Kita biasa mendengar perbahasan tentang kemenangan atau kekuasaan manusia di muka bumi yang Allah swt sampaikan di dalam Al Qur'an di antaranya surah Ali Imran ayat 140 dan surah Al A’raf ayat 96.
Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 140 :
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membezakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebahagian kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada'. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran : 140)
Dalam ayat di atas, Allah swt menyebutkan bahwa kemenangan atau kekuasaan di muka bumi akan dipergilirkan oleh Allah swt sebagai saringan atau ujian bagi Allah untuk membezakan orang-orang beriman dengan orang-orang kafir.
Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya tentang bahagian ayat “dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia” berkata bahwa :
“Sesekali Allah memenangkan agamaNya buat orang-orang yang beriman dan sesekali pula bagi orang-orang kafir ketika orang-orang beriman melakukan kemaksiatan sebagai ujian bagi mereka dan untuk menghapuskan dosa-dosa mereka. Adapun, jika mereka tidak bermaksiat kepada Allah maka sesungguhnya parti Allahlah yang menang.”
Dari ayat di atas, ianya jelas bahwa menjadi hak prerogatif Allah swt dalam pemberian kemenangan atau kekuasaan tersebut dan kita umat Islam hanya diminta untuk berdakwah dan menyeru kepada syari'at Allah swt.
Manakala dalam surah Al A’raf ayat 96 pula Allah swt berfirman :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkatan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al A’raf : 96)
Dalam ayat di atas kita lihat bagaimana kemenangan atau kekuasaan di muka bumi akan diberikan oleh Allah swt jika penduduk suatu negeri beriman atau bertaqwa.
Ayat ini menjelaskan bahwa keimanan dan ketaqwaan adalah sebab-sebab yang mendatangkan rezeki dan keberkatan dari langit dan bumi.
Bagaimanakah kita sebagai seorang muslim boleh membezakan kemenangan atau kekuasaan sebagai :
"Penggiliran" iaitu sebagai alat pembeza bagi Allah swt.
dan sebagai :
"Anugerah" Allah swt ke atas buah kerja dakwah kita sehingga penduduk negeri menjadi bertaqwa dan beriman.
Bolehkah usaha merebut kekuasaan itu disebut dan didakwa sebagai kemenangan dakwah sementara masyarakat masih jauh dari perlaksanaan syari'at Islam?
Kemudian, bagaimanakah sebaiknya dakwah ini diurus, di programkan dan di fokuskan?
Bolehkah usaha perbaikan masyarakat dipaksakan dengan merebut kekuasaan terlebih dahulu ataukah perbaikan masyarakat yang lebih diutamakan?
Demikian, beberapa persoalan yang mungkin bermain di dalam minda kita.
IMAN DAN AMAL SOLEH PENENTU KEKUASAAN
Di dalam menafsirkan ayat-ayat di atas, Sayyid Qutb mengatakan bahwa sesungguhnya aqidah keimanan kepada Allah swt dan ketaqwaan kepadaNya bukanlah isu yang terpisah dari realiti kehidupan dan juga dari lintasan sejarah manusia.
Sesungguhnya keimanan kepada Allah dan ketakwaan kepadaNya menjadi sebab dicurahkannya berbagai keberkatan dari langit dan bumi sebagai sebuah janji dari Allah swt.
Seterusnya Sayyid Qutb mengatakan :
”Sesungguhnya keimanan kepada Allah membebaskan dari perhambaan kepada hawa nafsu serta dari perhambaan kepada sesama manusia. Dan tidaklah diragukan lagi bahwa manusia yang bebas dengan hanya menyembah Allah swt sahaja yang mampu menjadi khalifah di bumi sebagai ‘Khalifah Rasyidah’ (Kepemimpinan yang memberikan petunjuk yang tinggi) berbanding mereka-mereka yang menyembah hawa nafsu sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain....”
Tafsiran kedua-dua ayat di atas memberikan penjelasan bahwa kemenangan dan kepemimpinan kaum mukminin di muka bumi ini sangat bergantung pada ketaqwaan dan amal soleh mereka dengan menjauhi berbagai kemaksiatan dalam segala sudut kehidupan samada di bidang aqidah, ibadah, akhlak ataupun dalam pemilihan wasilah-wasilah untuk mencapai kemenangan itu.
Perkara ini ditegaskan oleh Allah swt didalam firmanNya :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang soleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS An Nuur : 55 – 56)
PENGERTIAN ‘TAMKIN’
Sesungguhnya ‘Tamkin’ menurut bahasa adalah kekuasaan dan kedudukan.
Ini bermakna, Allah swt telah memberikan :
a. Kekuasaan dan kedudukan kepada hambanya yang soleh di muka bumi.
b. Kekuasaan yang kuat.
c. Kemudahan kepadanya segala wasilah yang mendukung kekuasaannya.
d. Segala potensi yang dapat digunakan untuk memperkukuhkan dan menetapkan kekuasaannya.
Manakala menurut istilah pula, ‘Tamkin’ adalah :
“Mempelajari berbagai macam kedudukan (kekuasaan), syarat-syaratnya, sebab-sebabnya, tahapan-tahapannya, tujuan-tujuannya dan rintangan yang akan dihadapinya serta tiang-tiang kembalinya umat menuju kedudukan dan kekuasaan di muka bumi ini.”
Dr Ali Abdul Halim Mahmud di dalam kitabnya “Fiqh ad Dawah Ilallah” mengatakan bahwa :
“Tujuan utama dari setiap bentuk kerja dalam Islam, dakwah dalam berbagai bentuk tahapannya, tujuan dan wasilahnya, gerakan yang menuntut kerja kuat dan kesungguhan, tanzim dan segala sesuatu yang menjadi tujuan dan misi dakwah dan gerakan, begitupun tarbiyah dengan segala orientasinya, ragamnya, tujuan dan wasilahnya, kerana tidak ada perbezaan dalam tujuan mulia dan besar pada setiap orang yang bekerja kerana Islam, walaupun programnya berbeza (dengan syarat program yang dicanangkan bersumberkan dari Al Qur’an dan As Sunnah yang suci dan bukan perbuatan yang dibenci oleh Allah), tidak boleh berbeza bahwa kejayaan (kedudukan) untuk agama Allah adalah tujuan utama dari setiap kerja Islam agar kekuasaan atas Agama Islam lebih tinggi dan unggul dari seluruh agama lainnya, sistem hukum agama ini dengan sistem buatan manusia lainnya, kejayaan ini mendahului posisi jawatan, kerajaan dan kedudukan, dan yang mengiringi keamanan (ketenteraman) setelah ketakutan.”
Secara ringkasnya, pengukuhan agama Allah di muka bumi ini dimulai dengan kemenangan, kekuatan dan kekuasaan.
Namun yang sering manusia silap adalah memahami sebuah kemenangan hanya dengan sesuatu yang nampak secara lahiriyah semata-mata seperti :
- Ramainya pendukung.
- Banyaknya suara.
- Menjadi penguasa di suatu negeri.
- Melimpahnya prasarana dan kewangan atau sepertinya tanpa pernah memperhatikan cara yang digunakan untuk meraihnya apakah ia sesuai atau bertentangan dengan peraturan Allah swt.
Sebaliknya pula :
- Sedikitnya pendukung.
- Kurangnya kewangan dan prasarana.
- Kesulitan.
- Kesengsaraan.
- Pemboikotan.
- Pengusiran.
- Penyiksaan.
tidak dianggap sebagai sebuah kemenangan akan tetapi sebuah kegagalan dan kekalahan dalam dakwah dan sungguh, mereka yang beranggapan seperti itu telah terperosok ke dalam tipu daya syaitan.
Dalam hubungan ini Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi di dalam kitabnya “Fiqh an Nashr wa at Tamkin” menukil pendapat Sayyid Qutb (di dalam tafsir Zhilal) dengan mengatakan :
”Syaitan masuk melalui celah-celah ini ke dalam jiwa manusia dan menaburkan keraguan. Sesungguhnya manusia membuat ukuran sesuatu dengan sesuatu yang nampak di luaran semata-mata dan mereka lupa akan nilai-nilai yang mulia dan hakikat-hakikat yang banyak dalam memberikan penilaian terhadap perkara tersebut.
Sesungguhnya manusia cuba mengukur dengan sesuatu masa yang singkat dari zaman dan memberikan ruangan yang terbatas dalam melakukan perbandingan padahal itu tidak lebih dari ukuran manusia yang sempit dan sangat kerdil.
Sedangkan ukuran yang menyeluruh, masalahnya akan dibentangkan pada sebuah bentangan masalah yang luas dalam zaman dan tempat, tidak menempatkan batas antara satu zaman dengan zaman lainnya, tidak juga antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Andaikata kita melihat pada masalah aqidah dan keyakinan, maka kita akan mendapatinya ia sentiasa akan memberikan kemenangan tanpa ada keraguan dan oleh yang demikian, keimanan adalah kemenangan para pemiliknya…”
Seterusnya Sayyid Qutb mengatakan :
“Manusia telah membataskan makna kemenangan ini dalam gambaran tertentu sahaja yang mereka alami iaitu yang dekat pada pandangan mereka.
Namun sebenarnya gambaran kemenangan itu dalam pelbagai bentuk. Mungkin sahaja kemenangan itu kabur gambarnya dengan gambaran kekalahan tatkala kita melihatnya dengan pandangan yang singkat..”
Jika kemenangan difahami hanya dengan sesuatu yang lahiriah dan disempitkan dengan ruang dan waktu semata-mata lalu :
- Bagaimana dengan dakwah Nabi Nuh as yang berdakwah selama 950 tahun dengan jumlah pengikutnya hanya 80 orang termasuk di dalamnya kaum wanita, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas di dalam tafsir Ibnu Katsir ?
- Bagaimana dengan Nabi Zakaria as dan Nabi Yahya as yang dibunuh oleh orang kafir atau musyrik?
- Bagaimana Nabi Ibrahim as dan Nabi Isa as yang cuba dibunuh oleh kaumnya?.
- Bagaimana peristiwa 3 orang rasul yang dikirim ke negeri Antokia (di dalam sebuah tafsir) lalu mereka dibunuh oleh kaumnya dan hanya seorang dari hujung negeri yang menyambut dakwahnya sebagaimana disebutkan di dalam surah Yasin?
- Bagaimana kisah Ashabul Kahfi yang bersembunyi di gua bagi menghindarkan diri dari kezaliman penguasa?
- Bagaimana kisah para Nabi mahupun orang-orang soleh yang tidak memiliki kekuasaan selama mereka berdakwah?
Apakah mereka dikatakan gagal atau kalah di dalam dakwah?
Sekali-kali tidak!!!
Sesungguhnya mereka adalah para pemenang dalam pertarungan antara hak dan batil.
Ini sebagaimana yang disebutkan sebelum ini oleh Sayyid Qutb bahwa sesungguhnya mereka telah dimenangkan oleh Allah swt dengan :
“Aqidah dan keimanan yang ada di dalam dada-dada mereka.”
Oleh itu, kekuasaan boleh dianggap sebagai sebuah kemenangan dakwah apabila perjuangan untuk meraihnya diasaskan oleh keimanan yang kuat dan amal soleh bukan dengan cara melanggar petunjuk-petunjuk dan peraturan-peraturan Allah swt dan RasulNya.
‘TAMKIN’ MEMBAWA KEAMANANSesungguhnya khilafah di muka bumi dan ‘tamkin’ (kejayaan) pada agama Allah dan mengganti rasa takut dengan ketenangan dan keamanan adalah merupakan janji dari Allah swt pada ketika umat Islam mampu mewujudkan syarat-syaratnya.
Al-Quran telah menegaskan dengan jelas akan syarat-syarat ‘tamkin’ dan keperluan menjaganya sepanjang masa seperti dalam surah An Nur ayat 55 -56 sebelum ini.
Allah swt berfirman :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang soleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”. (QS An-Nur : 55-56)
Al Qur’an telah menegaskan bahwa di antara syarat-syarat ‘tamkin’ adalah :
a. Iman dengan seluruh makna dan rukun-rukunnya.
b. Aktif dalam melakukan amal soleh dengan berbagai macam dan bentuknya.
c. Semangat dalam melakukan amal kebajikan dan pelbagai perbaikan.
d. Mewujudkan hakikat ubudiyah secara bersepadu dan menyeluruh.
e. Memerangi kemusyrikan dengan berbagai ragam dan bentuknya.
1. Mendirikan solat.
2. Membayar zakat.
3. Mentaati Rasulullah saw.
Adapun yang berhubungan dengan sebab-sebab ‘tamkin’, Allah swt telah memerintahkan untuk melakukan persiapan yang menyeluruh seperti dalam firmanNya :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat”. (QS Al-Anfal : 60)
Melakukan persiapan pada hakikatnya merupakan usaha bagi mengambil sebab-sebab, kerana itu yang diminta untuk melakukan persiapan seperti dalam pemahaman ayat di atas adalah secara menyeluruh.
Ini adalah kerana kalimah ‘Quwwah’ (kekuatan) di atas disebutkan dalam bentuk perintah dengan ‘shighah nakirah’ (bentuk umum) sehingga ianya mencakupi berbagai bentuk kekuatan iaitu :
a. Kekuatan aqidah dan iman.
b. Kekuatan barisan dan pasukan.
c. Kekuatan senjata dan logistik.
1. Material mahupun maknawi.
2. Jiwa mahupun harta.
3. Zahir mahupun batin.
4. Ilmu dan fiqh.
5. Pada tingkatan individu mahupun jamaah.
6. Tarbawi, perilaku dan hartabenda.
7. Telekomunikasi.
8. Politik.
9. Ketenteraan.
MATLAMAT TIDAK MENGHALALKAN CARA
Pernah berlaku ketika Ustaz Hasan Al Hudhaibi menjadi Mursyidul Am Ikhwanul Muslimin di mana ada di antara ahli Ikhwan yang tidak sabar dengan penindasan rejim revolusi ketika itu lalu mereka berniat untuk membunuh tokoh-tokoh pemerintah yang menyiksa ahli-ahli Ikhwan.
Mendengar luahan mereka itu, Hasan Al Hudhaibi menjadi sangat marah dan menasihati mereka dengan kalimat-kalimat berikut :
“Jika seluruh ikhwah mati, itu lebih baik daripada kita sampai di puncak kemenangan dengan jalan pengkhianatan.”
Dengan wajah yang serius beliau meneruskan taujihnya :
“Nahnu muslimun qabla kulli syai’ (Kita adalah muslim sebelum segalanya). Jika kita menguasai dunia dengan membunuh akhlak Islam, maka kita akan rugi!”
Demikianlah penerus dakwah Imam Hasan Al Banna ini tidak menghendaki kemenangan dengan jalan pengkhianatan iaitu dengan membunuh penguasa muslim meskipun ia zalim atau dengan cara-cara lain yang menanggalkan akhlak Islam.
Ini adalah kerana kemenangan jamaah dakwah adalah untuk :
- Meninggikan Islam dan tidak mungkin jalan untuk ke sana, ditempuh dengan cara-cara yang rendah yang bertentangan dengan Islam.
- Menebar rahmat bagi semesta alam dan tidak mungkin untuk mencapainya, ditempuh jalan-jalan yang akan mengundang azab Tuhan.
- Menjadi mahaguru kepada kehidupan dan tidak mungkin untuk ke sana, digunakan usaha-usaha yang hina dan menimbulkan kebencian.
BERBAGAI BENTUK ‘TAMKIN’
Kekuasaan yang tertunda kerana berpegang teguh pada prinsip Islam sejatinya adalah sebuah kemenangan.
Dr Ali Muhammad Ash Shalabi meneruskan tulisannya dalam kitabnya “Fiqhun Nashr wat Tamkin” bahwa :
“Sesungguhnya kemenangan dan ‘tamkin’ bagi kaum mukminin memiliki berbagai bentuk kewujudan dan gambaran di mana penyampaian risalah dan penunaian amanah sebagai salah satu bentuk kemenangan; meskipun seorang pendakwah syahid atau komuniti muslim dihancurkan kerana mempertahankan iman dan menyebarkan dakwah. “Malazamul haq fi qulubina…” selama mana kebenaran masih bersemayam di hati kita, itulah kemenangan.”
Jamaah dakwah, walauapapun bentuknya samada harakah, organisasi massa ataupun parti Islam dengan yang demikian perlu menyedari bahwa jalan dakwah tidaklah mudah dan tidak selalu berakhir dengan diraihnya kekuasaan Islam pada zaman atau generasinya.
Jamaah dakwah, walauapapun bentuknya samada harakah, organisasi massa ataupun parti Islam dengan yang demikian perlu menyedari bahwa jalan dakwah tidaklah mudah dan tidak selalu berakhir dengan diraihnya kekuasaan Islam pada zaman atau generasinya.
Namun selama mana :
- Hati ikhlas menempuh jalanNya.
- Terus berjuang di atas manhajNya.
- Tetap komitmen dengan syariatNya.
Maka, tidak peduli walauapapun yang berlaku; sesungguhnya ia berada dalam kemenangan.
‘TAMKIN’ MEMERLUKAN DAKWAH BERTERUSAN
‘TAMKIN’ MEMERLUKAN DAKWAH BERTERUSAN
Syeikh Mustafa Masyhur dalam kitabnya “Fiqh Dakwah” mengatakan bahwa :
“Jalan dakwah tidak ditaburi oleh bunga-bunga yang harum baunya, tetapi ia merupakan jalan yang sukar dan panjang. Ini adalah kerana, antara yang haq dan yang bathil ada pertentangan yang nyata. Dakwah memerlukan kesabaran dan ketekunan bagi memikul beban berat. Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Yang diperlukan adalah usaha dan kerja yang terus menerus dan hasilnya terserah kepada Allah, sesuai dengan waktu yang dikehendakiNya.”
Menyedari akan hakikat kemenangan dan tuntutannya, gerakan Islam tidak akan terjebak pada :
Menyedari akan hakikat kemenangan dan tuntutannya, gerakan Islam tidak akan terjebak pada :
- Sikap ‘isti’jal’ (tergesa-gesa) iaitu tidak sabar dengan jalan dakwah yang panjang lalu memutuskan untuk membuat kudeta, membunuh penguasa muslim atau bahkan melancarkan aksi-aksi keganasan.
- Kekhuatiran terhadap organisasi Islam lain yang lebih besar darinya, dengki dan memusuhi organisasi Islam yang lebih kuat perkembangannya atau bahkan menyediakan diri untuk digunakan oleh penguasa sekular dengan menjadi alat politiknya.
- Politik wang (money politic) dalam pilihanraya atau melakukan rasuah untuk menyediakan dana kempen dan sebagainya.
Adapun orang-orang yang mampu melakukan itu semua dan dijanjikan kepemimpinan dan kekuasaan di muka bumi bahkan diperkukuhkan kekuasaan itu oleh Allah swt, maka mereka adalah para pemilik keimanan yang sesungguhnya.
Di antara sifat-sifat mereka adalah :
- Tidak mengharapkan kecuali wajah Allah.
- Taat kepada Allah.
- Pasrah terhadap segala perintahNya samada yang kecil ataupun besar.
- Tidak cenderung kepada hawa nafsu di dalam dirinya.
- Tidak mengikuti kepada syahwat di dalam hatinya.
- Mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah saw dari Allah swt.
‘TAMKIN’ MEMERLUKAN RIJAL
Dalam nada yang sama dengan itu, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi mengatakan bahwa :
“Kemenangan manhaj Allah dan pengukuhannya ke atas manhaj ini serta mengenalnya manusia akan manhaj ini memerlukan ‘rujulah’ (lelaki sejati) dan bukan ‘Dzukurah’ (lelaki biasa).”
Di bahagian lain di dalam kitabnya, Ash Shalabi mengatakan bahwa ‘Dzukurah’ itu merupakan sifat jasadiyah atau badaniyah dan tidak lebih dari itu, namun :
“Rujulah” mengisyaratkan kepada :
- Sikap kental.
- Kuat.
- Pantang mundur.
- Memiliki keberanian luar biasa.
- Kukuh memegang prinsip.
di mana ini menunjukkan kepada sifat kejiwaan dan adanya kelebihan-kelebihan ma’nawi serta keutamaan akhlak.
Ya Allah, jadilah kami orang-orang yang sentiasa memahami sasaran dakwah kami iaitu tetap teguh beriman, beramal soleh dan melaksanakan kerja-kerja dakwah di jalanMu walaupun mengambil masa yang panjang dan dipenuhi oleh pelbagai halangan dan dan rintangan kerana sesungguhnya kami memahami bahwa “Tamkin” atau kemenangan sebenar hanya Engkau berikan kepada mereka-mereka yang beriman dan bertaqwa di mana kebenaran tetap bersemayam di hati mereka walaupun jasad mereka telah syahid menemuiMu.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS