Setiap saat dan walau di manapun berada, aktivis dakwah tidak boleh melupakan misinya.
Misi dakwah kita tidak lain melainkan adalah untuk mewujudkan kehendak-kehendak Allah swt di muka bumi ini.
Misi ini sungguh berat di mana yang ingin kita bentuk adalah :
- Peribadi muslim.
- Keluarga muslim.
- Masyarakat muslim.
- Pemerintahan muslim.
- Negara Islam.
Dengan kata lain, cita-cita dakwah kita adalah untuk membangun peradaban sesuai dengan ketentuan Allah swt dan tentu sahaja dengan berpedomankan kepada Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya saw.
Misi yang sedemikian berat dan memakan waktu yang sangat panjang ini tidak mungkin mampu diselesaikan oleh seorang individu.
Umat yang terpanggil perlu menyatukan usaha, bekerjasama dan beramal jamai’e. Inilah juga yang kita fahami dari ayat Al Qur’an tentang kewajiban berdakwah :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran : 104)
Jangankan seorang diri, jumlah yang banyak tetapi bercerai berai dan tidak tersusun dengan rapi juga tidak akan sanggup melaksanakan misi besar ini.
Sebaliknya, Allah swt mencintai barisan dakwah yang rapi dan mantap sebagaimana firmanNya :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh.” (QS Ash-Shaf : 4)
Oleh yang demikian, untuk melaksanakan misi ini, diperlukan harakah Islam yang rapi dan mantap manakala harakah seperti itu tidak mungkin wujud tanpa adanya ketaatan anggota (jundi) kepada organisasi dan kepimpinannya (qiyadah).
Oleh yang demikian, untuk melaksanakan misi ini, diperlukan harakah Islam yang rapi dan mantap manakala harakah seperti itu tidak mungkin wujud tanpa adanya ketaatan anggota (jundi) kepada organisasi dan kepimpinannya (qiyadah).
DEFINASI TAAT
Dalam konteks berharakah, taat bererti :
- Mematuhi keputusan organisasi / kepimpinan.
- Melaksanakannya.
- Tidak menentang atau mengkhianatinya.
Lebih tegas lagi, Imam Hasan Al-Banna mengatakan tentang ketaatan yang sempurna ketika menjelaskan rukun bai’ah yang keenam :
“Yang aku maksudkan dengan taat (kepatuhan) adalah menjalankan perintah dan merealisasikannya dengan serta merta, samada dalam keadaan sukar ataupun mudah, ketika bersemangat ataupun malas.” (RisalahTa'alim)
Inilah hakikat taat di mana ia adalah suatu arahan atau taklimat yang perlu dilaksanakan dengan serta merta walau bagaimanapun keadaannya :
- Sukar ataupun mudah.
- Bersemangat ataupun malas.
KEPENTINGAN TAAT
Kita tentu sudah membaca sejarah Perang Badar dan Perang Uhud.
Apakah yang membezakan kedua-duanya?
Dalam Perang Badar, kaum muslimin memperolehi kemenangan yang gemilang sedangkan pada Perang Uhud kaum muslimin mengalami kekalahan.
Lalu apakah penyebab kekalahan kaum muslimin pada Perang Uhud?
Ketidaktaatan!.......Ya, ketidaktaatan!
Rasulullah saw sudah memberikan arahan secara tegas kepada pasukan pemanah agar menempati posisi mereka di atas bukit. Merekalah yang akan melindungi pasukan Islam dengan lemparan-lemparan panah dari atas bukit.
Mereka menjadi benteng pertahanan yang sangat kuat yang melindungi para mujahidin di medan peperangan dari serangan mendadak pasukan Quraisy.
Namun, ketika mereka melihat seakan-akan kaum muslimin menang dan mendapat ‘ghanimah’, mereka turun dan mengabaikan arahan Rasulullah saw.
Ketika itulah, secepat kilat pasukan berkuda Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin al Walid menyerang dari belakang setelah sebelumnya berputar mengelilingi bukit Uhud itu.
Keadaan menjadi terbalik dan kaum muslimin menderita kekalahan. Ramai syuhada’ berguguran pada waktu itu dan di antaranya ada Singa Allah, Hamzah bin Abdul Muthalib dan pendakwah pembuka Madinah, Mush’ab bin Umair.
Ini berbeza dengan keadaan pada Perang Badar di mana pasukan Islam dalam ketaatan penuh kepada semua arahan Rasulullah saw.
Bahkan, meskipun pada awalnya mereka keluar untuk menghalang kafilah dagang, mereka menunjukkan ketaatan mereka untuk berhadapan dengan kelompok tentera Quraisy.
Muhajirin dan Anshar melalui para pemimpinnya sejak sebelum perang telah menyatakan kesediaan mereka untuk berjihad dan semua strategi perang yang telah disepakati mahupun arahan yang diberikan oleh Rasulullah saw ditaati.
Dari peristiwa Perang Badar dan Perang Uhud, kita boleh membuat kesimpulan tentang kepentingan ketaatan dalam berharakah di antaranya :
- Terjaganya kemantapan gerakan hasil dari utuhnya kekuatan harakah dalam melakukan pengembangan dakwah mahupun dalam menghadapi tentangan musuh secara bersama.
- Ketaatan merupakan perintah dari Allah swt. Menepatinya akan mendatangkan ridha Allah dan meninggalkannya akan menjauhkan diri dan harakah dari rahmatNya.
- Dengan adanya ketaatan para aktivis dakwah terhadap organisasi dan kepimpinan mereka maka terbangunlah imuniti yang kuat dalam tubuh organisasi sehingga tidak mudah untuk dipecahbelahkan oleh musuh-musuh Islam mahupun dicerobohi oleh perisik musuh.
- Ketaatan akan memperkukuhkan ‘ukhuwah’ sehingga mendatangkan ketenteraman (sakinah) dalam aktiviti harakah.
- Ketaatan mampu mendatangkan kecintaan Allah swt sebagaimana ayat 4 dalam surah As-Shaff di atas.
DALIL HUKUM TAAT KEPADA PEMIMPIN / QIYADAH
PERTAMA :
Firman Allah swt dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu..”.(QS An-Nisaa' : 59)
Semua mufassirin sepakat bahwa khalifah (amirul mukimin) adalah ‘ulil amri’ yang mesti ditaati dalam ayat di atas.
Sebagian mufassirin menjelaskan bahwa selain khalifah, orang yang menguruskan urusan kaum mukimin (seperti gabernur dan lain-lain) juga termasuk ‘ulil amri’ yang dimaksudkan dalam ayat di atas dan begitu pula para ulama'.
Sejak tahun 1924, umat Islam tidak lagi memiliki ‘khalifah’ bersamaan dengan hilangnya kekhalifahan Islam. Para ulama' kemudiannya berbeza pendapat apakah pemerintah-pemerintah umat Islam sekarang termasuk ‘ulil amri’ atau bukan.
Namun, bagi jamaah atau harakah Islam yang berjuang menegakkan Islam, para pemimpinnya adalah termasuk ‘ulil amri’ dan dengan yang demikian, sikap yang diperintahkan kepada pemimpin harakah (qiyadah) adalah taat.
KEDUA :
Firman Allah swt dalam Al Qur’an :
“Dan ingatlah kurniaan Allah kepadamu dan perjanjianNya yang telah diikatNya dengan kamu, ketika kamu mengatakan : "Kami dengar dan kami taati". Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati (mu).” (QS Al-Maidah : 7)
Manakala dalam sebuah hadith, Rasulullah saw bersabda :
”Kami dahulu tatkala membai’ah Rasulullah saw untuk mendengar dan taat, baginda saw bersabda, ‘sesuai dengan kesanggupan kamu’.” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara khusus, ayat Al Qur’an dan hadith di atas memang berbicara tentang orang-orang yang berbai’ah kepada Rasulullah saw. Namun, inilah ciri-ciri orang-orang yang beriman.
Ketika mereka sudah terhimpun dalam satu organisasi, lebih-lebih lagi ketika telah berjanji setia untuk taat dalam kehidupan berorganisasi, tidak ada jawaban lain dari setiap keputusan dan perintah kepimpinan kecuali "sami'na waatha'na" (kami dengar dan kami taat).
LANDASAN TAAT
Ustaz Said Hawwa dalam menjelaskan tentang Rukun Taat menyebutkan bahwa ketaatan yang sempurna tidak akan wujud tanpa :
- Ilmu.
- Tsiqah (kepercayaan)
ILMU LANDASAN TAAT YANG PERTAMA
Ilmu adalah asas yang di atasnyalah dibangun suatu ketaatan. Ini adalah kerana sesuatu yang dibangun di atas kejahilan maka ‘mafsadah’ (kerusakan) yang ditimbulkan akan jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Islam adalah agama ilmu yang menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan dan amal. Dengan ilmu ini pulalah Nabi Adam as dijadikan khalifah di muka bumi ini.
Islam melarang setiap umatnya untuk bersifat ‘taqlid’ atau mengikuti sesuatu bukan di atas dasar ilmu, sebagaimana firmanNya :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS Al Isra’ : 36)
Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat ini mengatakan :
”Kalimat singkat ini menegakkan manhaj yang utuh bagi hati dan akal di mana ia mencakupi metod ilmiah yang dikenali oleh manusia dan ditambah pula didalamnya terdapat keteguhan hati dan perasaan diawasi oleh Allah swt.
Karakteristik Islam tegak di atas manhaj-manhaj ilmu yang dalam, memperjelas segala kebaikan, segala yang lahiriyah dan segala gerakan sebelum menghukum atasnya adalah seruan Al Qur’an Al Karim. Dan setiap kali hati dan akal itu tegak di atas manhaj ini maka tidak ada ruang untuk keraguan dan khurafat dalam alam aqidah, tidak ada ruang bagi prasangka dan syubhat dalam alam hukum, perundangan dan pergaulan, tidak ada ruang bagi hukum-hukum dangkal dan khayalan dalam alam kajian, penelitian dan pengetahuan.”
Beliau selanjutnya berkata :
“Sesungguhnya itu adalah amanah anggota tubuh, panca indera, akal dan hati. Amanah yang akan ditanyakan kepada pemiliknya, ia akan ditanya tentang anggota tubuh, panca indera, akal dan hatinya secara keseluruhan.” (Tafsir Fii Zhilalil Qur’an)
Ketaatan kepada pemimpin mestilah disesuaikan dengan kapasiti ilmunya di mana, semakin tinggi kapasiti ilmunya maka semakin ia memberikan ketaatan secara penuh kepada pemimpin tetapi pada saat yang sama ia juga yang paling bertanggungjawab untuk melakukan pemberitahuan dan perbaikan terhadap kekeliruan pemimpin berbanding orang yang masih rendah keilmuannya.
Hujah di atas juga terpakai kepada para makmum dalam solat berjamaah yang berada di belakang imam atau di saf pertama maka ia lebih bertanggungjawab untuk memberitahu kesalahan imam berbanding para makmun yang ada di barisan kedua, ketiga dan seterusnya.
‘TSIQAH’ LANDASAN TAAT YANG KEDUA
Imam Hasan Al Banna mendefinasikan ‘tsiqah’ dengan kepuasan (ithmi’nan) seorang pengikut kepada pemimpinnya dalam hal kapasiti dan keikhlasannya dengan kepuasan yang mendalam yang dapat melahirkan kecintaan, penghargaan, penghormatan dan ketaatan.
Firman Allah swt :
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisaa : 65)
Pemimpin adalah bahagian dari dakwah dan tidak ada dakwah tanpa kepimpinan. Kadar kepercayaan yang muncul secara timbal-balik antara pemimpin dan pengikut adalah penentu :
- Kekuatan sistem organisasi.
- Ketahanan perancangannya.
- Kejayaan dalam mencapai tujuannya.
- Dalam menghalau berbagai halangan dan kesulitan.
Firmam Allah swt :
”Maka lebih utama bagi mereka, ketaatan dan perkataan yang baik.”
Tsiqah bukan hanya kewajiban yang mesti diberikan oleh para pengikut sahaja tetapi mestilah juga ditunjukkan oleh pemimpin seperti bagaimana seseorang pemimpin itu menunjukkan kepada para pengikutnya bahwa ia telah menunaikan berbagai peranan dan kewajibannya terhadap mereka melalui empat fungsinya iaitu sebagai :
- Ayah.
- Guru.
- Syeikh.
- Pemimpin Umum.
Ketika keempat-empat sifat di atas tidak terdapat di dalam diri pemimpin maka akan mengakibatkan berkurangnya kadar ketsiqahan para pengikut dan semakin rapuhnya kekuatan sistem organisasi.
Pemimpin juga dituntut agar menunjukkan bahwa dirinya memang berhak untuk mendapatkan ketsiqahan dari para pengikutnya di dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.
Perlunya pembuktian ini bukanlah bererti bahwa para pengikut sudah tidak mempercayai pemimpinnya yang berada di atas kebenaran tetapi dalam rangka memunculkan ketenangan dan kepuasan (ithmi’nan) dalam diri mereka yang menjadi dasar dari ketsiqahan tersebut sebagaimana firman Allah swt :
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim (merayu dengan) berkata: "Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan makhluk-makhluk yang mati?" Allah berfirman: "Adakah engkau belum percaya (kepada kekuasaanku)?" Ibrahim menjawab: "Bahkan (aku percaya dan yakin), akan tetapi (aku memohon yang demikian ialah) supaya tenteram hatiku (yang amat ingin menyaksikannya)" (QS Al Baqarah : 260)
BATASAN TAAT
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisaa' : 59)
Para ulama' banyak mengambil dari teks ayat ini untuk menjelaskan ciri-ciri ketaatan kepada Allah, Rasul dan ‘ulil amri’.
Taat kepada Allah dan RasulNya merupakan ketaatan mutlak yang tidak boleh ditawar. Oleh yang demikian, pada perkataan sebelum Allah dan Ar-Rasul terus didahului dengan perkataan "Athii'uu" sementara ketaatan kepada ‘ulil amri’ hanya didahului dengan "wa" di mana "Athii'uu" nya mengikuti perkataan sebelumnya.
Ini bererti bahwa ketaatan kepada pemimpin (qiyadah) merupakan ketaatan yang selari dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Jika apa yang diperintahkan oleh ‘ulil amri’ selari dengan perintah Allah dan RasulNya, maka kita wajib mentaati ‘qiyadah’ tetapi jika perintah itu bertentangan dengan perintah Allah dan RasulNya, maka tidak wajib ditaati.
“Tiada ketaatan untuk bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal ma’ruf.” (HR Muslim)
Ketaatan hanya dalam perkara yang ma’ruf.
Inilah yang membuatkan Umar bin al Khattab membenarkan sikap pasukannya ketika menolak terjun dalam api yang diperintahkan oleh komandannya.
Begitu pula yang perlu dilakukan ketika mentaati setiap keputusan organisasi dan kepimpinan berkenaan dengan strategi dan rancangan yang tidak menyalahi Al-Qur'an dan As Sunnah dan dalam hasil ‘syura’ yang telah disimpulkan sebagai kema'rufan.
TAAT DALAM DAKWAH
Dakwah yang memiliki projek besar peradaban tentulah sangat mengharapkan ketaatan dari setiap aktivis-aktivisnya.
Mustahil tanpa ketaatan, dakwah mampu mencapai tujuannya bahkan yang berlaku justeru adalah sebaliknya iaitu munculnya kepentingan-kepentingan yang saling bersifat merosakkan bagi dakwah.
Betapa banyak gerakan dakwah yang dulunya dikira akan menjadi besar tiba-tiba kemudiannya pecah dan menjadi berkeping-keping.
Di antara sebab utamanya adalah ketidaktaatan para pengikut kepada kepimpinannya.
Sebabnya boleh difahami dari dua sudut iaitu :
- Pengikut sudah tidak mahu taat dan tidak mahu diatur.
- Kepimpinannya juga dianggap tidak perlu ditaati.
Semoga kita megambil ‘ibrah’ (pelajaran) dari fenomena di atas.
FENOMENA TAAT KEPADA PEMIMPIN
Kalau kita klasifikasikan keputusan organisasi dan arahan kepimpinan, maka secara umumnya boleh digolongkan menjadi dua :
PERTAMA : BERKENAAN DENGAN HAL-HAL YANG BERKAIT DENGAN HUKUM SYARA’
Misalnya tentang pemahaman aqidah, taklimat mengenai peningkatan kualiti ibadah dan sebagainya.
Pada aspek ini, kita lebih mudah menilai apakah sesuai dengan Al-Qur'an dan As Sunnah atau tidak.
KEDUA : KEPUTUSAN , PERANCANGAN DAN PERINTAH YANG BERKAIT DENGAN STRATEGI
Isunya di sini bukan pilihan antara halal dan haram tetapi antara :
- Maslahat dengan maslahat yang lebih besar.
- Mudarat dengan mudarat yang lebih kecil.
Di sinilah ketaatan aktivis dakwah banyak diuji dan di sinilah sebahagian dari aktivis dakwah gagal dalam menghadapi ujian ini. Termasuk juga dalam wilayah ini adalah bagaimana pendekatan dakwah kepada segmen tertentu di dalam masyarakat.
Ya Allah, jadikanlah kami para aktivis dakwah yang taat kepadaMu, taat kepada RasulMu dan taat kepada kepimpinan kami dalam semua perkara yang tidak bermaksiat kepadaMu. Anugerahkanlah kebijaksanaan kepada para pimpinan kami serta bimbinglah mereka agar sentiasa berada di atas jalanMu dan tuntunlah mereka dalam setiap keadaan terutama ketika mengambil keputusan bagi kepentingan dakwah dijalanMu.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS