Salah satu fitnah zaman moden
dewasa ini ialah merebaknya ideologi “materialisma”
atau kebendaan.
Ideologi ini berdasarkan
gagasan bahwa material iaitu harta atau kekayaan merupakan kayu ukur mulia atau
tidaknya seseorang.
Semakin kaya seseorang bererti ia dipandang
sebagai orang mulia dan semakin sedikit material atau harta yang dimilikinya
bererti ia dipandang sebagai seorang yang hina dan tidak patut dihormati.
Maka di dalam sebuah masyarakat yang telah
diwarnai oleh kebendaan, setiap anggota masyarakat akan berlumba-lumba
mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan apa cara sekalipun samada dengan
jalan halal, syubhah ataupun haram.
Dalam sebuah masyarakat yang berideologi kebendaan,
semua orang menjadi sangat irihati dan bercita-cita menjadi kaya setiap kali
melihat ada orang berlimpah ruah harta bendanya di dalam kehidupan mereka.
Keadaan ini persis sebagaimana
masyarakat Mesir di zaman hidupnya seorang tokoh yang kaya raya bernama Qarun
yang digambarkan di dalam Al-Qur’an :
”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam
kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:
"Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada
Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".(QS
Al-Qashshash : 79)
Zaman kita dewasa inipun keadaannya agak mirip
dengan zaman Qarun tersebut.
Berbagai kemewahan
dari tokoh-tokoh yang kaya terdiri dari penguasa, ahli politik, ahli
perniagaan, artis, jaguh sukan dan lain-lain dipertontonkan di televisyen dan
media massa lainnya sehingga masyarakat berasa kagum dan tentunya menjadi
irihati dan bercita-cita ingin menjadi hartawan seperti mereka pula.
Sebegitu kuatnya cita-cita tersebut sehingga
kadang-kadang muncullah berbagai peristiwa dan aktiviti yang mengerikan di
tengah-tengah masyarakat kita dek kerana mengejar kebendaan seperti perdagangan
bayi, pengedaran dadah, penjualan organ tubuh, pelacuran, rasuah, pencurian,
rompakan dan lain-lainnya.
Semua itu dilakukan kerana terbuai dengan mimpi
ingin secara spontan menjadi seorang yang kaya.
Bardasarkan suasana ini, amat patutlah apabila
Rasulullah saw mengajarkan kita suatu prinsip yang penting dalam hal untuk
menghindari berkembangnya kemungkinan faham kebendaan di tengah masyarakat.
Nabi saw justeru mengajarkan umat Islam agar
sentiasa rajin memandang kepada kalangan yang kurang beruntung secara
material daripada diri kita sendiri. Perkara ini diharapkan akan menumbuhkan
rasa syukur dan ridha di atas pemberian Allah swt.
“Pandanglah
orang yang lebih rendah daripada kamu dan janganlah memandang orang yang di
atas kamu. Maka yang demikian itu lebih layak untuk dilakukan agar kamu tidak
menganggap remeh akan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kamu.” (HR
Muslim)
Betapa dalamnya pesanan Nabi saw di atas. Andaikata setiap kita
berpegang teguh kepada prinsip di atas, niscaya masyarakat akan terhindar dari
ideologi kebendaan.
Tidak mungkin akan muncul suatu anggapan bahwa
harta merupakan kayu ukur kemuliaan seseorang. Setiap orang akan sentiasa rajin
mensyukuri segenap kurniaan Allah yang telah diterimanya.
Islam mengajarkan bahwa kayu ukur kemuliaan sejati
ialah taqwa seseorang kepada Allah swt :
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu”. (QS
Al-Hujurat :13)
Allah tidak pernah berfirman:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling berharta di antara kamu”.
Tidak...! Allah secara tegas menyatakan bahwa
taqwa merupakan kayu pengukur samada mulia
atau hinanya seseorang di sisi Allah.
Semakin bertaqwa seseorang bermakna semakin mulia
dirinya di sisi Allah dan sebaliknya semakin tidak bertaqwa seseorang bermakna
semakin hinalah dirinya di sisi Allah Yang Maha Mulia dan perkara ini tidak
berkaitan dengan banyak atau sedikitnya harta yang dimiliki oleh orang
tersebut.
Boleh jadi seseorang itu berharta sedikit atau
banyak, asalkan ketaqwaannya kepada Allah memang tinggi, bererti mulialah
dirinya di sisi Allah.
Sebaliknya, berapapun
kekayaan atau kemisikinan seseorang, apabila ketaqwaannya kepada Allah sangat
tipis, apalagi tidak ada sama sekali, bererti orang tersebut hina di dalam
pandangan Allah.
Taqwa merupakan timbangan sebenar samada bernilai
atau tidaknya seseorang dalam pandangan Allah yang Maha Tahu dan Maha Teliti
PengetahuanNya.
Maka hadits riwayat Imam Muslim di atas sudah
semestinya menjadi pegangan seorang yang beriman.
Hendaklah jelas kepada kita apabila menyangkut
urusan harta dan kekayaan, seorang muslim janganlah memandang silau kepada
orang yang berada di atas dirinya. Tapi sepatutnya ia sibuk memandang mereka
yang lebih rendah daripada dirinya sehingga rasa syukur dan ridha akan
pemberian Allah sentiasa terpelihara di dalam dirinya.
Bila ia sibuk memandang kepada mereka yang lebih
kaya daripada dirinya, niscaya yang muncul adalah keluhan dan ketidakpuasan
akan pemberian Allah kepada dirinya.
Maka di zaman Qarun hidup, ada sebahagian
masyarakat Mesir yang tetap bersikap benar dalam memandang Qarun.
Mereka inilah yang disebut oleh Allah di dalam
Al-Qur’an sebagai orang-orang yang berilmu dan mereka sangat faham akan hakikat
kemuliaan dan kehinaan di dalam kehidupan fana ini.
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:
"Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan tidak diperolehi pahala itu
kecuali oleh orang-orang yang sabar".(QS Al-Qashshash : 80)
Orang-orang yang berilmu sangat sedar bahwa pahala
dari Allah kerana iman dan amal soleh seseorang jauh lebih utama dan berharga
daripada sekadar harta dan kekayaan duniawi seperti yang dikumpulkan oleh
seorang Qarun.
Itulah sebabnya tatkala pada akhirnya, Allah
mencabut hak kekayaan Qarun dengan mendatangkan bencana yang menghancurkan
segenap kekayaan dan diri Qarun, kemudian barulah orang awam yang jahil (bodoh)
atau sempit wawasan itu memahami dan menyedari betapa bodohnya diri mereka
kerana tergiur menginginkan seperti yang dimiliki oleh Qarun.
“Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke
dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap
azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
(dirinya). Dan jadilah orang-orang yang kelmarin
mencita-citakan kedudukan Qarun itu. berkata: "Aduhai. benarlah Allah
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba- Nya dan
menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan kurnia-Nya atas kita benar-benar
Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang
yang mengingkari (nikmat Allah)". (QS Al-Qashshash : 81-82)
Peribadi Qarun dan sesiapapun yang memiliki mental
dan sikap seperti dia adalah peribadi yang mengingkari
nikmat Allah.
Mereka menyangka bahwa kekayaan yang mereka
kumpulkan merupakan hasil prestasi dirinya dan tidak ada kaitan dengan Allah
yang Maha Menentukan pembahagian rezeki manusia.
Mereka tidak pernah besyukur kepada Allah akan
rezeki yang diterima dan mereka tidak pernah memohon rezeki kepada Allah ketika
dirinya sedang mengalami kesulitan rezeki.
Mereka hanya bersandarkan kepada kemampuan diri
mereka sendiri dalam urusan material. Mereka inilah kaum yang berideologi kebendaan.
Sungguh, materialisma adalah satu ideologi yang
sama sekali tidak sama dengan Islam dan bersyukurlah kita orang yang beriman
yang memiliki iman dan Islam sebagai pegangan hidup.
Saiyyidina
Utsman bin `Affan ra berkata :
"Mencintai dunia itu kegelapan hati dan mencintai akhirat adalah cahaya hati."
Memang dunia yang kita huni sekarang ini penuh dengan tarikan yang menakjubkan.
Oleh kerana itu manusia cenderung memburunya sampai ke tingkat :
a. Gelap mata.
b. Gelap hati.
Rasulullah saw bersabda :
"Dunia itu manis lagi hijau."
Demikianlah Rasulullah saw melukiskan tentang kenikmatan dan keindahan dunia yang menjadi fokus pemburuan para penganut faham kebendaan.
Menurut Imam Al Ghazali, pesona dunia itu telah :
1. Menyibukkan hati manusia.
2. Menyibukkan fizikal manusia.
Menyibukkan hati di sini berlaku disebabkan pesonanya yang dapat menarik cinta dan curahan perhatian hati sehingga tidak sedikit orang yang menjadi mabuk kerananya.
Menyibukkan fizikal kita dengan benda-benda dunia itu memerlukan pengolahan dan pengelolaan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan orang lain. Tidak sedikit orang yang terbius oleh pesonanya sehingga ia melalaikan akhiratnya.
Keterbiusan itulah yang menjadi penyebab perjalanan hidup seseorang itu terjerumus ke dalam kegelapan sehingga orang yang memburunya cenderung untuk tidak mengindahkan norma dan tatacara yang benar sehingga menyebabkan dirinya tenggelam dalam lumpur kehinaan.
Keterbiusan itu pula yang menjadi salah satu kekhuatiran Rasulullah saw sehubungan dengan melimpahnya gemerlapan dunia di kalangan umat Islam.
"Aku tidak khuatir kemelaratan menimpa kamu. Tetapi yang aku khuatirkan ialah bila kemewahan dunia menimpamu sebagaimana orang-orang yang sebelum kamu ditimpa kemewahan dunia. Lalu kamu berlumba-lumba (dengan kemewahan) dan kamu binasa seperti mereka." (HR Muslim)
Agar kita tidak terbius dengan harta sehingga menggelapkan hati, Rasulullah saw mengingatkan kita untuk memperhatikan proses untuk mendapatkannya kerana tidak sedikit orang yang begitu cintanya kepada dunia hingga ia tidak peduli terhadap proses dan segala implikasi kecintaannya itu terhadap :
a. Situasi kemanusiaannya.
b. Langkah-langkah perjalanannya.
c. Akhir perjalanan hidupnya.
Rasulullah saw bersabda :
"Dunia itu manis lagi hijau. Siapa yang memperolehi harta dari usaha halalnya lalu membelanjakannya sesuai dengan hak-haknya, maka Allah akan memberinya pahala dari nafkahnya itu, dan Dia akan memasukkannya ke dalam syurgaNya. Siapa yang memperolehi hartanya dari jalan haram lalu ia membelanjakannya bukan pada hak-haknya, maka Allah akan menjerumuskannya ke dalam tempat yang menghinakan (neraka)." (HR Al-Baihaqi)
Oleh kerana pesona dunia itu amat berpengaruh, maka seseorang itu cenderung lupa akan bahaya yang sentiasa mengintai di sebalik pesona yang tersembunyi di medan pemburuannya. Ia juga lupa bahwa di sebalik gemerlapan dan keindahan dunia itu, terkandung tanggungjawab yang akan ditanya di hari akhirat nanti.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengingatkan tentang bahaya yang terdapat di medan pemburuan harta duniawi.
"Memburu harta bagaikan berburu binatang di hutan rimba yang penuh dengan binatang buas atau berenang di lautan yang penuh buaya."
Orang-orang yang tenggelam dalam kecintaan dunia, mata hatinya menjadi gelap, tidak peduli dengan bahaya yang mengancamnya. Ia melihat segala sesuatu dengan mata nafsunya yang menyebabkan mata hatinya diselubungi noda-noda hitam yang pekat sehingga tidak dapat membezakan antara :
1. Petunjuk dan kesesatan.
2. Bid'ah dan sunnah.
3. Ma'ruf dan yang munkar.
Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang diserang krisis persepsi sehingga pandangan dan persepsinya menjadi tonggang terbalik.
Mereka memandang kebaikan sebagai kejahatan dan kejahatan sebagai kebaikan. Akibatnya hati mereka terus-menerus ditimbuni noda-noda hitam yang menjadi tanah subur bagi pembiakan fitnah hati. Noda-noda hitam inilah yang melumpuhkan fungsi mata hati hingga tidak mampu melihat.
Sebaliknya, meyakini dan mencintai kehidupan akhirat menjadikan hati seseorang itu jernih dan bercahaya.
Imam Ibnu Atha'illah Al-Sakandari dalam kata-kata hikmahnya mengatakan :
"Allah telah menerangi alam-alam lahiriah ini dengan pengaruh cahaya (atsar) bekas-bekas sifat-sifatNya, dan Dia telah menerangi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati dengan cahaya sifat-sifatNya itu.
Oleh kerana itu, cahaya-cahaya lahiriyah boleh hilang dan lenyap sedangkan cahaya-cahaya hati dan rahsia-rahsianya tidak mungkin hilang dan padam.
"Mencintai dunia itu kegelapan hati dan mencintai akhirat adalah cahaya hati."
Memang dunia yang kita huni sekarang ini penuh dengan tarikan yang menakjubkan.
Oleh kerana itu manusia cenderung memburunya sampai ke tingkat :
a. Gelap mata.
b. Gelap hati.
Rasulullah saw bersabda :
"Dunia itu manis lagi hijau."
Demikianlah Rasulullah saw melukiskan tentang kenikmatan dan keindahan dunia yang menjadi fokus pemburuan para penganut faham kebendaan.
Menurut Imam Al Ghazali, pesona dunia itu telah :
1. Menyibukkan hati manusia.
2. Menyibukkan fizikal manusia.
Menyibukkan hati di sini berlaku disebabkan pesonanya yang dapat menarik cinta dan curahan perhatian hati sehingga tidak sedikit orang yang menjadi mabuk kerananya.
Menyibukkan fizikal kita dengan benda-benda dunia itu memerlukan pengolahan dan pengelolaan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan orang lain. Tidak sedikit orang yang terbius oleh pesonanya sehingga ia melalaikan akhiratnya.
Keterbiusan itulah yang menjadi penyebab perjalanan hidup seseorang itu terjerumus ke dalam kegelapan sehingga orang yang memburunya cenderung untuk tidak mengindahkan norma dan tatacara yang benar sehingga menyebabkan dirinya tenggelam dalam lumpur kehinaan.
Keterbiusan itu pula yang menjadi salah satu kekhuatiran Rasulullah saw sehubungan dengan melimpahnya gemerlapan dunia di kalangan umat Islam.
"Aku tidak khuatir kemelaratan menimpa kamu. Tetapi yang aku khuatirkan ialah bila kemewahan dunia menimpamu sebagaimana orang-orang yang sebelum kamu ditimpa kemewahan dunia. Lalu kamu berlumba-lumba (dengan kemewahan) dan kamu binasa seperti mereka." (HR Muslim)
Agar kita tidak terbius dengan harta sehingga menggelapkan hati, Rasulullah saw mengingatkan kita untuk memperhatikan proses untuk mendapatkannya kerana tidak sedikit orang yang begitu cintanya kepada dunia hingga ia tidak peduli terhadap proses dan segala implikasi kecintaannya itu terhadap :
a. Situasi kemanusiaannya.
b. Langkah-langkah perjalanannya.
c. Akhir perjalanan hidupnya.
Rasulullah saw bersabda :
"Dunia itu manis lagi hijau. Siapa yang memperolehi harta dari usaha halalnya lalu membelanjakannya sesuai dengan hak-haknya, maka Allah akan memberinya pahala dari nafkahnya itu, dan Dia akan memasukkannya ke dalam syurgaNya. Siapa yang memperolehi hartanya dari jalan haram lalu ia membelanjakannya bukan pada hak-haknya, maka Allah akan menjerumuskannya ke dalam tempat yang menghinakan (neraka)." (HR Al-Baihaqi)
Oleh kerana pesona dunia itu amat berpengaruh, maka seseorang itu cenderung lupa akan bahaya yang sentiasa mengintai di sebalik pesona yang tersembunyi di medan pemburuannya. Ia juga lupa bahwa di sebalik gemerlapan dan keindahan dunia itu, terkandung tanggungjawab yang akan ditanya di hari akhirat nanti.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengingatkan tentang bahaya yang terdapat di medan pemburuan harta duniawi.
"Memburu harta bagaikan berburu binatang di hutan rimba yang penuh dengan binatang buas atau berenang di lautan yang penuh buaya."
Orang-orang yang tenggelam dalam kecintaan dunia, mata hatinya menjadi gelap, tidak peduli dengan bahaya yang mengancamnya. Ia melihat segala sesuatu dengan mata nafsunya yang menyebabkan mata hatinya diselubungi noda-noda hitam yang pekat sehingga tidak dapat membezakan antara :
1. Petunjuk dan kesesatan.
2. Bid'ah dan sunnah.
3. Ma'ruf dan yang munkar.
Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang diserang krisis persepsi sehingga pandangan dan persepsinya menjadi tonggang terbalik.
Mereka memandang kebaikan sebagai kejahatan dan kejahatan sebagai kebaikan. Akibatnya hati mereka terus-menerus ditimbuni noda-noda hitam yang menjadi tanah subur bagi pembiakan fitnah hati. Noda-noda hitam inilah yang melumpuhkan fungsi mata hati hingga tidak mampu melihat.
Sebaliknya, meyakini dan mencintai kehidupan akhirat menjadikan hati seseorang itu jernih dan bercahaya.
Imam Ibnu Atha'illah Al-Sakandari dalam kata-kata hikmahnya mengatakan :
"Allah telah menerangi alam-alam lahiriah ini dengan pengaruh cahaya (atsar) bekas-bekas sifat-sifatNya, dan Dia telah menerangi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati dengan cahaya sifat-sifatNya itu.
Oleh kerana itu, cahaya-cahaya lahiriyah boleh hilang dan lenyap sedangkan cahaya-cahaya hati dan rahsia-rahsianya tidak mungkin hilang dan padam.
Oleh kerana itulah berkata seorang penyair
:
"Sesungguhnya matahari siang akan tenggelam di malam
hari, Dan matahari hati tidak akan hilang sampai abadi."
Oleh yang demikian, setiap diri seharusnya mampu menangkap cahaya-cahaya yang dapat mencerahkan hati agar sentiasa dapat menjejaki kehidupan dengan terang benderang.
Sesungguhnya hanya Allah swt yang berkenan memberikan cahaya hati kepada setiap manusia. Meskipun demikian, akal yang dianugerahkanNya kepada setiap manusia dapat dimanfaatkan manusia untuk merenung dan mentadabbur ayat-ayatNya sehingga ia memperolehi cahaya.
Tafakkur dan tadabbur akan menjadi pencucuh api hati nurani manusia sehingga bercahaya kerana hanya dengan tafakkur dan tadabbur, manusia mampu :
1. Menyusuri dan menghayati kewujudan dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya.
3. Tahu asal usulnya.
4. Ke mana ia akan kembali.
Dengan yang demikian, hatinya akan diterangi oleh suatu kesedaran penuh akan hak-hak yang mesti dia tunaikan.
Dia juga sedar dengan sungguh-sungguh bahwa hidup di dunia ini sebagai suatu pengembaraan yang sementara. Kelak di saat yang telah ditentukan, ia pasti akan kembali ke rumah asalnya di alam akhirat.
Untuk itu, ia mencintai tempat kembalinya yang abadi. Maka keyakinan dan cinta kepada akhirat adalah cahaya hati yang akan menyebar ke seluruh penjuru kalbu.
Abu Thalib Al-Makki dalam munajatnya memanjatkan sebuah doa agar diberi cahaya yang dapat menerangi hidupnya:
"Ya Allah, berilah aku :
1. Cahaya dalam kalbuku.
2. Cahaya dalam pusaraku.
3. Cahaya dalam pendengaranku.
4. Cahaya dalam pandanganku.
5. Cahaya dalam perasaanku.
6. Cahaya dalam semua jasadku.
7. Cahaya di depanku.
8. Cahaya di belakangku.
Berilah kepadaku, kumohon kepada-Mu :
1. Cahaya di tangan kananku.
2. Cahaya di tangan kiriku.
3. Cahaya di atasku.
4. Cahaya di bawahku.
Ya Allah, tambahlah cahaya dalam diriku dan siramilah aku dengan cahaya dan terangilah aku dengannya."
Bagi orang yang mencintai kehidupan akhirat, semua keraguan dan kebimbangan yang pernah singgah dalam hatinya akan musnah tanpa tersisa sedikitpun.
Yang tinggal hanyalah keyakinan dan cintanya kembali ke kampung akhirat nanti, menghadap Rabbnya dengan kalbu dan jiwa yang tenang serta meraih keridhaanNya.
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam syurgaKu." (QS Al Fajr : 27-30)
Ya Allah, kami cukup memahami bahwa ramai manusia yang mampu bertahan dengan ujian kesusahan dan kesukaran, namun tidak ramai yang mampu menghadapi ujian kesenangan dan melimpah ruahnya harta benda di mana kebanyakan manusia akan tenggelam di dalam lautan kelalaian yang akan memusnahkan cahaya di dalam hatinya dan dalam masa yang sama membiakkan fitnah yang akan melumpuhkan kekuatan mata hatinya. Berilah kekuatan supaya kami akan tetap mensyukuri nikmat-nikmatMu di dunia dan tidak lupa akan nikmatMu yang lebih besar di akhirat nanti.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS
Oleh yang demikian, setiap diri seharusnya mampu menangkap cahaya-cahaya yang dapat mencerahkan hati agar sentiasa dapat menjejaki kehidupan dengan terang benderang.
Sesungguhnya hanya Allah swt yang berkenan memberikan cahaya hati kepada setiap manusia. Meskipun demikian, akal yang dianugerahkanNya kepada setiap manusia dapat dimanfaatkan manusia untuk merenung dan mentadabbur ayat-ayatNya sehingga ia memperolehi cahaya.
Tafakkur dan tadabbur akan menjadi pencucuh api hati nurani manusia sehingga bercahaya kerana hanya dengan tafakkur dan tadabbur, manusia mampu :
1. Menyusuri dan menghayati kewujudan dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya.
3. Tahu asal usulnya.
4. Ke mana ia akan kembali.
Dengan yang demikian, hatinya akan diterangi oleh suatu kesedaran penuh akan hak-hak yang mesti dia tunaikan.
Dia juga sedar dengan sungguh-sungguh bahwa hidup di dunia ini sebagai suatu pengembaraan yang sementara. Kelak di saat yang telah ditentukan, ia pasti akan kembali ke rumah asalnya di alam akhirat.
Untuk itu, ia mencintai tempat kembalinya yang abadi. Maka keyakinan dan cinta kepada akhirat adalah cahaya hati yang akan menyebar ke seluruh penjuru kalbu.
Abu Thalib Al-Makki dalam munajatnya memanjatkan sebuah doa agar diberi cahaya yang dapat menerangi hidupnya:
"Ya Allah, berilah aku :
1. Cahaya dalam kalbuku.
2. Cahaya dalam pusaraku.
3. Cahaya dalam pendengaranku.
4. Cahaya dalam pandanganku.
5. Cahaya dalam perasaanku.
6. Cahaya dalam semua jasadku.
7. Cahaya di depanku.
8. Cahaya di belakangku.
Berilah kepadaku, kumohon kepada-Mu :
1. Cahaya di tangan kananku.
2. Cahaya di tangan kiriku.
3. Cahaya di atasku.
4. Cahaya di bawahku.
Ya Allah, tambahlah cahaya dalam diriku dan siramilah aku dengan cahaya dan terangilah aku dengannya."
Bagi orang yang mencintai kehidupan akhirat, semua keraguan dan kebimbangan yang pernah singgah dalam hatinya akan musnah tanpa tersisa sedikitpun.
Yang tinggal hanyalah keyakinan dan cintanya kembali ke kampung akhirat nanti, menghadap Rabbnya dengan kalbu dan jiwa yang tenang serta meraih keridhaanNya.
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam syurgaKu." (QS Al Fajr : 27-30)
Ya Allah, kami cukup memahami bahwa ramai manusia yang mampu bertahan dengan ujian kesusahan dan kesukaran, namun tidak ramai yang mampu menghadapi ujian kesenangan dan melimpah ruahnya harta benda di mana kebanyakan manusia akan tenggelam di dalam lautan kelalaian yang akan memusnahkan cahaya di dalam hatinya dan dalam masa yang sama membiakkan fitnah yang akan melumpuhkan kekuatan mata hatinya. Berilah kekuatan supaya kami akan tetap mensyukuri nikmat-nikmatMu di dunia dan tidak lupa akan nikmatMu yang lebih besar di akhirat nanti.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS