Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan "berhala" tertentu sebagai jambatan penghubung antara satu individu dengan individu lainnya.
Sebegitu rupa "berhala" itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang "menyembahnya" merasakan tumbuhnya semacam "kasih-sayang" di antara mereka.
Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat sementara dan ianya bukanlah kasih sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih sayang yang palsu ini dijelaskan oleh Allah swt berkenaan dengan kisah Nabi Ibrahim as.
“Dan berkata Ibrahim, "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun." (QS Al-Ankabut : 25)
Berhala-berhala di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama-sama menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk ciptaan manusia.
Di zaman moden sekarang, "berhala" boleh berupa berbagai :
- Fahaman.
- Ideologi.
- Falsafah.
- Jalan hidup.
- Sistem hidup.
- Pandangan hidup.
yang menjadi produk ciptaan manusia.
Manusia di zaman sekarang juga "menyembah" berhala-berhala moden tersebut dan mereka menjadikannya sebagai "penyatu" di antara berbagai individu dan kelompok di dalam masyarakat.
Berhala moden itu menciptakan suatu suasana persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia sahaja. Berhala moden itu boleh memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi walaupapun namanya, satu perkara yang pasti bahwa ia semuanya merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia boleh bernama Komunisma, Sosialisma, Kapitalisma, Liberalisma, Nasionalisma atau apapun selainnya.
Semenjak runtuhnya “Khilafah Islamiyah” sebagai rupa bentuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara umat Islam 87 tahun yang lalu iaitu pada tahun 1924 atau 1342 Hijriyyah, bangsa-bangsa Muslim di setiap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosial berlandaskan sebuah fahaman yang sesungguhnya asing bagi mereka.
Fahaman itu bernama “Nasionalisma” (semangat kebangsaan).
Maka dunia menyaksikan berdirinya berbagai ‘Nation State’ atau ‘Negara Kebangsaan’. Bangsa-bangsa Muslim membangun negara di negeri mereka masing-masing dengan menjadikan nasionalisma sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Suatu perubahan yang sangat signifikan dan mendasar jika dibandingkan dengan tatacara kenegaraan sebelumnya di mana ‘Khilafah Islamiyah’ menjadi sebuah sistem yang menyatukan setiap umat Islam berdasarkan kesatuan ‘Aqidah Islamiyah’ dan dengan sendirinya membawa kepada kesatuan ‘Fikrah Islamiyah’ atau ‘Ideologi Islam’.
Dalam tatacara kenegaraan sebuah Negara Kebangsaan, faktor bangsa menjadi penyebab kepada persatuan dan kesatuan sedangkan dalam sistem ‘Khilafah Islamiyah’, faktor Islam sebagai keyakinan dan ideologi menjadi sebab kepada persatuan dan kesatuan.
Maka dengan sendirinya kita menyaksikan mengapa sejak munculnya berbagai Negara Kebangsaan di tengah kehidupan bernegara umat Islam, berlakulah suatu penurunan dari segi penghayatan Islam sebagai ideologi dan peningkatan penghayatan ideologi kebangsaan di dalam diri ramai umat Islam.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan kehadiran bangsa dalam kehidupan umat manusia di mana kehadiran berbagai jenis bangsa adalah suatu kemestian dalam realiti sosial masyarakat dunia.
Al-Qur’an mengakui kenyataan ini.
”Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat : 13)
Namun Islam tidak pernah memandang bahwa mulia atau hinanya seseorang atau sekelompok orang ditentukan oleh faktor bangsa tetapi Islam sangat mengambil kira sesuatu yang hanya berkaitan dengan urusan taqwa dan aqidah.
Bahkan Islam sangat mengambil peduli samada beriman atau tidaknya seseorang atau sekelompok orang di mana, suatu masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang beriman dipandang sebagai masyarakat yang mulia di sisi Allah swt sedangkan masyarakat yang ingkar atau ‘kafir’ adalah masyarakat yang hina di sisi Allah swt walaupun secara material dan teknologinya mereka merupakan masyarakat yang maju.
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS Al-Qalam : 34-36)
Ketika ‘Khilafah Islamiyyah’ masih tegak dan menaungi kehidupan sosial umat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam ‘Laa ilaha illa Allah’ sahajalah yang menyatukan antara mereka.
Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang berbangsa Arab dengan Salman yang berasal dari Parsi dengan Bilal yang merupakan orang Habshah dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi.
Mereka menjalin ‘al-ukhuwwah wal mahabbah’ (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembusi batas-batas suku, bangsa, warna kulit, tanah air dan bahasa.
Yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembusi batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selama mana mereka masih di dunia semata-mata, melainkan jauh sampai ke kehidupan di akhirat kelak.
Mengapa ini berlaku?
Ini adalah kerana ikatan mereka berlandaskan perlumbaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.
Orang-orang yang beriman tidak ingin menjalin persaudaraan akrab hanya sebatas di dunia namun di akhirat kemudiannya menjadi musuh antara satu sama lain.
Oleh yang demikian, mereka tidak mahu mengorbankan aqidah mereka yang mereka yakini akan menimbulkan kasih sayang yang hakiki dan abadi.
Mereka tidak akan menggadaikan aqidah mereka dengan fahaman atau ideologi selainnya walau sesaat kerana aqidah Islam merupakan penyatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sebenar dan tidak akan membawa kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.
”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali-Imran : 103)
Islam mengajarkan umatnya untuk menjadikan ‘Tali Allah’ sebagai faktor pengikat antara sesama orang-orang yang beriman.
Yang dimaksudkan dengan ‘Tali Allah’ ialah nilai-nilai yang bersumber dari ajaran sempurna ‘Al-Islam’. Nilai-nilai Islam merupakan satu-satunya penyebab mengapa orang-orang yang beriman perlu dan selayaknya bersatu dan berjamaah.
Adalah sesuatu yang merugikan apabila kita meneriakkan slogan kesatuan umat Islam namun kita menyuruh mereka untuk mengikatkan diri kepada tali selain ‘Tali Allah’ atau ajaran Islam.
Allah bahkan mengancam bahwa keadaan tercerai-berai pasti akan muncul apabila kita berpegang kepada selain ‘Tali Allah’ seperti di dalam ayat di atas.
Allah mengancam bahwa segala bentuk gagasan, gabungan, kerjasama, persahabatan, persekutuan, persaudaraan dan selainnya akan membawa kepada saling bermusuhan kelak di hari kebangkitan kecuali apabila ia menjalin persahabatan yang berlandaskan taqwa kepada Allah semata-mata. Mereka yang menjalin hubungan semata-mata berlandaskan taqwa kepada Allah akan akrab di dunia dan tetap akrab di akhirat.
”Teman-teman akrab pada hari itu sebahagiannya menjadi musuh bagi sebahagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS Az-Zukhruf : 67)
Persahabatan yang berlandaskan taqwa kepada Allah seringkali disebut sebagai ‘Al-Ukhuwwah Fillah’ (Persaudaraan kerana Allah).
Mengapa?
Ini adalah kerana mereka yang bersaudara kerana Allah adalah orang-orang yang sedar bahwa sesungguhnya Allahlah sebab kepada kesatuan yang hakiki dan abadi.
”dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfal : 63)
Orang-orang yang bersatu bukan berdasarkan ‘Tali Allah’ akan bersatu sebatas masih tersedianya ”kekayaan” yang mempersatukan mereka.
Kekayaan merupakan simbol dari ”kepentingan duniawi” yang sifatnya sementara bahkan sesaat.
Apabila kepentingan tersebut telah menghilang, maka mereka akan segera tercerai berai dan hilang kesatuannya. Bahkan kadang-kadang, perpecahan serta permusuhan akan segera nampak dan terserlah semasa masih di dunia lagi tanpa menunggu datangnya hari berbangkit.
Manakala, orang-orang yang beriman tidak pernah tertipu. Mereka sangat faham dan sedar bahwa segala kepentingan dunia sifatnya adalah kesenangan sementara dan menipu. Maka mereka tidak mahu menjalin bentuk persatuan, gagasan, gabungan, persahabatan atau apapun namanya kecuali apabila jelas bahwa yang menjadi sebab dan landasan bersatu adalah Allah semata-mata.
Ini adalah kerana Allah swt adalah Zat Yang Maha Hidup. Jika kita menyatukan diri antara satu sama lain hanya kerana Allah, maka kita akan merasakan keakraban yang melampaui batas-batas ruang dan waktu sehingga sampai bila dan dimanapun, Allah tetap hadir dan mendampingi mereka yang bersatu kerana Allah sekalipun sudah sama-sama meninggal dunia, namun kelak ketika dibangkitkan di hadapan Allah mereka yang saling bercinta, bersaudara serta bersatu hanya kerana Allah akan mendapati Allah sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang di hari tersebut.
Mereka tidak akan memiliki rasa takut, khuatir dan resah ketika semua orang lainnya dalam keresahan dan ketakutan di hari Kiamat. Bahkan Allah akan menjadikan mereka sebagai orang-orang istimewa yang dibanggakan dan dilimpahkan cahayaNya. Begitulah istimewanya kedudukan mereka sehingga menimbulkan kecemburuan dari para Nabi dan para Syuhada’.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat mereka yang bukan para Nabi mahupun para Syuhada’, namun para Nabi dan para Syuhada’ cemburu dengan mereka di hari kiamat kerana kedudukan mereka di sisi Allah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, khabarkanlah kepada kami, siapakah mereka? “ Beliau bersabda: ”Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allah, mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka mahupun harta yang mereka kejar. Maka, demi Allah, sungguh wajah mereka bercahaya, dan mereka di atas cahaya. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih.” Lalu beliau membacakan ayat: ”Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak merasa takut dan tidak bersedih hati.” (HR Abu Dawud)
Malah kita juga temui sebuah hadits yang mencela persatuan atau kesatuan yang sekadar berasaskan ‘fanatik golongan’, samada golongan itu berdasarkan kesamaan bangsa, suku atau warna kulit.
“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatik golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatik golongan). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashabiyyah (fanatik golongan).” (HR Abu Dawud)
Khilafah Islamiyyah merupakan tatacara kehidupan bernegara umat Islam yang meyatukan setiap kaum muslimin dari hujung timur hingga hujung barat bumi Allah swt di mana penghayatan siapa yang menjadi ‘in-group’ atau ‘out-group’ umat adalah berdasarkan aqidah Islamiyah.
Sedangkan dalam kehidupan ‘Negara Kebangsaan’, maka siapa yang dianggap sebagai ‘in-group’ bangsa adalah sesiapapun, walauapapun keyakinan dan agamanya, asalkan ia sebangsa dan setanah air, maka ia dianggap sebagai saudara sebangsa manakala siapapun yang di luar negaranya dan bangsanya dianggap sebagai ‘out-group’ , walaupun mereka memiliki aqidah Islamiyyah yang serupa dengan aqidahnya.
Maka wajarlah, apabila seorang Muslim yang menerima dengan sukarela apalagi dengan sungguh-sungguh fahaman ‘Nasionalisma’ akan :
- Menjadi sukar untuk menampilkan ideologi Islam sebagai identiti pertama dan utamanya.
- Cenderung untuk menurunkan taraf identiti Islamnya demi menjaga persatuan dan kesatuan dengan sesama ”anak bangsa” yang berbagai latar belakang, keyakinan dan agama.
Jadi, orang-orang seperti ini akan sukar untuk memandang kaum muslimin di luar bangsanya sebagai saudara seiman yang mesti ia utamakan daripada saudara sebangsa dan setanah airnya.
Padahal ketika ia sudah masuk ke liang lahad, malaikat sama sekali tidak akan menanyakan soal identiti bangsa jenazah itu tetapi jelas, yang akan ditanya hanya soal identiti agamanya sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits :
”Maka ruhnya dikembalikan ke jasadnya, datang dua malaikat bertanya:”Siapa Rabbmu?” Dia menjawab:”Rabbku Allah”, lalu :”Apa diin(agama)-mu?” Dia jawab:”Deen-ku Islam.” (HR Ahmad)
Sewaktu umat Islam hidup di dalam naungan Syariat Allah di bawah Khilafah Islamiyyah, mereka tidak pernah :
- Mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam.
- Membangga-banggakan perbezaan suku dan bangsa antara satu sama lain.
Betapapun realiti suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kekuatan ikatan aqidah di dalam masyarakat.
Dalam bab kedua buku Petunjuk Sepanjang Jalan, Sayyid Qutb membuat analisis mengapa Allah swt hanya membenarkan Nabi Muhammad saw mengibarkan bendera ‘La ilaha ill-Allah’ bukan bendera lainnya padahal dengan mengibarkan panji Tauhid, bangsa Arab bukan sahaja enggan menerima seruan tersebut, malah mereka bahkan menentang dengan keras hingga sampai ke peringkat mengusir dan memerangi Nabi saw dan para sahabat.
Tidakkah ada pilihan strategi lain yang boleh mengurangkan risiko dan mengandungi maslahat yang lebih besar?
Contohnya, mengapa Nabi saw tidak diarahkan oleh Allah swt untuk mengibarkan panji ‘Nasionalisma Arab’ yang lebih memungkinkan untuk menghasilkan penerimaan bangsa-bangsa Arab di Semenanjung Arab pada masa itu?
Perhatikanlahlah tulisan Sayyid Qutb berikut ini:
“Sehingga muncullah pertanyaan: ”Mengapa Nabi saw tidak diperintahkan untuk menempuh jalan lain dalam awal dakwahnya ketika di Makkah sebelum hijrah ke Madinah? Mengapa Nabi saw tidak dibenarkan untuk mengibarkan panji ‘Nasionalisma Arab’, misalnya, sehingga bangsa Arab pasti akan segera menyambut seruan baginda dengan sukarela kerana seruan ‘Nasionalisma Arab’ tidak akan menimbulkan penentangan terhadap penyerunya, bahkan boleh jadi mereka malah akan segera menyambut seruan tersebut mengingatkan bahwa Nabi saw berasal dari suku yang dipandang mulia di Semenanjung Arab.
Kenapakah ‘La ilaha ill-Allah’ ini yang merupakan titik-mula dalam seruan ini? Kenapakah hikmah Tuhan menghendaki bahwa seruan ini dimulai dengan kesusah-payahan ini?
Seterusnya beliau menganalisa keadaan di Semenanjung Arab pada masa awal Nabi saw diutus. Ketika itu bangsa Arab sedang terpecah. Di sebelah utara mereka dijajah oleh kekuatan barat Romawi sedangkan di selatan mereka dijajah oleh kekuatan timur Parsi. Mengingatkan akan posisi Nabi saw yang berasal dari salah satu suku Arab yang dipandang mulia dan secara peribadi sebagai orang yang terkenal, berwibawa dan mempunyai ‘track-record’ iaitu pernah dengan bijaksana mendamaikan satu pertikaian, tentulah apabila sejak hari pertama dakwahnya baginda mengibarkan panji Nasionalisma Arab niscaya bangsa Arab akan segera menyambut seruannya dan menjadi bersatu kembali.
Tentulah jika Nabi saw berhasil menyatukan bangsa Arab yang sebelumnya berpecah, maka baginda akan diberi hak memimpin dan berkuasa lalu baginda seterusnya akan berpeluang untuk memanfaatkan posisi tersebut untuk menanamkan aqidah Tauhid sesuai dengan perintah Allah swt.
Bukankah ini strategi yang lebih bijaksana daripada terus berkonfrontasi sejak hari pertama dengan bangsa sendiri?
Bukankah mengibarkan panji Nasionalisma Arab menjadi langkah yang lebih mudah dan penuh maslahat?
Apakah Allah sengaja berkehendak memberi kesusahan kepada NabiNya dan para pengikutnya dari kalangan mu’minin?
Mengapa sejak hari pertama mereka perlu menempuh jalan yang menimbulkan reaksi penentangan begitu keras dari keluarga dan bangsa senidiri?
Sebenarnya, bukan itu maksud Allah swt.
Sesungguhnya Allah swt bermaksud agar jangan sampai dakwah berkembang menjadi suatu seruan yang menyingkirkan kezaliman dari kalangan bangsa-bangsa tertentu untuk seterusnya menghadirkan kezaliman baru dari kalangan bangsa yang sebelumnya berdakwah atas nama agama Allah itu sendiri.
Padahal seruan Tauhid ‘La ilaha ill-Allah’ justeru mengandungi makna pokok iaitu :
“Mengeluarkan manusia dari perhambaan sesama hamba (sesama manusia) untuk menghamba abdikan diri hanya kepada Allah swt”.
Apabila bendera ‘La ilaha ill-Allah’ yang dikibarkan sejak awal, maka ia bererti Nabi dan para sahabat telah menyingkirkan konsep kewarganegaraan berasaskan bangsa kepada suatu bentuk kewarganegaraan aqidah yang sahih bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Sebaliknya apabila panji Nasionalism Arab yang dikibarkan sejak awal, maka tentunya akan menimbulkan kebanggaan fanatik sempit kesukuan dan kebangsaan Arab yang mendiskriminasikan bangsa-bangsa selain Arab.
Oleh kerana itu, marilah kita berwaspada terhadap berbagai logik siasah dalam menempuh jalan dakwah yang seolah-olah menawarkan lebih banyak maslahat dan sedikit mudarat namun sesungguhnya menyebabkan umat tidak menempuh jalan sunnah Nabi dan para sahabatnya.
Jalan yang seperti itu akan segera menghasilkan keterikatan bangsa dan persatuan nasional, namun tidak akan pernah mewujudkan para aktivis dakwah sejati dan umat yang hanya menghamba abdikan diri kepada Allah swt.
Begitu juga, marilah kita berwaspada terhadap logik keliru yang menyuruh para aktivis dakwah untuk berfikir untuk meraih kekuasaan dan kepimpinan terlebih dahulu dan selepasnya barulah berdakwah secara terang-terangan kepada aqidah ‘La ilaha ill-Allah’ di mana ini adalah suatu logik yang jelas-jelas ditolak oleh Nabi saw sejak hari pertama berdakwah.
Sudah tiba masanya bagi umat Islam, di manapun dan bila masapun, untuk menyedari perkara asas ini. Kita selama ini telah tertipu apabila menyangka masih ada ideologi lain yang mampu menyatukan manusia walauapapun nama ideologi tersebut.
Oleh yang demikian, marilah kita kembali meneladani sunnah Rasulullah saw dalam segala perkara, termasuk dalam hal menjalin ikatan persahabatan dan mewujudkan kesatuan.
Para penyeru Nasionalisma mengatakan bahwa ideologi Islam adalah ideologi sempit yang akan menyebabkan retaknya keutuhan dan kewujudan bangsa. Maka kita pun mengatakan kepada mereka bahwa justeru ideologi Nasionalisma itulah yang sempit.
Kenapa?
Ini adalah kerana ia hanya sibuk dengan satu bangsa sahaja dan mengabaikan bangsa-bangsa lainnya. Itupun masih boleh dipersoalkan akan ketulusan dan kesungguhannya memperhatikan nasib bangsa tersebut sedangkan Islam datang justeru untuk mempersaudarakan umat manusia dari berbagai latar belakang suku dan bangsa.
Jika hari ini kita lihat bahwa kesatuan umat Islam tidak begitu terserlah, barangkali suatu pertanyaan asas perlu diajukan iaitu :
Adakah umat Islam dewasa ini secara jujur telah menjadikan ‘Tali Allah’ semata-mata sebagai pengikat untuk mewujudkan persaudaraan dan kesatuan di antara mereka?
Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa hati-hati kami telah berhimpun dalam cinta kepadaMu, bertemu dalam taat padaMu, bersatu dalam dakwah menyeruMu, saling berjanji untuk menolong Syari’atMu, maka kukuhkanlah -ya Allah- ikatannya, kekalkanlah kasih-sayang di antaranya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah dengan cahayaMu yang tidak akan pernah padam, lapangkanlah dada-dadanya dengan keutamaan iman kepadaMu, keindahan tawakkal padaMu, hidupkanlah dengan Ma’rifah akan Engkau dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalanMu. Sesungguhnya Engkau-lah sebaik-baik Pemimpin dan sebaik-baik Penolong.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS