Ada dua persoalan yang penting dalam perjalanan ruhani menuju Allah iaitu :
1. Mengalami secara langsung (At Tahaqquq).
2. Merasakan kelazatan (At Tadzawwuq).
Perjalanan ini mestilah selaras dengan suasana merasakan lazatnya hakikat Islam, Iman, Taqwa, Ihsan dan Syukur.
Jiwa semestinya hendaklah sentiasa disucikan, hati hendaklah sentiasa memancarkan cahaya dan ruh amat tahu serta kenal akan Tuhannya iaitu Allah dan berserah diri kepadaNya.
Dengan kata lain, penghambaan diri yang ikhlas terhadap Allah merupakan tujuan yang paling tinggi bagi orang-orang yang benar(As Shiddiqin).Inilah maqam yang paling tinggi. Itulah sifat Rasulullah saw yang lazim dan paling tinggi.
Inilah cita-cita dan tujuan penempuh jalan menuju Allah di mana ia akan menggembirakannya kerana ia merupakan bukti atau petanda dari keutamaan Allah dan khabar gembira tentang penerimaannya.
“Katakanlah, ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka gembira.Kurnia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus : 58)
Kadang-kadang penempuh jalan menuju Allah mendapat ilham, lintasan hati, kasyaf (tersingkapnya tirai), mimpi dan kadang-kadang nampak pada dirinya sebuah karamah. Itu semua bukanlah tujuan dari seorang penempuh jalan (As Salik) melainkan ia digembirakan dengan itu semua kerana itu tidak lain hanyalah petanda dari kemakbulan atau merupakan khabar gembira tentang suatu perkara bagi penempuh jalan tersebut.
Perlu difahami bahwa tujuan akhir dari perjalanan tersebut adalah ridha Allah (wajhullah).
Allah swt berfirman :
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaanNya….” (QS Al Kahfi : 28)
Oleh sebab itu, Imam Hasan Al Banna mengatakan dalam usul ketiga dari usul dua puluh iaitu :
“Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf dan mimpi, itu semua tidak termasuk sumber hukum syariat Islam dan tidak pula diperhitungkan (diperhatikan), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”
Beliau menerangkan bahwasanya ilham, lintasan hati, kasyaf dan mimpi merupakan perkara-perkara yang thabit yang tidak boleh ditolak secara keseluruhannya. Meskipun demikian, ia bukanlah tergolong dari dalil-dalil hukum yang tersendiri kerana di sana berlaku kesangsian dan banyak bercampur dengan sangkaan-sangkaan. Oleh itu, ia tidak boleh dipegang.
Sekiranya dikatakan :Apakah faedah kewujudannya?
Maka dijawab :
“Diterima, sekiranya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan menguatkan kesahihan yang merupakan cahaya di atas cahaya.”
Hakikat ini telah dinyatakan oleh Imam Hasan Al Banna yang mana ianya bertepatan dengan Al Qur’an dan Sunnah rasulnya serta ditegaskan oleh ulama’ seperti Ibnu Taimiyah yang berkata :
“Mimpi semata-mata yang tidak ada dalil terhadap kesahihannya tidak menthabitkan sesuatu perkara dengan kesepakatan ulama’.”
Agar kebenaran dalam masalah ini menjadi jelas, ia memerlukan keterangan dan penjelasan seperti berikut :
PERTAMA : ILHAM
Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.la merupakan salah satu jenis wahyu yang Allah khususkan bagi siapa sahaja di antara hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
Allah swt berfirman :
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.”(QS Asy-Syams : 7-8)
Rasulullah saw berdoa :
“Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kebenaran dan lindungilah aku dari keburukan jiwaku.”(HR Tirmidzi).
Ilham lebih umum daripada ‘tahdits’ kerana ilham berlaku umum bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkatan imannya.Setiap mukmin mendapatkan ilham kebenaran dari Allah swt sesuai dengan tingkatan keimanannya.
Adapun‘tahdits’, Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sabdanya :
“Jika ada orang yang ‘muhadats’ dari umatku, maka Umar-lah orangnya.”(HR Bukhari dan Muslim)
Bentuk ilham yang banyak dikenali, antara lain berupa pesanan yang diberikan ke dalam hati seorang mukmin, melalui pembicaraan malaikat dengan ruhnya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda :
“Sesungguhnya malaikat mempunyai hasrat di hati anak Adam, demikian juga syaitan.Hasrat malaikat berupa ajakan untuk kebaikan dan membenarkan ancaman Allah swt, sedangkan hasrat syaitan adalah ajakan untuk melakukan kejahatan dan mendustakan janji Allah, – kemudian baginda membaca firman Allah -“Syaitan itu menjanjikan kefaqiran kepadamu dan memerintahkan perbuatan yang keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan anugerah kepadamu.”(HR Tirmidzi)
Allah swt berfirman :
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “ Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (QS Al-Anfal : 12)
Sebebagian ulama’ menafsirkan ayat ini dengan :
"Wahai malaikat kuatkanlah hati orang-orang yanng beriman dan berilah khabar gembira kepada mereka dengan kemenangan.”
Sebahagian yang lain mengatakan :
“Hadirlah wahai malaikat bersama orang-orang mukmin di medan perang.”
Kedua penafsiran itu sama-sama benar, kerana malaikat memang hadir bersama orang-orang mukmin di medan perang dan meneguhkan hatimereka.
Termasuk kategori pesanan ini adalah nasihat yang diberikan oleh Allah swtkepada hati hamba-hambanya yang mukmin, sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah hadits :
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan berupa sebuah jalan yang lurus.Pada kedua sisi jalan tersebut terdapat dua dinding yang masing-masing mempunyai pintu yang terbuka.Pada masing-masing pintu terdapat tirai, ada penyeru di hujung jalan, dan ada pula penyeru di atas jalan.Jalan yang lurus adalah Islam, kedua dindingnya adalah batas-batas Allah, dan pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak adaseorang pun yang melanggar suatu batas di antara batas-batas Allah, kecuali bila ia menyingkap tirai itu. Penyeru yang berada pada hujung jalan adalah Kitabullah, sedangkan penyeru yang berada di atas jalan adalah penasihat dari Allah dalam hati orang yang beriman.”(HR Tirmidzi dan Ahmad)
Penasihat yang ada dalam hati orang-orang yang beriman itulah ilham Ilahi dengan perantaraan malaikat.
Termasuk ilham adalah firasat, iaitu cahaya yang Allah berikan ke dalam untuk membezakan :
a. Antara haq dan batil.
b. Antara yang jujur dan dusta.
Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi ‘mutawasimin’ (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda).”(QS Al-Hijr : 75)
Menurut Mujahid, yang dimaksudkan dengan‘mutawasimin’ adalah ‘mutafarisin’ (orang-orang yang diberi firasat).
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Sa’id ra dari Nabi saw bahwa bagindasaw bersabda :
“Takutlah kamu kepada firasat orang mukmin, keranaia memandang dengan cahaya Allah Azza wa Jalla.
Kemudian bagindasaw membaca :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi ‘mutawasimin’ (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)."(QS Al-Hijr : 75)
Firasat ada tiga jenis :
1. ‘Firasat Imaniyah’,iaitu firasat orang-orang yang beriman. Jenis ini sentiasa tegak di atas kebenaran.
2. ‘Firasat Riyadhiyah’, ialah firasat yang dihasilkan melalui lapar, berjaga malam dan menyendiri. Demikian itu berlaku kerana jiwa terbebas dari penghalang-penghalangnya, maka firasat dan kasyaf akan diperolehi sesuai dengan tingkatan kebebasan-nya dari penghalang tersebut.
3. ‘Firasat Khalqiyah’, ialah firasat yang para doktor menulis tentangnya. Mereka mencuba untuk menghubungkan antara sifat-sifat fizikal dengan sifat-sifat psikologi kerana memang ada kaitan yang dikehendaki hikmahnya oleh Allah.
Dua jenis firasat yang terakhir ini boleh dimiliki oleh siapa sahaja, baik mukmin mahupun kafir, tidak menunjukkan keimanan dan kewalian, serta tidak menyingkap tentang kebenaran yang bermanfaat mahupun jalan yang lurus.
KEDUA : KHAWATHIR (LINTASAN HATI)
‘Khawathir’ adalah jamak dari ‘khatir’ iaitu sesuatu yang terlintas dalam hati berupa rancangan atau perintah. Apabila baik, maka itu merupakan bahagian dari cahaya dan pengaruh iman, serta petunjuk adanya taufik dari Allah. Namun apabila sebaliknya, maka ia merupakan tipu daya dan bisikan syaitan, sebagaimana disebutkan dalam hadits sujud sahwi :
“Hingga syaitan melintas antara seseorang dan hatinya.”
Begitu juga dalam hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
“Ketika Nabi berdiri untuk melaksanakan solat, tiba-tiba melintas suatu lintasan dalam hatinya.Maka orang-orang munafik pun memberi komentar bahwa beliau mempunyai dua hati.”
KETIGA : KASYAF
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :
"Mukasyafah yang benar adalah ilmu-ilmu yang Allah munculkan di hati hamba-Nya. Dengan ilmu itu Allah swt memperlihatkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi bagi orang lain. Kadang-kadang Allah swt membantu seseorang untuk memilikinya, tapi kadang-kadang menghalanginya dengan membuatnya lupa dan menyembunyikannya dari orang itu dengan kabut yang membuat hatinya keras, itulah setipis-tipis penghalang. Dengan mendung yang lebih tebal dari kabut, atau dengan tutupan yang menjadi penghalang paling tebal.”
Penghalang paling tipis kadang-kadang dialami oleh para nabi as sebagaimana sabda Nabi saw :
“Sesungguhnya hatiku berkabut dan sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari.” (HR Muslim)
Penghalang yang berupa mendung berlaku pada orang-orang mukmin.
Allah swt berfirman :
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”(QS Al-Muthaffifin: 14)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia adalah dosa dan dosa menutupi hati hingga menjadi tertutup seluruhnya.
Kasyaf yang benar adalah jika seorang Muslim mengetahui kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw dan diturunkan dalam kitab-kitab suci secara jelas dalam hatinya. Kemudian ia dedikasikan kehendak hatinya kepadanya dan sentiasa bersamanya dalam segala keadaan.
Inilah kesimpulan yang benar dan jika ia bukan demikian maka itu adalah tipuan yang buruk. Demikian itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan mukasyafat hati di mana salah satu sumber kasyaf ialah ketika hati jernih, berjalan di atas jalan yang lurus serta menjauhi bid’ah dan kesesatan.
Adapun kasyaf penglihatan dan pendengaran, yang dimaksudkan oleh Imam Hasan Al-Banna dalam usul ini, Ibnul Qayyim rahimahullah telah mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis:
a. Kasyaf ‘rahmani’, yang khusus bagi orang-orang yang beriman.
b. Kasyaf ‘nafsani’.
c. Kasyaf ‘syaithani’.
Adapun ‘Kasyaf juz’ie’ iaitu yang dapat dimiliki oleh orang-orang mukmin dan juga orang-orang kafir, begitu juga oleh orang-orang baik mahupun orang-orang jahat, seperti mengetahui :
1. Apa yang ada di rumah seseorang.
2. Tongkat di tangannya.
3. Apa yang ada di bawah pakaiannya.
4. Jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan isterinya.
Adapun yang tidak terlihat oleh seorang hamba berupa perkara-perkara yang sangat jauh, kadang-kadang berasal dari syaitan atau dari dirinya sendiri dan oleh kerana itulah, maka hal itu boleh berlaku kepada orang-orang kafir, seperti orang-orang yang melakukan kemaksiatan, penyembah api dan penyembah salib.
Ibnu Shayyad dapat mengetahui apa yang disembunyikan oleh Nabi, kemudian Rasulullah saw berkata kepadanya :
"Engkau ini hanyalah sebahagian dari teman para dukun."
Nabi menerangkan bahwa kasyaf yang dimiliki oleh Ibnu Shayyad itu termasuk kasyaf perdukunan dan hal itu sesuatu yang mungkin.
Demikian pula dengan Musailamah Al-Kadzab, betapapun kekafiran yang dilakukannya, ia mampu menceritakan kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka di rumahnya dan apa yang dikatakannya kepada isterinya.Syaitanlah yang memberikan khabar kepadanya, untuk menyesatkan manusia.
Demikian pula Al-Aswad Al-Unsi dan Harits Al-Mutanabbi yang memberontak pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, serta orang-orang seperti mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Kita telah mengetahui dan orang-orang juga telah menyaksikan kasyaf dari para pendita penyembah salib.
Contoh ‘Kasyaf rahmani’ adalah kasyaf dari Abu Bakar ra, ketika beliau berkata kepada Aisyah ra bahwa sesungguhnya isterinya mengandung janin perempuan.
Kasyaf Umar ra ketika beliau berkata :
“Wahai pasukan naiklah ke gunung.”
Kasyaf-kasyaf ini termasuk kasyaf para wali Allah.
Kesimpulannya, Syeikh Said Hawwa menjelaskan bahwa kasyaf adalah sesuatu yang mungkin berlaku di mana orang-orang yang melakukan perjalanan kerohanian menuju Allah dapat mencapainya.
Ia merupakan salah satu wujudnya anugerah Allah swt sekaligus sebagai ujian dari-Nya.
Namun, kita semua hendaklah berkomitmen dengan nash, bukan dengan kasyaf.
a. Kasyaf tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk menetapkan keyakinan baru.
b. Kasyaf tidak pula boleh menambah nash-nash yang ada.
c. Umat Islam tidak diwajibkan beribadah dengannya.
d. Mereka tidak boleh mempercayai pemiliknya, walaupun ia termasuk orang-orang yang jujur kerana hatinya tidak ma’shum apabila ianya berkaitan dengan masalah ghaib.
Selain itu, kemungkinan berlakunya ilusi juga sangat besar kerana kasyaf kadang-kadang menjadi ujian bagi seseorang atau sekelompok orang, maka ia kadang-kadang menurunkan darjatnya.
Dengan batas-batas ini, jelaslah kedudukan kasyaf dalam syariat Allah dan kita memahami maksud dari ungkapan Imam Hasan Al-Banna bahwa ia tidak termasuk dalil-dalil hukum syar’ie dan tidak diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.
KEEMPAT : MIMIPI-MIMPI DALAM TIDUR
Jika benar, ia merupakan salah satu pengaruh iman dan tingkatan hidayah dan termasuk bahagian dari kenabian, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi saw bahwa baginda sawbersabda :
“Mimpi yang baik adalah bahagian dari empat puluh enam bahagian nubuwwah.”(HR Bukhari dan Muslim)
Mimpi adalah permulaan wahyu.Kebenarannya tergantung kepada kejujuran orang yang bermimpi.Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur perkataannya.
Ketika di zaman Rasulullah saw, hampir tidak ada kesalahan dalam mimpi yang baik, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw di atas.
Namun, pada masa kuatnya cahaya kenabian, dengan cahayanya yang terang, menjadikan mereka tidak memerlukan mimpi-mimpi itu.
Nabi saw bersabda :
“Tidak ada lagi bahagian dari nubuwwah selain ‘mubassyirat’.Ada yang bertanya, “Apa itu ‘mubassyirat’, wahai Rasulullah?” Baginda menjawab “Ia adalah mimpi baik yang dialami sendiri oleh seorang Muslim atau dimimpikan oleh orang lain." (HR Bukhari)
Jika mimpi-mimpi kaum Muslimin sama, maka tidak dapat didustakan. Nabi telah mengatakan kepada para sahabatnya ketika mereka bermimpi melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Bagindasaw bersabda :
“Saya melihat mimpi kamu sudah saling memperkuat bahwa lailatul qadar berlaku pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.Oleh kerana itu, barangsiapa di antara kamu yang hendak mencari-carinya maka lakukanlah pada sepuluh hari terakhir.”(HR Bukhari)
Sebagaimana kasyaf, mimpi juga terbagi kepada tiga bahagian iaitu ‘rahmani’, ‘nafsani’, dan ‘syaithani’.
Nabi saw bersabda :
“Mimpi ada tiga, iaitu mimpi dari Allah, mimpi penyedihan syaitan dan mimpi dengan melihat kembali apa yang pernah berlaku pada dirinya saat ia terjaga.”
Mimpi yang menjadi sebab datangnya petunjuk adalah mimpi yang khususnya datang dari Allah. Mimpi para nabi adalah wahyu kerana mimpi ini terpelihara dari syaitan.Inilah yang diyakini oleh umat. Oleh kerana itulah maka nabi Ibrahim as melaksanakan perintah menyembelih putranya, Ismail berdasarkan mimpi itu.
Adapun mimpi selain para nabi, disesuaikan dengan wahyu yang jelas. Jika sesuai, boleh diterima. Jika tidak, tidak boleh diamalkan.
Apabila ditanyakan :
"Bagaimana pendapat kamu tentang mimpi yang baik atau mimpi-mimpi orang banyak yang sepakat atas sesuatu?”
Kami menjawab :
“Jika memang demikian, maka tidak mungkin menyalahi wahyu, bahkan pasti sesuai dengannya, untuk menyedarkannya atau menyedarkan akan masuknya suatu permasalahan khusus dalam hukum wahyu, sedangkan orang yang bermimpi tidak menyedari bahwa hal itu termasuk di dalamnya, sehingga dengan mimpi itu ia menjadi tersedar”.
Seterusnya kaum Muslimin sepakat bahwa mimpi bagi selain para nabi tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dan perundangan.
Jika mereka bertanya :
“Apabila seseorang bermimpi melihat Nabi saw padahal syaitan tidak mungkin menyerupainya, kemudian baginda saw memerintahkan suatu hal yang bertentangan dengan syariat?”
Kita katakan kepadanya :
“Engkau sedang berangan-angan.”
Ia tidak boleh bertindak berdasar mimpinya itu, apalagi mimpi-mimpi yang lain.
Barangsiapa menginginkan mimpi yang benar, maka hendaklah ia berusaha untuk :
1. Sentiasa jujur.
2. Makan yang halal.
3. Memperhatikan perintah dan larangan.
4. Tidur dalam keadaan suci sepenuhnya, menghadap kiblat dan zikir kepada Allah hingga tertidur.
Jika demikian, insyaAllah mimpinya tidak akan berdusta.
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur kerana:
a. Saat itu merupakan waktu turunnya Allah ke langit dunia.
b. Saat dekatnya rahmat dan ampunan.
c. Saat diamnya syaitan-syaitan.
Kebalikannya adalah mimpi pada sepertiga malam yang pertama, saat syaitan-syaitan dan ruh-ruh syaithaniyah berkeliaran.
Ubadah bin Shamit ra berkata :
“Mimpi seorang mukmin adalah kalam Allah kepada hamba-Nya pada waktu tidur.”
Kesimpulannya bahwa ilham, lintasan hati, kasyaf dan mimpi merupakan pengaruh cahaya iman, jika ia keluar dari seorang mukmin yang jujur.
Banyak bukti-bukti zahir dan pengalaman batin yang menguatkan akan perkara ini. Ia adalah karamah dari Allah bagi mereka, di samping juga merupakan ujian untuk menguji keteguhan dan konsistensi dalam keimanan.
Meskipun ulama’ mengesahkan adanya kasyaf dan mimpi, mereka telah menetapkan kemestian merujuk kepada segala perkara yang berkaitan dengannya kepada Al Qur’an dan As Sunnah kerana keduanya adalah terpelihara.
Kasyaf, mimpi dan sebagainya merupakan perkara-perkara yang ‘Dzanni’ (sangkaan) yang belum lagi terjamin ketepatannya.
Syeikh Abu Sulaiman Ad Darani berkata :
“Berlaku padaku suatu masalah yang dialami oleh orang ramai, aku tidak menerima melainkan dengan dua saksi iaitu Al Qur’an dan As Sunnah.”
Junaid Al Baghdadi berkata :
“Ilmu kita ini terikat dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sesiapa yang tidak membaca dan tidak menulis hadith tidak layak bercakap tentang ilmu dan tidak layak diikuti.”
Abu Amru bin Nujaid berkata :
“Setiap pendapat yang tidak disandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah merupakan pendapat yang batil.”
Dari kefahaman terhadap usul ini, ada beberapa perkara yang perlu diambil perhatian :
1. Menjaga sumber-sumber hukum syara’ supaya kekal dalam keadaan bersih.
2. Kesederhanaan Imam Al Banna di mana beliau tidak bersikap cuai dan keterlaluan. Beliau tidak menolak adanya ilham, lintasan hati, kasyaf dan mimpi. Beliau tidak keterlaluan sehingga menganggap perkara-perkara ini sebagai sumber dalil hukum dan tidak pula menolaknya secara keseluruhan tetapi menganggapnya sebagai menguatkan selagimana ia tidak bercanggah dengan agama dan nashnya.
3. Anjuran agar ditutup pintu-pintu masuk bagi dajjal-dajjal yang menipu orang-orang jahil dan mempermainkan pemikiran manuisa.
4. Menyelamatkan orang-orang yang tertipu daripada perangkap ahli prasangka dan khurafat.
5. Mengawal diri dalam membuat sesuatu ungkapan dengan mendedahkan hakikat sebenar sesuatu perkara tanpa mencacatkan orang lain.
Ya Allah, sesungguhnya perjalanan kami menujuMu adalah semata-mata mengharapkan keridhaanMu. Namun jika dalam perjalanan ini, Engkau mengurniakan kepada kami ilham yang memberi petunjuk, lintasan hati yang jernih, kasyaf yang menyingkapkan perbendaharaan ilmu serta mimpi yang baik, maka ianya adalah satu kurniaan yang mesti disyukuri selagimana ianya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS