Tidak sedikit dari para penuntut ilmu syar’ie yang kita temui sentiasa berusaha untuk mengkaji kitab para ulama’, bahkan mereka sentiasa menghadiri majlis dengan para ulama’ dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka.
Ini suatu petanda yang baik yang seharusnya kita syukuri kerana dengan kukuhnya ilmu dalam diri setiap peribadi muslim, niscaya agamanya akan tertegak di atas landasan yang kuat.
Seringkali pula kita dengar ucapan yang sangat masyhur dari seorang ahli dalam bidang hadits iaitu Imam Bukhari di dalam Kitab Sahihnya yang menegaskan :
“Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”
Begitu pula, perkataan Imam Ahmad bin Hanbal yang sangat terkenal :
“Umat manusia sangat memerlukan ilmu jauh lebih banyak daripada keperluan mereka terhadap makanan dan minuman kerana makanan dan minuman diperlukan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia diperlukan sebanyak hembusan nafas.”
Seorang penuntut ilmu, sudah tentu tidak menginginkan :
- Ilmu yang dipelajari hilang begitu sahaja tanpa apa-apa bekas, lebih-lebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkatan ilmunya.
- Ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekatnya ia dengan Allah swt, namun justeru sebaliknya ia semakin jauh dari Rabbnya, ‘wal ‘iyadzu billah’.
Hendaklah kita fahami bahwa tatkala ilmu yang dikaji, didalami dan dihafalkan itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justeru musibah dan bencana yang akan ditemui.
Tidakkah kita ingat ungkapan emas salah seorang ulama’ salaf, Sufyan bin ‘Uyainah yang menyatakan :
“Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.”
Apa yang dikatakan itu sebenarnya adalah kenyataan yang sering kita temui dan ia bukanlah sebuah cerita dongeng atau cerita fiksyen.
Jika masih tersimpan dalam ingatan kita, doa sebanyak 17 kali kita lantunkan di dalam solat kita sepanjang hari yang kita panjatkan kepada Allah swt :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, iaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).”
Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan erti yang mendalam.
PERTAMA :
Kaum Yahudi dimurkai kerana mereka berilmu namun tidak beramal.
KEDUA :
Kaum Nasrani tersesat kerana beramal tanpa landasan ilmu.
KETIGA :
Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.
Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakikat keilmuan seseorang tidak diukur dengan :
- Banyaknya hafalan yang dia miliki.
- Banyaknya buku yang telah dia beli.
- Banyaknya kaset ceramah yang telah dia jadikan koleksi.
- Ramainya ustaz atau bahkan ulama’ yang telah dia kenali.
- Deretan ‘title’ akademik yang dibanggakan ke sana ke mari.
Masihkah kita ingat ucapan salah seorang sahabat Nabi saw yang mulia, Abdullah bin Mas’ud ra:
“Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah ‘Khashyah’ (rasa takut) kepada Allah.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata :
“Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.”
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebahagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebahagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR Muslim)
Shafwan bin ‘Asal al-Muradi berkata :
Aku pernah datang menemui Rasulullah saw, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.”
Baginda pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebahagian mereka (malaikat) menaiki sebahagian yang lain sampai ke langit dunia kerana mencintai apa yang mereka lakukan.”
Rasulullah saw bersabda :
“Sebahagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan bermaharajalela, arak ditonggang dan perzinaan merebak.” (HR Bukhari)
Yang dimaksudkan terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia, namun yang dimaksudkan adalah dengan meninggalnya para ulama’ atau orang-orang yang memikul amanah ilmu tersebut.
Perkara ini telah dijelaskan oleh Nabi saw dalam hadits berikut :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba (dari dada manusia) akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama’ sehingga apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari)
Ibnul Qayyim berkata :
“Keperluan kepada ilmu di atas keperluan kepada makanan, bahkan di atas keperluan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak dapat bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak boleh terlepas darinya walau sekelip mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih buruk daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.”
Di tempat lain Ibnul Qayyim juga berkata :
“Allah swt menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah / bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.”
Imam al-Auza’i berkata :
“Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad saw. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.”
Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata :
“Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba boleh memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba boleh membezakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan dapat mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.”
Ibnu Mas’ud berkata kepada para sahabatnya :
“Sesungguhnya kamu sekarang ini berada di masa para ulama’nya masih ramai dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa selepas kamu di mana tukang ceramahnya ramai namun ulama’nya amat sedikit.”
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di menjelaskan bahwa :
“Ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka boleh memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya.”
Imam Ibnu A’rabi berkata :
“Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim rabbani sehingga dia menjadi orang yang -benar-benar berilmu, mengajarkan ilmunya dan juga mengamalkannya.”
Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang sentiasa merasa takut kepada Allah.
Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS Fathir : 28)
Disebabkan oleh penguasaan ilmu dan rasa takut mereka kepada Allah, maka para ulama’ menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari’at Islam.
Masruq berkata :
“Sekadar dengan kualiti ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkatan kejahilannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.”
Sa’id bin Jubair ra berkata :
“Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun zikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berzikir kepadaNya. Barangsiapa yang tidak taat kepadaNya maka dia bukanlah orang yang benar-benar berzikir kepadaNya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah Al-Qur’an.”
Ibnu Baththal berkata :
“Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akhirat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.”
Waki’ bin Al-Jarrah :
“Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuatkan pendapatnya semata-mata maka dia adalah pembela bid’ah.”
Sa’ad bin Ibrahim pernah ditanya :
“Siapakah yang paling faqih (faham agama) di antara ulama’ di Madinah? Maka beliau menjawab, “Iaitu orang yang paling bertaqwa di antara mereka.”
Sufyan Ath Thauri pernah ditanya :
“Menuntut ilmu yang lebih engkau sukai ataukah beramal?”.
Beliau menjawab,
“Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.”
Abu Abdillah Ar-Rudzabari berkata :
“Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.”
Yusuf bin Al-Husain menceritakan:
Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya,
“Kepada siapakah aku duduk / berteman dan belajar?”.
Beliau menjawab,
“Hendaklah kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya boleh menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mahu bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasihat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasihatimu dengan ucapannya semata-mata.”
Ibnul Qayyim berkata :
“Seandainya ilmu boleh bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendita Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan boleh bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.”
Oleh yang demikian, kita dapati para ulama’ salaf sangat bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta cita-cita duniawi.
Sebenarnya ikhlas, bukanlah :
- Ucapan yang terlontar di lidah.
- Huruf yang tertulis dalam catatan.
- Banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan.
- Lamanya waktu kita berdakwah.
- Penampilan fizikal yang nampak oleh mata.
Tapi, ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada ‘Rabb’ penguasa alam semesta.
Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketenteraman dan hidayah dari Allah swt.
Firman Allah swt :
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperolehi keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS Al-An’am : 82)
“Pada hari (kiamat) tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS Asy-Syu’ara’ : 88–89)
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kamu, tidak juga harta kamu. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kamu.” (HR Muslim)
Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan, tidak ada amal yang akan diterima oleh Allah swt.
Kita juga mungkin masih ingat, nasihat seorang ahli hadits kontemporari, Syaikh Al Albani di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu kemasyhuran.
Beliau mengutip ungkapan para ulama’ yang terdahulu :
“Menyukai ‘ketinggian’ akan mematahkan punggung.”
Maknanya, gila populariti atau kemasyhuran akan menyebabkan kebinasaan.
Firman Allah swt :
“Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS Az-Zaariyat : 55)
Sesungguhnya ikhlas adalah rahsia kejayaan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang soleh.
Walau sedikit manapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugas mereka dengan baik.
Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun :
- Ayah mereka sendiri penyembah berhala.
- Anak mereka sendiri menolak perintah Rabb mereka.
- Bapa saudara mereka sendiri tidak mahu masuk Islam yang diserukan oleh mereka.
- Tidak ada pengikut mereka kecuali seorang dua sahaja, bahkan ada nabi yang tidak mempunyai pengikut sama sekali!
Mereka adalah suatu kaum yang mendapat pujian dan keutamaan dari Allah kerana :
- Keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabb mereka.
- Ilmu dan amalan yang mereka miliki.
Allah swt berfirman :
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, iaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang soleh. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS An-Nisaa’ : 69)
Jika kita memang ikhlas, niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, samada itu melalui tangan kita atau melalui tangan orang lain.
Jika kita memang ikhlas, maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita abaikan.
Abdullah bin Mubarak mengingatkan :
“Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar kerana niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.”
BERTAQWALAH WAHAI PARA PENUNTUT ILMU!
Allah swt berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kamu ‘furqan’, menghapuskan dosa-dosa kamu dan mengampuninya untuk kamu. Allahlah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS Al-Anfal : 29)
Tatkala seorang hamba menunaikan ketaqwaan kepada Rabbnya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya.
Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah ruah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertaqwa.
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan :
- ‘Furqan’, iaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia boleh membezakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka.
b. Dihapuskannya dosa.
c. Pengampunan atas dosa.
d. Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertaqwa kepadaNya dan lebih mengutamakan keridhaanNya di atas hawa nafsu mereka.
Kedua-dua istilah pada b dan c ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah antara satu sama lain. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksudkan dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksudkan dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar.
Ciri-ciri orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang menghiasi diri mereka dengan aqidah yang sahih dan amal soleh samada amal batin ataupun amal lahiriyah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah swt dalam firmanNya :
“Iaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara ghaib, mendirikan solat, dan menginfakkan dari sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan kepada nabi-nabi sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS Al-Baqarah : 3-4)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama orang yang bertaqwa adalah mengimani perkara yang ghaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka.
Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh pancaindera kerana hal itu tidaklah membezakan antara seorang muslim dengan seorang yang kafir.
Sesungguhnya yang menjadi karakteristik ketaqwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara yang ghaib iaitu sesuatu yang tidak dapat kita lihat dan saksikan secara langsung.
KEBAHAGIAAN ILMU
Ibnul Qayyim mengatakan :
“Adapun kebahagiaan ilmu, maka perkara itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar dan niat yang benar.”
Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal ini :
“Katakanlah kepada orang yang mendambakan,
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia,
Tanpa mengerahkan kesungguhan,
Bererti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada.”
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia,
Tanpa mengerahkan kesungguhan,
Bererti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada.”
Beliau juga mengatakan :
“Berbagai kemuliaan berkait erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu). Sedangkan kebahagiaan tidak akan dapat dilalui kecuali dengan meniti jambatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan.”
Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu agar ianya mampu menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agamaNya dari serangan musuh-musuhNya.
Sesungguhnya pada zaman yang penuh dengan pelbagai fitnah ini, kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nantikan.
Mereka adalah para penuntut ilmu yang :
- Berhias diri dengan adab-adab Islami.
- Tidak tergoda oleh gemerlapan dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana.
- Mampu merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan.
- Sentiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya.
- Bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas.
- Mencintai Allah dan RasulNya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu.
Ya Allah, jadikanlah kami penuntut ilmu yang ikhlas dan bertaqwa kepadaMu. Berikanlah kekuatan kepada kami dengan ilmu yang engkau ajarkan kepada kami serta jadikanlah ilmu yang kami pelajari itu sebagai hujjah untuk membela kami dan bukannya hujjah yang menjatuhkan kami.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS