indah dalam mengharungi perjalanan.
Tetaplah kita di jalan ini iaitu :
- Jalan keimanan.
- Jalan keislaman.
- Jalan yang telah dilalui oleh para pencipta sejarah.
- Jalan yang sentiasa memberikan kedamaian di hati.
- Jalan yang memberikan kemudahan kepada kita untuk merengkuh pundi-pundi pahala.
Tetaplah kita bergandingan tangan sehingga ajal yang memisahkan kita. Mungkin kita telah letih dan jemu menghadapi deraian hujan ujian yang seakan-akan tidak pernah reda walau sedetikpun di samping gelombang fitnah yang semakin kuat menerjah.
Tetaplah kita di sini iaitu di jalan yang terang di mana sesungguhnya setelah segala kesulitan pasti ada kemudahan kerana begitulah kehidupan ini telah digariskan semenjak dari Nabi Adam sehingga selesai tugas manusia menjadi khalifah di muka bumi ini, ujian yang datang akan silih berganti diiringi dengan kemudahan-kemudahan. Tidak akan ada kesenangan abadi tanpa ditemani oleh riak-riak kesedihan dan begitulah pula sebaliknya.
Tetaplah kita di sini iaitu jalan yang telah mempertemukan kita serta jalan yang telah menuntun kita pada kenikmatan berbakti.
Tetaplah kita di sini iaitu jalan yang telah mempertemukan kita serta jalan yang telah menuntun kita pada kenikmatan berbakti.
Jangan kita pernah tergoda dengan pujuk rayu syaitan yang menginginkan kita pergi meninggalkan jalan ini.
Keindahan yang kita alami di jalan ini lebih indah daripada keindahan yang kerapkali dibanggakan oleh mereka yang jauh dari jalan ini.
Jangan tertipu dengan fatamorgana kenikmatan, keindahan, kebahagiaan semua orang yang sering kita lihat dari orang-orang yang jauh dari tuntunan jalan ini.
Jalan ini adalah :
Jalan ini adalah :
- Jalan yang telah mengajarkan kita pentingnya mengisi kehidupan ini dengan amal kebaikan.
- Jalan yang menuntun kita agar bijak memanfaatkan peluang beramal walau sekecil manapun.
- Jalan yang juga mengajarkan kita untuk menjauhi dosa walau sekecil apapun.
- Jalan yang mengajarkan kita untuk bijak menjalani kehidupan di samping berwaspada terhadap pujuk rayu syaitan yang memperdayakan.
Tetaplah diri kita di jalan ini iaitu jalan yang menawarkan begitu banyak kemanisan hidup. Jangan kita pernah tergoda dengan pujuk rayu yang menginginkan kita lari dari jalan ini.
Ketahuilah bahwa kemuliaan kita di hadapan Allah terletak dari :
- Kesungguhan niat.
- Kemampuan kita menyelesaikan ujian-ujian kehidupan.
Semakin tinggi ujian, semakin tinggi pula kualiti keimanan kita.
Tetaplah kita di jalan ini. Berjalan beriringan seiya sekata. Berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.
Tetaplah kita di jalan ini. Berjalan beriringan seiya sekata. Berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.
Jangan kita berhenti sebelum sampai ke destinasi :
- Walau gelombang ujian semakin kuat menghalang.
- Walau gunung cubaan semakin tinggi menjulang.
- Walau hujan rintangan semakin lebat menyerang.
Ini adalah kerana ada syurga yang menjanjikan jutaan kebahagiaan di hujung perjalanan. Maka jemputlah syurga itu dengan :
- Sifat istiqamah.
- Keteguhan iman.
Semoga Allah swt sentiasa menjaga kebersihan hati kita.
Bukankah Allah swt telah memilih kita sebagai pemikul amanah dakwah Islam dalam sebuah gerakan Islam sejagat?
Allah memberikan kepercayaan kepada kita untuk meneruskan risalah para nabi, khususnya misi dan ajaran Nabi Muhammad saw di mana adalah suatu penghargaan besar dari Allah swt yang telah mentakdirkan kita menjadi hamba-hambaNya yang dapat berhimpun dalam gerakan dakwah ini.
Jika kita hormati penghargaan Ilahi ini dan kita memberi respon yang positif terhadap amanah tersebut, insyaAllah, hasil dan kesannya tidak akan sia-sia di mana kemuliaan dunia dan akhirat akan diberikan sesuai dengan janji Allah swt :
“Sesungguhnya yang berikrar Rabb kami adalah Allah, kemudian beristiqamah, niscaya para Malaikat turun (membawa berita), jangan kamu merasa takut dan sedih, bergembiralah dengan syurga yang dijanjikan. Kami adalah pelindung kamu dalam kehidupan dunia dan di akhirat kelak, di sana bagi kamu apa yang diinginkan dan apa yang diminta. Yang diturunkan dari Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal soleh serta berkata sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.”
Semoga Allah swt sentiasa memberkati persaudaraan kita di mana penghargaan Allah terhadap kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa tinggi diri, apalagi ujub (na’udzubillah min zaalik) terhadap diri dan menyombongkan diri dengan meremehkan orang lain.
Semua perbuatan tersebut adalah dilarang, bahkan tidak patut rasanya seseorang yang diberikan kemuliaan sebagai pendakwah melakukan sikap dan perbuatan tersebut.
Lebih dari itu, sikap dan perilaku sombong serta merasa tinggi diri akan mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama manusia.
Bayangkan! Jika manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang lainnya serta :
- Tidak saling menghormati.
- Tidak ada kewibawaan.
- Tidak ada saling mempercayai.
- Tidak ada etika.
- Tidak menghormati tatasusila.
Apa akibatnya kehidupan ini jika itu yang berlaku?
Apakah gerangan yang membuatkan seseorang menjadi sombong dan merasa tinggi serta merasa lebih hebat dari orang lain ?
Apakah disebabkan ilmu yang dimilikinya?
Tidak ada yang perlu dibanggakan dari ilmu yang kita miliki. Ilmu itu pada hakikatnya adalah milik Allah dan Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmuNya, maka justeru ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Allah :
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-hambaNya adalah para ulama’”.
Mungkinkah seseorang itu merasa bangga dan tinggi diri kerana amal-amal dan aktiviti ibadahnya yang begitu banyak?
Bukankah sepatutnya semakin tinggi keimanan seseorang dan ketaqwaannya, semakin ia merendahkan dirinya, samada ke hadhrat Allah swt, mahupun kepada manusia, rendah diri di hadapan orang yang beriman dan tegas di hadapan orang kafir.
Nabi Muhammad saw sebagai sebaik-baik makhluk Allah dan orang yang paling bertaqwa dari kalangan umatnya, masih diberi pesanan oleh Allah swt dalam firmanNya :
“Rendahkanlah hatimu kepada pengikutmu orang-orang mukminin.” (QS Asy-Syu’ara : 215)
Kadang-kadang kita merasa lebih banyak amalnya dan lebih tinggi kedudukannya di dalam gerakan dakwah kerana merasa lebih dulu aktif dan lebih ‘senior’.
Berhati-hatilah bahwa semuanya itu akan membuatkan dirinya lebih hina dan lebih buruk pada pandangan Allah swt.
Lihatlah pesanan-pesanan Nabi kita Muhammad saw:
“Jika kamu mendengar seseorang berkata “semua orang rusak”, maka dialah orang yang paling rusak (HR Muslim)
“Cukuplah keburukan seseorang, kerana ia menghina saudaranya sesama muslim.” (HR Muslim)
Semoga Allah sentiasa menjaga kita dalam ketaatan kepadaNya.
Salah satu fikrah dakwah kita adalah “Salafiyah” yang menuntut kita untuk meneladani pendahulu-pendahulu kita yang soleh dalam sifat rendah diri mereka. Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak merasa lebih ‘senior’ betapapun mereka lebih dahulu beramal dan aktiviti jihad mereka lebih banyak.
Kepimpinan Nabi Muhammad saw memberikan keteladanan kepada umatnya dalam sikap tawadhu’, sebagaimana berita yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata :
“Meskipun (kita tahu) bahwa para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah, namun mereka tidak pernah berdiri menyambut kedatangan Rasulullah saw, kerana mereka tahu bahwa hal itu tidak disenangi Nabi saw.” (HR Tirmizi)
Siapa yang tidak mengenal Abdur Rahman bin Auf yang sangat disegani di kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuatkan dirinya suka meninggi diri walaupun terhadap pelayannya sekalipun.
Hal ini dikisahkan oleh sahabat Abu Darda’ :
“…..Abdur Rahman bin Auf sukar dibezakan dengan pelayannya kerana tidak nampak perbezaan mereka dalam bentuk lahiriyahnya”.
Peribahasa yang jelas menggambarkan kedudukan di atas adalah :
“Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
Demikian pula kehebatan Imam Hasan Al Basri dalam ilmu agama tidak dapat memperdayakan dirinya menjadi seorang yang merasa lebih tahu atau merasa lebih hebat di hadapan teman-temannya.
Suatu ketika Hasan Al Basri berjalan dengan beberapa orang, orang-orang itu berjalan pada posisi di belakang beliau, maka Hasan Al Basripun mencegah mereka (melakukan itu), seraya berkata: “Tidak benar hal ini dilakukan setiap hamba Allah?”.
Seorang Tabi’in bernama Sufyan ats-Tsauri ternyata benar-benar teruji sifat tawadhu’nya.
Ketika beliau berkunjung ke Ramallah (di Palestin), Ibrahim bin Adham mengutus seseorang kepada Sufyan untuk meminta agar ia datang singgah ke rumahnya, seraya berkata : “Wahai Sufyan ke marilah untuk berbincang-bincang”.
Sufyan pun mendatangi Ibrahim.
Ketika Ibrahim ditegur seseorang, “Mengapa kamu berbuat demikian”.
Ibrahim menjawab : “Saya ingin menguji ke-tawadhu’-annya”.
Demikian pula jawatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mendabik dada “akulah orang besar”.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ra didatangi oleh seorang tetamu ketika ia sedang menulis.
Ketika lampu itu padam kerana terjatuh, tetamu itupun berkata :
“Biarkan aku ambil lampu itu untuk aku perbaiki!”
Khalifah Umar berkata :
“Tidak mulia seseorang yang menjadikan tetamunya sebagai pelayan”.
Tetamu itu berkata lagi :
“Atau saya minta bantuan anak-anak”.
Amirul Mukminin Umar berkata :
“Mereka baru sahaja tidur (jangan ganggu mereka)”.
Kemudian Khalifah pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil lampu itu dan memperbaikinya sendiri.
Tetamu itu kehairanan seraya berseru :
“Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukannya itu sendiri ?
Amirul Mukminin berkata :
“Ketika saya pergi, saya adalah Umar, ketika saya kembalipun saya adalah Umar, tidak kurang sedikitpun dari saya sebagai Umar. Sebaik-baik manusia adalah yang tawadhu’ di sisi Allah swt”.
Subhanallah!!!
Orang-orang yang berhimpun dalam ‘mahabbah’ dan keridhaan Allah swt sebenarnya telah membuang sifat sombong, merasa lebih tahu, senioriti apalagi kemasyhuran diri.
Hiasilah diri kita dengan tawadhu’, rendah diri, sentiasa merasa memerlukan tambahan ilmu, pengalaman dan merasa saling memerlukan dengan sesama saudara seperjuangan.
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, kerana sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembusi bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (QS al-Isra: 37-38)
Ya Allah, tetapkanlah kami di atas jalan dakwah yang lurus ini yang menawarkan berbagai kenikmatan, menerangi kegelapan serta mempertemukan saudara seperjuangan di bawah payung iman. Jauhkanlah kami dari sifat takabur, merasa sombong dan mengharapkan pujian dan kemasyhuran makhluk.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS