Ketahuilah bahwa ramai orang yang
kehilangan neraca kebenaran dalam memandang fenomena zahir sebagai pengaruh
iman, ibadah yang benar dan mujahadah.
Hasilnya, mereka terjerumus dalam
berbagai kekeliruan berbahaya yang mengancam keselamatan aqidah, konsep dan
perilaku mereka dalam hidup ini.
Akibat dari fahaman tersebut,
rosaklah ucapan, perbuatan dan jalan yang menghantarkan mereka kepada Allah dan
jadilah mereka golongan yang binasa.
Imam Hasan Al Banna menyebut usul
ketiga dari dua puluh usul yang terkandung dalam Rukun Faham (Al
Fahmu) seperti berikut :
“Iman
yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah adalah cahaya dan kelazatan yang
Allah percikkan ke dalam hati hamba-hambaNya yang Ia kehendaki. Akan tetapi
ilham, lintasan hati, kasyaf dan mimpi, itu semua tidak termasuk sumber hukum
syariat Islam dan tidak pula diperhitungkan (diperhatikan), kecuali dengan
syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”
Iman yang tulus
ialah iman yang merangkumi pengertian dan ciri-ciri keimanan, seperti bersih
dari syirik, ria dan kelemahan. Iman yang tulus akan meresap ke dalam hati dan
bertakhta di jiwa anggota zahir untuk melakukan taat kepada Allah dan menjadikan perkara-perkara
ghaib seolah-olah hadir di depan mata.
Ia akan
memenuhi jiwa dengan perasaan tenang, tabah dan tetap pendirian hingga :
- Memudahkan mereka yang mempunyai iman seperti
ini berkorban apa sahaja demi jalan
Allah.
- Menambahkan pergantungan, kepercayaan,
tawakkal, takut dan penyerahan mereka kepada Allah.
Apabila
pengertian iman yang seperti ini memenuhi hati seorang Muslim, jiwanya akan
ringan melakukan segala bentuk ibadah dan ikhlas kerana Allah semata-mata.
Ibadah dan iman yang seperti ini mempunyai pengaruh dan kesan yang besar dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
Kehidupan
akan dipenuhi dengan kebahagian,
kegembiraan dan ketenangan yang meresap ke seluruh dinding jiwa. Kegemilangan
yang sungguh indah dan cahaya yang terang akan memenuhi batin seorang Muslim.
Apabila
cahaya batin ini bertambah, sinarnya akan melimpah pada wajah seseorang Muslim;
sinar yang dapat dilihat pada wajah
orang-orang yang beriman walaupun kulit seorang Muslim itu hitam atau sawo matang.
Manakala di akhirat pula kemanisan iman ini akan dapat dirasakan lebih manis dari
madu.
Sebahagian
dari tanda-tanda zahir bagi kemanisan iman ialah kecintaan seorang Mukmin untuk
melakukan ibadah di mana mereka :
- Merasa selesa dan tenang melakukannya.
- Merasa rindu dan lapang dada terhadapnya.
Kita
jangan merasa pelik dan menganggap
bahawa perkara ini hanyalah khayalan semata-mata kerana iman mempunyai kelazatan
yang dapat dirasakan oleh roh sebagaimana lidah dapat merasakan kelazatan zat makanan.
Hadith
yang mulia telah menyebutkan :
“Jika terdapat tiga perkara ini pada
seseorang beliau akan merasakan kelazatan iman. Beliau mengasihi Allah dan
rasulnya lebih dari sesuatu. Beliau benci kembali kepada kekufuran, setelah
Allah melepaskan beliau darinya, sebagaimana beliau benci dicampakkan ke dalam
neraka. Beliau mengasihi seseorang bukan kerana sesuatu, tetapi hanyalah kerana
Allah”.
Iman
adalah kelazatan dan kelazatan ini akan bertambah apabila iman bertambah kuat
dan terpatri dengan kukuh di dalam jiwa manusia.
Syeikh
Abdullah Qasim Al-Wasyli mengungkapkan dalam syarahnya berkenaan usul diatas seperti
berikut :
PERTAMA : IMAN YANG TULUS
Iman yang tulus bererti :
- Mengikrarkan
dengan lisan.
- Membenarkan
dengan hati.
- Beramal
dengan anggota badan.
Imam Syafi’i dalam kitabnya ‘Al-Umm’
berkata :
“Kesepakatan
para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudah mereka yang kami ketahui,
mengatakan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan, dan niat, salah satu di antara
ketiganya tidak mencukupi kecuali dengan yang lain.”
Imam Ahmad berkata :
“Oleh
kerana itu, menurut “Ahlus Sunnah”,
ungkapan yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan termasuk
syiar-syiar Sunnah.”
Nash-nash Al-Quran dan hadits yang
menunjukkan pengertian di atas sangat banyak dan terkenal. Mereka sepakat bahwa
orang yang mengikrarkan keimanan dengan lisannya secara nyata, namun mendustakan
dengan hatinya, tidak termasuk seorang mukmin.
Orang seperti inilah yang disebut
munafik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya :
“Dan di antara sebahagian manusia
ada segolongan yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari
akhir." Padahal mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah : 8 )
Dalam firman-Nya yang lain, Allah
menjelaskan bahwa bagi mereka disediakan azab yang lebih berat daripada orang
yang jelas-jelas menentang (kufur), dengan memasukkan mereka pada tingkatan
neraka yang paling rendah :
“Sesungguhnya orang-orang munafik
berada pada tingkatan yang paling rendah dari neraka.” (QS An-Nisaa‘ : 145)
Para ulama’ sepakat bahwa pengakuan
dengan hati sahaja tidak cukup untuk merealisasikan makna iman. Oleh yang
demikian, pengakuan mestilah diikuti oleh ikrar dengan lisan.
Fir’aun dan kaum-nya mengakui
kebenaran Musa dan Harun as namun mereka adalah kafir.
Allah swt berfirman tentang
perkataan Musa kepada Fir’aun :
“Sesungguhnya kamu (Fir’aun) telah
mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu, kecuali Tuhan
Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata.” (QS Al-Isra’: 102)
Orang-orang Ahli Kitab dahulu
mengenal dan mengakui Nabi kita saw, namun mereka tidak beriman kepadanya.
Allah swt berfirman :
“Orang-orang yang telah Kami berikan
kitab kepadanya, mengenal-nya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenal anak-anak
mereka sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak beriman.” (QS Al-An’aam : 20)
Bahkan iblis juga mengenal Allah,
tetapi ia tetap menjadi pemimpin orang-orang kafir.
Para ulama’ sepakat bahwa apabila
seorang hamba telah membenarkan dengan hatinya dan mengikrarkan dengan
lisannya, namun menolak untuk beramal, maka ia termasuk orang yang durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya dan berhak mendapatkan ancaman siksa yang Allah sebutkan
dalam kitab suci-Nya dan diberitahukan oleh Rasul-Nya saw. Selain itu, ia juga
mendapat hukuman di dunia.
Tidak ada perbezaan pendapat di
kalangan ahlus sunnah bahwa dengan melihat rahmat dan janji Allah, iman yang
mencakupi pembenaran, pernyataan dan amal menjadikan seseorang masuk syurga dan
tidak kekal di neraka.
Sedangkan menurut pandangan hukum
dunia, iman adalah cukup dengan mengikrarkan dua kalimat syahadah. Siapa yang
mengikrarkan keduanya diperlakukanlah hukum dunia kepadanya. la dituntut untuk komitmen
dengan akibat-akibatnya, mendapat hak-haknya, dan ia tidak dihukum sebagai
kafir, kecuali apabila melakukan ucapan ataupun perbuatan yang merosak syahadahnya.
Prinsip ini berdasarkan kepada sabda
Rasulullah saw :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika mereka mahu
mengatakannya, ertinya mereka telah menjaga darah dan harta-harta mereka dari
(tindakan)ku kecuali dengan haknya.” (HR Muslim)
Jika kita telah memahami ini, maka
ketahuilah bahwa iman yang benar adalah mencakupi ketiga-tiga makna di atas
tanpa terpisah-pisah.
Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS Al-Hujurat : 15)
KEDUA : IBADAH YANG BENAR
Ibadah yang benar adalah buah dari keimanan yang benar.
Para ulama’ mendefinisikan bahwa
ibadah adalah sebuah perkataan yang mencakupi segala perkara yang dicintai dan
diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan zahir ataupun batin.
Ibadah adalah tujuan yang dicintai
dan diridhai Allah swt dan untuk itulah Allah menciptakan makhluk-Nya :
“Sesungguhnya Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku.” (QS Az-Zaariyat : 56)
Untuk tujuan itu pula Allah swt mengutus
rasul-rasul-Nya :
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus pada seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” (QS An-Nahl : 36)
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul pun sebelum kamu,. melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’: 25)
Allah menjadikan ibadah itu sebagai
sesuatu yang mesti dilakukan oleh Rasul-Nya sampai mati.
Allah swt berfirman :
“Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang
‘al-yaqin’ (kematian).” (QS Al-Hijr : 99)
Secara keseluruhannya, agama
termasuk ibadah berdasarkan hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim. Hanya, ibadah yang diperintahkan mencakupi dua makna sekaligus, iaitu
kerendahan dan kecintaan.
Ibadah mengandungi makna puncak
kehinaan dan kecintaan kepada Allah swt :
“Katakanlah, “Jika bapa-bapa,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS At-Taubah : 24)
Jika ibadah yang benar adalah ibadah
yang mencakupi makna-makna di atas, maka ibadah itu tidak benar dan tidak
diterima di sisi Allah apabila belum dilakukan oleh seseorang hamba sesuai
dengan syariat Allah.
Ini adalah kerana Allah tidak
menerima amal perbuatan mahupun ucapan, kecuali yang disyariatkan dan
diperintahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah swt tidak akan menerima
ibadah-ibadah baru yang diada-adakan oleh hamba-hamba-Nya.
Rasulullah saw bersabda :
“Barangsiapa membuat perkara-perkara yang baru
(yang tidak termasuk) dalam agama kami, maka ia tertolak.”
Dalam riwayat lain :
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak
ada dalam ajaran agama kami, maka ia tertolak.”
Dalam riwayat yang lain :
“Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah ‘dhalalah’ (sesat).
KETIGA
: MUJAHADAH
Ibadah yang benar tidak mungkin dapat
diwujudkan dan dicapai kecuali dengan “Mujahadatun nafs wal hawa.” (Bersungguh-sungguh
mengendalikan diri dan memerangi nafsu).
Allah swt berfirman :
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang yang
berbuat baik.” (QS
Al-’Ankabut : 69)
Orang yang memahami ayat ini secara seimbang,
tepat, mengetahui maknanya dan mengamalkannya akan memperolehi kebaikan yang
sangat banyak.
Rasulullah saw telah menjelaskan
hakikat mujahadah ini dengan sabdanya :
“Mujahid adalah seseorang yang berjihad melawan
diri dan hawa nafsunya.” (HR Ahmad)
Berjihad melawan diri adalah
mengarahkannya kepada perintah Allah dalam segala perkara, di antaranya
berjihad melawan syaitan dan hawa nafsu.
LANGKAH
PERTAMA :
Langkah pertama dalam mujahadah
adalah :
- Beriman
kepada Allah.
- Mengesakan-Nya.
- Mengakui
kerasulan Nabi Muhammad saw.
Dalam lingkungan Islam, kadang-kadang
orang tidak menyedari bahwa masalah ini termasuk dalam bab mujahadah, sehingga
ia tidak perlu menyebutnya.
Ini jelas satu kesalahan besar.
Sesuatu yang dianggap paling besar adalah jika seseorang mampu beralih dari
kekafiran menuju keimanan atau menyatakan imannya pada lingkungan yang
menentang iman dan merendahkan pemeluknya.
Allah swt berfirman :
“Dan barangsiapa beriman kepada
Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS At-Taghabun
: 11)
LANGKAH
KEDUA :
Langkah kedua adalah melaksanakan
kewajiban-kewajiban sesuai dengan waktunya, seperti: solat, puasa, zakat, haji,
nikah, bermuamalah dan lain-lain.
LANGKAH
KETIGA :
Langkah yang ketiga adalah secara
tertib menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti : solat, sedekah, puasa, haji,
doa, zikir dan membaca Qur’an.
LANGKAH
KEEMPAT :
Langkah keempat adalah mengendalikan
diri untuk sentiasa melaksanakan perkara-perkara yang bersifat ‘azimah
(ibadah-ibadah dalam bentuknya yang ideal) serta mentarbiyahkannya dengan
amal-amal berat yang bermanfaat seperti: khalwat (menyendiri), diam kecuali
dalam perkara-perkara yang mewajibkan berbicara, berjaga malam untuk beribadah,
solat, tilawah, zikir, lapar kerana melakukan puasa pada hari-hari yang disunnahkan
dan amal-amal lain yang disyariatkan.
LANGKAH
KELIMA :
Langkah kelima adalah perenungan terhadap
diri, hati, menyingkap penyakit-penyakit hati dan mengubatinya. Inilah langkah
terakhir dalam mujahadah, sekaligus merupakan salah satu hasilnya yang utama.
Dua langkah terakhir inilah yang
mendominasi pembahasan dan pembicaraan ramai kalangan tentang mujahadah.
Iman yang benar lagi sempurna,
ibadah yang sahih sesuai dengan petunjuk syara’ dan mujahadah yang terbingkai dengan
kaidah dan ajaran syara’ akan menghasilkan pengaruh besar yang nampak pada diri
manusia di dunia dan akhirat.
Ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Hasan Al-Banna di permulaan tadi iaitu
"…cahaya
dan kenikmatan yang Allah percikan ke dalam hati hamba-hambanya yang Ia
kehendaki".
Cahaya (nur) adalah perkara yang diisyaratkan
dalam firman Allah swt :
“Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya
itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-An’aam : 122)
Hakikat dan pengaruh iman telah
diungkapkan oleh Sayyid Qutb dalam tafsirnya :
“Seseorang
akan mendapati cahaya ini didalam hatinya, sehingga ia mendapatkan kejelasan
dalam segala urusan, hal dan kejadian.
- Mendapatkan kejelasan dalam jiwa dan niat-niatnya,
lintasan-lintasan hatinya, langkah serta geraknya.
- Mendapatkan kejelasan dalam segala hal yang berlaku di
sekitarnya, baik yang berupa sunnatullah, aktiviti-aktiviti manusia, niat
dan langkah-langkah mereka, yang nampak mahupun yang tersembunyi.
- Mendapatkan tafsir berbagai peristiwa dan sejarah dalam
jiwa dan akalnya serta dalam realiti kehidupan di sekitarnya, seakan-akan
ia membaca buku.
Seseorang
yang telah mendapatkan cahaya ini dalam hatinya akan mendapatkan kecemerlangan
dalam lintasan-lintasan hati, perasaan dan kemahuannya, sehingga ia pun
mendapatkan kenikmatan dan kesejukan dalam hati, suasana dan masa depannya.
Ia
akan mendapatkan kelembutan dan kemudahan dalam mengatur segala urusan dan
mengeluarkan keputusan serta dalam menghadapi mahupun melewati kejadian. Ia
akan mendapatkan ketenangan, kepercayaan dan keyakinan dalam segala situasi dan
bila-bila pun juga.”
Cahaya yang mempunyai pengaruh luas
dalam diri manusia dan menghasilkan banyak perkara yang menakjubkan yang terserlah
jelas dalam kehidupan seorang mukmin di mana kemungkinan terbentuknya telah :
- Ditunjukkan
oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
- Dinyatakan
oleh para ulama’.
- Didukung
oleh kejadian-kejadian yang nyata.
Oleh kerana itu, Imam Hasan Al-Banna
rahimahullah menyebutkannya dalam usul ini sebagai pengakuan akan kebenarannya,
sekaligus memberi bingkai syar’ie agar orang-orang tidak mendapatkan pencerahan
dari sumber-sumbernya yang hanya melalui bisikan nafsu dan inspirasi syaitan
yang melampaui batas.
Ya Allah, kurniakanlah kepada kami iman
yang tulus yang akan menjadikan kami golongan manusia yang melaksanakan ibadah
yang benar. Berilah kekuatan kepada kami supaya kami sentiasa mampu
bermujahadah terhadap diri kami sehingga Engkau bukakan jalan-jalan yang
memudahkan kami menuju ke hadhratMu.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS